Ekonom: Momen Kenaikan BI Rate Tidak Tepat
A
A
A
BANDUNG - Pengamat ekonomi dari Universitas Pasunda Acuviarta Kartabi menilai, keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) pada pekan ini tidak tepat.
Sebab, kondisi perekonomian dalam negeri masih kaget akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Peningkatan angka inflasi saat ini karena kenaikan harga BBM bersubsidi, bukan karena dorongan peningkatan permintaan. Alasan BI menaikkan BI Rate dengan tujuan pengendalian inflasi tidak bisa diterima," katanya kepada wartawan di Bandung, Kamis (20/11/2014).
Menurutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi ditambah dengan kenaikan BI Rate justru akan semakin meningkatkan inflasi. Dalam tiga bulan ke depan diprediksi bisa bertambah hingga 3%.
"Alasan kenaikan BI Rate demi menjaga nilai tukar juga tidak bisa diterima, mengingat kondisi saat ini tidak akan meningkatkan uang beredar," ujarnya.
Dia mengatakan, kenaikan BI Rate akan berdampak pada sektor riil karena bunga pinjaman akan meningkat. Hal ini akan memberatkan pelaku usaha dalam memenuhi pembayaran tagihan.
"Kenaikan bunga kredit akan memicu peningkatan kredit macet. Selain kredit macet yang naik, NIM (Net Interest Margin) perbankan juga diperkirakan akan meningkat dari 5,3% menjadi 5,5%," tutur Acuviarta.
Padahal, NIM perbankan di Indonesia sangat tinggi, lebih tinggi dibandingkan NIM perbankan di negara tetangga yang hanya berkisar 2,5%-3%.
Hal ini membuat perbankan asing menyerbu Indonesia. Belum lagi ditambah izin membuka bank di dalam negeri terbilang lebih mudah dibandingkan di negara lain.
"Kenaikan BI Rate akan menghambat perbankan menurunkan suku bunga deposito. Padahal, BI sedang berupaya mencegah perang bunga deposito," katanya.
Sementara, Corporate Secretary Bank BNP Mario Yahya tidak memperkirakan kenaikan BI Rate sebelumnya. Sebelumnya, dia memperkirakan BI Rate akan bertahan di angka 7,5% hingga akhir tahun ini.
"Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah. Pelaku perbankan hanya bisa mengikuti kebijakan ini," katanya.
Pihaknya terpaksa melakukan perhitungan ulang dan menyusun strategi bisnis yang baru. Terlebih, perbankan juga dihadapkan dengan kondisi kenaikan BBM dan kenaikan UMR/UMK.
"Dengan naiknya BI Rate, suku bunga pinjaman juga akan naik dan dapat mengganggu kemampuan peminjam dalam melakukan pembayaran," jelas dia.
Sekadar diketahui, BI menaikkan BI Rate sebesar 25 basis point dari 7,5% menjadi 7,75%. Alasannya, untuk merespon ekspektasi inflasi, menjaga kondisi defisit neraca berjalan, menjaga likuiditas perbankan, dan meningkatkan pertumbuhan kredit. Hal ini juga berkaitan dengan kenaikan harga BBM.
Sebab, kondisi perekonomian dalam negeri masih kaget akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Peningkatan angka inflasi saat ini karena kenaikan harga BBM bersubsidi, bukan karena dorongan peningkatan permintaan. Alasan BI menaikkan BI Rate dengan tujuan pengendalian inflasi tidak bisa diterima," katanya kepada wartawan di Bandung, Kamis (20/11/2014).
Menurutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi ditambah dengan kenaikan BI Rate justru akan semakin meningkatkan inflasi. Dalam tiga bulan ke depan diprediksi bisa bertambah hingga 3%.
"Alasan kenaikan BI Rate demi menjaga nilai tukar juga tidak bisa diterima, mengingat kondisi saat ini tidak akan meningkatkan uang beredar," ujarnya.
Dia mengatakan, kenaikan BI Rate akan berdampak pada sektor riil karena bunga pinjaman akan meningkat. Hal ini akan memberatkan pelaku usaha dalam memenuhi pembayaran tagihan.
"Kenaikan bunga kredit akan memicu peningkatan kredit macet. Selain kredit macet yang naik, NIM (Net Interest Margin) perbankan juga diperkirakan akan meningkat dari 5,3% menjadi 5,5%," tutur Acuviarta.
Padahal, NIM perbankan di Indonesia sangat tinggi, lebih tinggi dibandingkan NIM perbankan di negara tetangga yang hanya berkisar 2,5%-3%.
Hal ini membuat perbankan asing menyerbu Indonesia. Belum lagi ditambah izin membuka bank di dalam negeri terbilang lebih mudah dibandingkan di negara lain.
"Kenaikan BI Rate akan menghambat perbankan menurunkan suku bunga deposito. Padahal, BI sedang berupaya mencegah perang bunga deposito," katanya.
Sementara, Corporate Secretary Bank BNP Mario Yahya tidak memperkirakan kenaikan BI Rate sebelumnya. Sebelumnya, dia memperkirakan BI Rate akan bertahan di angka 7,5% hingga akhir tahun ini.
"Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah. Pelaku perbankan hanya bisa mengikuti kebijakan ini," katanya.
Pihaknya terpaksa melakukan perhitungan ulang dan menyusun strategi bisnis yang baru. Terlebih, perbankan juga dihadapkan dengan kondisi kenaikan BBM dan kenaikan UMR/UMK.
"Dengan naiknya BI Rate, suku bunga pinjaman juga akan naik dan dapat mengganggu kemampuan peminjam dalam melakukan pembayaran," jelas dia.
Sekadar diketahui, BI menaikkan BI Rate sebesar 25 basis point dari 7,5% menjadi 7,75%. Alasannya, untuk merespon ekspektasi inflasi, menjaga kondisi defisit neraca berjalan, menjaga likuiditas perbankan, dan meningkatkan pertumbuhan kredit. Hal ini juga berkaitan dengan kenaikan harga BBM.
(izz)