OJK Dorong Penguatan Kelembagaan BPR
A
A
A
BANDUNG - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penguatan kelembagaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) salah satunya penetapan modal inti.
Upaya tersebut agar BPR dapat bersaing dengan bank umum. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan 4 OJK Heru Kristiana mengatakan, OJK akan mengarahkan kebijakan pengembangan BPR yang fokus pada empat sasaran strategis yakni mendorong peningkatan permodalan BPR, struktur kepemilikan yang mendukung pengembangan BPR, penguatan SDM dan tata kelola perusahaan yang baik, serta perluasan jaringan kantor BPR.
“Dalam waktu dekat, OJK akan menerbitkan tiga ketentuan yang akan mendukung pengembangan BPR ke depan yaitu ketentuan mengenai kelembagaan BPR, ketentuan mengenai tata kelola BPR, dan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum BPR atau KPMM dan pemenuhan modal inti BPR,” paparnya di sela-sela Musyawarah Nasional (Munas) IX Perbarindo di Bandung kemarin.
Dia menilai tak bisa disangkal bahwa dengan modal inti dalam jumlah yang minimal yaitu kurang dari Rp3 miliar, BPR cenderung tidak mampu berkembang dengan baik. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp3 miliar dari sisi aset, dana pihak ketiga, dan kredit selama setidaknya tiga tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan negatif. Menurutnya, BOPO BPR yang bermodal kecil cenderung tinggi yang berdampak pada penetapan tingkat suku bunga kredit yang relatif tinggi yakni 38,97% hingga 43,26% dan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang tinggi mencapai lebih dari 7%.
“Sayangnya, justru hampir separuh bank di industri BPR (49,5%) beroperasi dengan modal inti bahkan kurang dari jumlah paling minim Rp3 miliar,” ucapnya. Heru mengatakan, ada banyak persoalan yang dihadapi BPR untuk bisa bersaing di industri perbankan sehingga sulit bersaing dengan bank umum. “Persoalan yang paling mendasar itu adalah kecukupan modal. Makanya BPR sulit mengembangkan bisnisnya,” katanya. Selain itu, lanjut dia, aspek good corporate governance (GCG) yang terabaikan serta kuantitas dan kualitas SDM yang masih lemah. Persoalan itu membuat BPR sulit berkembang.
“OJK akan terus dorong itu. Meski sebenarnya kinerja BPR sejauh ini cukup aman, harus digenjot karena persaingan bank amat ketat,” ungkapnya. Heru menambahkan, pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR dalam tiga tahun terakhir masih relatif tinggi yaitu di kisaran 19%, namun kontribusi terhadap penyaluran kredit perbankan nasional masih relatif kecil yaitu sekitar 2%.
“Apabila ditinjau dari kontribusi BPR terhadap UMKM, saya melihat BPR memegang peranan yang cukup penting dalam pengembangan UMKM dengan porsi pembiayaan UMKM hampir mencapai 50% dari portofolio kredit yang disalurkan BPR. Dari 20,8% porsi kredit UMKM perbankan secara nominal, kontribusi BPR mencapai 4,2% atau 14,2% apabila dari total rekening kredit UMKM Nasional,” paparnya.
Hatim varabi
Upaya tersebut agar BPR dapat bersaing dengan bank umum. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan 4 OJK Heru Kristiana mengatakan, OJK akan mengarahkan kebijakan pengembangan BPR yang fokus pada empat sasaran strategis yakni mendorong peningkatan permodalan BPR, struktur kepemilikan yang mendukung pengembangan BPR, penguatan SDM dan tata kelola perusahaan yang baik, serta perluasan jaringan kantor BPR.
“Dalam waktu dekat, OJK akan menerbitkan tiga ketentuan yang akan mendukung pengembangan BPR ke depan yaitu ketentuan mengenai kelembagaan BPR, ketentuan mengenai tata kelola BPR, dan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum BPR atau KPMM dan pemenuhan modal inti BPR,” paparnya di sela-sela Musyawarah Nasional (Munas) IX Perbarindo di Bandung kemarin.
Dia menilai tak bisa disangkal bahwa dengan modal inti dalam jumlah yang minimal yaitu kurang dari Rp3 miliar, BPR cenderung tidak mampu berkembang dengan baik. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp3 miliar dari sisi aset, dana pihak ketiga, dan kredit selama setidaknya tiga tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan negatif. Menurutnya, BOPO BPR yang bermodal kecil cenderung tinggi yang berdampak pada penetapan tingkat suku bunga kredit yang relatif tinggi yakni 38,97% hingga 43,26% dan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang tinggi mencapai lebih dari 7%.
“Sayangnya, justru hampir separuh bank di industri BPR (49,5%) beroperasi dengan modal inti bahkan kurang dari jumlah paling minim Rp3 miliar,” ucapnya. Heru mengatakan, ada banyak persoalan yang dihadapi BPR untuk bisa bersaing di industri perbankan sehingga sulit bersaing dengan bank umum. “Persoalan yang paling mendasar itu adalah kecukupan modal. Makanya BPR sulit mengembangkan bisnisnya,” katanya. Selain itu, lanjut dia, aspek good corporate governance (GCG) yang terabaikan serta kuantitas dan kualitas SDM yang masih lemah. Persoalan itu membuat BPR sulit berkembang.
“OJK akan terus dorong itu. Meski sebenarnya kinerja BPR sejauh ini cukup aman, harus digenjot karena persaingan bank amat ketat,” ungkapnya. Heru menambahkan, pertumbuhan kredit yang disalurkan BPR dalam tiga tahun terakhir masih relatif tinggi yaitu di kisaran 19%, namun kontribusi terhadap penyaluran kredit perbankan nasional masih relatif kecil yaitu sekitar 2%.
“Apabila ditinjau dari kontribusi BPR terhadap UMKM, saya melihat BPR memegang peranan yang cukup penting dalam pengembangan UMKM dengan porsi pembiayaan UMKM hampir mencapai 50% dari portofolio kredit yang disalurkan BPR. Dari 20,8% porsi kredit UMKM perbankan secara nominal, kontribusi BPR mencapai 4,2% atau 14,2% apabila dari total rekening kredit UMKM Nasional,” paparnya.
Hatim varabi
(ars)