BI Waspadai Utang LN Korporasi
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) meminta perusahaan swasta agar berhati-hati dalam pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN).
Bank sentral dalam waktu dekat akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang manajemen risiko utang luar negeri (ULN) korporasi. Dalam aturan ini korporasi tetap bisa melakukan pinjaman luar negeri tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo berharap, sejalan akan dikeluarkannya PBI mengenai ULN bagi korporasi, sektor korporasi harus mulai mengelola utangnya dengan baik.
“Ketentuan tersebut dirilis agar korporasi nonbank dapat memitigasi risiko yang dapat timbul dari kegiatan ULN sehingga mampu berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional tanpa menimbulkan gangguan pada kestabilan makro ekonomi,” katanya di Jakarta kemarin. Agus mengungkapkan, ketentuan ini tidak dimaksudkan sebagai upaya melarang, menghambat, atau membatasi kegiatan ULN, namun mendorong korporasi untuk meningkatkan pengelolaan risiko dalam melakukan ULN, terutama risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang berlebihan (overleverage ).
“Korporasi tetap dapat melakukan ULN namun dengan disertai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam kegiatannya,” paparnya. Dia melanjutkan, saat ini jumlah ULN swasta cenderung terus meningkat, bahkan telah melebihi jumlah ULN pemerintah. Risiko ULN swasta semakin tinggi karena prospek perekonomian masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian. Menurutnya , berdasar kondisi saat ini, risiko global dan domestik meningkat.
Kemungkinan pengetatan likuiditas global dan harga komoditas yang rendah sehingga mengurangi ability to repay (default) negara berkembang. “Likuiditas global diperkirakan akan mengetat dengan tingkat suku bunga yang meningkat seiring berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat,” terangnya. Agus memaparkan, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, jumlah ULN sektor swasta meningkat tiga kali lipat, yaitu dari USD50,6 miliar pada akhir 2005 menjadi USD156,2 miliar pada akhir Agustus 2014.
Posisi ULN swasta pada Agustus 2014 ini bahkan telah mencapai 53,8% dari total ULN Indonesia. Menurut dia, kenaikan ULN swasta disertai peningkatan potensi risiko makro karena lebih ditopang kenaikan utang jangka pendek. Lebih lanjut Agus menuturkan, ULN swasta didominasi oleh perusahaan yang berorientasi domestik, sehingga tidak memiliki penghasilan dalam valas. “Survei kepada 20 pengutang terbesar, lebih dari 75% memiliki orientasi usaha di domestik,” ujarnya.
Hasil kajian Bank Indonesia menunjukkan bahwa ULN swasta tersebut rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk). Menurut Agus, risiko nilai tukar cukup tinggi karena sebagian besar ULN swasta digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi domestik yang menghasilkan pendapatan dalam rupiah.
Sedangkan pembayaran ULN dilakukan dalam valuta asing ( valas). Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung menambahkan, demi menghadapi risiko-risiko tersebut, BI mewajibkan korporasi nonbank yang memiliki ULN untuk memenuhi tiga hal. Di antaranya rasio lindung nilai minimum untuk memitigasi risiko nilai tukar, rasio likuiditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas, dan peringkat utang minimum untuk memitigasi risiko overleverage .
Juda mengungkapkan, mulai 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015 korporasi nonbank yang memiliki ULN valas wajib melakukan lindung nilai valas terhadap rupiah dengan rasio sebesar 20%. Dan, mulai 1 Januari 2016 ditingkatkan menjadi sebesar 25%.
Dia melanjutkan, mayoritas sekitar 88% korporasi di Indonesia tidak melakukan hedging terhadap risiko kurs melalui pasar valas. “Di antara korporasi-korporasi itu hanya 21% yang memiliki natural hedge (eksportir),” ungkap Juda.
Kunthi fahmar sandy
Bank sentral dalam waktu dekat akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang manajemen risiko utang luar negeri (ULN) korporasi. Dalam aturan ini korporasi tetap bisa melakukan pinjaman luar negeri tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo berharap, sejalan akan dikeluarkannya PBI mengenai ULN bagi korporasi, sektor korporasi harus mulai mengelola utangnya dengan baik.
“Ketentuan tersebut dirilis agar korporasi nonbank dapat memitigasi risiko yang dapat timbul dari kegiatan ULN sehingga mampu berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional tanpa menimbulkan gangguan pada kestabilan makro ekonomi,” katanya di Jakarta kemarin. Agus mengungkapkan, ketentuan ini tidak dimaksudkan sebagai upaya melarang, menghambat, atau membatasi kegiatan ULN, namun mendorong korporasi untuk meningkatkan pengelolaan risiko dalam melakukan ULN, terutama risiko nilai tukar, risiko likuiditas, dan risiko utang yang berlebihan (overleverage ).
“Korporasi tetap dapat melakukan ULN namun dengan disertai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam kegiatannya,” paparnya. Dia melanjutkan, saat ini jumlah ULN swasta cenderung terus meningkat, bahkan telah melebihi jumlah ULN pemerintah. Risiko ULN swasta semakin tinggi karena prospek perekonomian masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian. Menurutnya , berdasar kondisi saat ini, risiko global dan domestik meningkat.
Kemungkinan pengetatan likuiditas global dan harga komoditas yang rendah sehingga mengurangi ability to repay (default) negara berkembang. “Likuiditas global diperkirakan akan mengetat dengan tingkat suku bunga yang meningkat seiring berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat,” terangnya. Agus memaparkan, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun, jumlah ULN sektor swasta meningkat tiga kali lipat, yaitu dari USD50,6 miliar pada akhir 2005 menjadi USD156,2 miliar pada akhir Agustus 2014.
Posisi ULN swasta pada Agustus 2014 ini bahkan telah mencapai 53,8% dari total ULN Indonesia. Menurut dia, kenaikan ULN swasta disertai peningkatan potensi risiko makro karena lebih ditopang kenaikan utang jangka pendek. Lebih lanjut Agus menuturkan, ULN swasta didominasi oleh perusahaan yang berorientasi domestik, sehingga tidak memiliki penghasilan dalam valas. “Survei kepada 20 pengutang terbesar, lebih dari 75% memiliki orientasi usaha di domestik,” ujarnya.
Hasil kajian Bank Indonesia menunjukkan bahwa ULN swasta tersebut rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk). Menurut Agus, risiko nilai tukar cukup tinggi karena sebagian besar ULN swasta digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi domestik yang menghasilkan pendapatan dalam rupiah.
Sedangkan pembayaran ULN dilakukan dalam valuta asing ( valas). Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung menambahkan, demi menghadapi risiko-risiko tersebut, BI mewajibkan korporasi nonbank yang memiliki ULN untuk memenuhi tiga hal. Di antaranya rasio lindung nilai minimum untuk memitigasi risiko nilai tukar, rasio likuiditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas, dan peringkat utang minimum untuk memitigasi risiko overleverage .
Juda mengungkapkan, mulai 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2015 korporasi nonbank yang memiliki ULN valas wajib melakukan lindung nilai valas terhadap rupiah dengan rasio sebesar 20%. Dan, mulai 1 Januari 2016 ditingkatkan menjadi sebesar 25%.
Dia melanjutkan, mayoritas sekitar 88% korporasi di Indonesia tidak melakukan hedging terhadap risiko kurs melalui pasar valas. “Di antara korporasi-korporasi itu hanya 21% yang memiliki natural hedge (eksportir),” ungkap Juda.
Kunthi fahmar sandy
(ars)