2015, Pertumbuhan Ekonomi 5,3-5,6%
A
A
A
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2015 sebesar 5,3-5,6%.
Batas bawah 5,3% adalah situasi kinerja ekonomi 2014 berlanjut ke 2015. Sementara, batas atas 5,6% merupakan cerminan kondisi terjadinya perbaikan di awal pemerintahan baru, saat kebijakan pemerintah direspons positif. “Realokasi anggaran untuk pembangunan ada prosesnya, ada jeda waktu. Selain itu. Pada triwulan 1 sampai 2 dampak kenaikan BBM masih menekan konsumsi, dan investasi juga belum signifikan,” ujar ekonom INDEF Enny Sri Hartati saat konferensi pers di Jakarta kemarin.
Dia memperkirakan, pada 2015, dalam kondisi moneter ketat, pertumbuhan investasi akan terpengaruh. Rencana hilirisasi industri serta pembangunan infrastruktur juga masih dalam proses dan belum dapat dinikmati hasilnya. Enny menambahkan, inflasi pada 2015 diperkirakan di kisaran 5- 6% akibat dampak kenaikan harga BBM dan rencana kelanjutan kenaikan tarif dasar listrik. Gangguan cuaca pada musim penghujan juga diperkirakan memengaruhi pasokan sejumlah barang kebutuhan pokok.
“Sementara, nilai tukar rupiah diperkirakan di kisaran Rp11.850 hingga Rp12.250, pengangguran di 6%, sedangkan kemiskinan di 11,5%,” paparnya. Ekonom INDEF yang lain, Ahmad Erani Yustika mengemukakan 10 kegagalan pada indikator ekonomi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara, hanya enam indikator kinerja ekonomi yang dinilai mengalami perbaikan selama dua periode kepemimpinan SBY.
“Walaupun enam indikator mengalami perbaikan, masih terdapat beberapa catatan,” tegasnya. Erani mengatakan, enam indikator yang mengalami perbaikan adalah angka pertumbuhan ekonomi yang rata-rata berkisar 5-6%, kemudian peranan investasi yang meningkat 23% (2004) menjadi 31% tahun 2014 dengan pertumbuhan terus meningkat. Indikator lainnya adalah kinerja perbankan yang terus membaik, ditandai dengan perkembangan aset rata-rata tumbuh 16,44%, dana pihak ketiga (DPK) 15,88%, dan kredit 21,62%.
Selain itu, indikator persentase angka kemiskinan juga menunjukkan perbaikan dengan penurunan angka kemiskinan dari 16,66% pada 2004 menjadi 11,25% pada 2014. Sementara, tingkat pengangguran terbuka menurun, pekerja formal naik dari 29,38% menjadi 39,90% di 2013. Terakhir, indikator yang mengalami perbaikan adalah indeks pembangunan manusia (IPM) yang tercatat meningkat 7,45% dari 68,7 menjadi 73,45% pada 2013.
Erani mengatakan, meski enam indikator tersebut mengalami perbaikan, INDEF masih memberi beberapa catatan. Antara lain, pertumbuhan ekonomi yang masih didominasi sektor non-tradeable , penyebaran investasi belum merata, pengangguran terbuka masih banyak yang hanya bergeser ke sektor informal, penurunan angka kemiskinan, serta peningkatan IPM yang berjalan lambat.
Sedangkan, 10 indikator kinerja ekonomi yang mengalami kegagalan antara lain adalah ketimpangan yang melebar, terlihat dari rasio gini yang tercatat 0,32 menjadi 0,41. Indikator lainnya adalah deindustrialisasi, yang terlihat dari peran industri terhadap PDB yang merosot dari 28% pada 2004 menjadi 23,5% pada 2013.
Ria martati
Batas bawah 5,3% adalah situasi kinerja ekonomi 2014 berlanjut ke 2015. Sementara, batas atas 5,6% merupakan cerminan kondisi terjadinya perbaikan di awal pemerintahan baru, saat kebijakan pemerintah direspons positif. “Realokasi anggaran untuk pembangunan ada prosesnya, ada jeda waktu. Selain itu. Pada triwulan 1 sampai 2 dampak kenaikan BBM masih menekan konsumsi, dan investasi juga belum signifikan,” ujar ekonom INDEF Enny Sri Hartati saat konferensi pers di Jakarta kemarin.
Dia memperkirakan, pada 2015, dalam kondisi moneter ketat, pertumbuhan investasi akan terpengaruh. Rencana hilirisasi industri serta pembangunan infrastruktur juga masih dalam proses dan belum dapat dinikmati hasilnya. Enny menambahkan, inflasi pada 2015 diperkirakan di kisaran 5- 6% akibat dampak kenaikan harga BBM dan rencana kelanjutan kenaikan tarif dasar listrik. Gangguan cuaca pada musim penghujan juga diperkirakan memengaruhi pasokan sejumlah barang kebutuhan pokok.
“Sementara, nilai tukar rupiah diperkirakan di kisaran Rp11.850 hingga Rp12.250, pengangguran di 6%, sedangkan kemiskinan di 11,5%,” paparnya. Ekonom INDEF yang lain, Ahmad Erani Yustika mengemukakan 10 kegagalan pada indikator ekonomi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara, hanya enam indikator kinerja ekonomi yang dinilai mengalami perbaikan selama dua periode kepemimpinan SBY.
“Walaupun enam indikator mengalami perbaikan, masih terdapat beberapa catatan,” tegasnya. Erani mengatakan, enam indikator yang mengalami perbaikan adalah angka pertumbuhan ekonomi yang rata-rata berkisar 5-6%, kemudian peranan investasi yang meningkat 23% (2004) menjadi 31% tahun 2014 dengan pertumbuhan terus meningkat. Indikator lainnya adalah kinerja perbankan yang terus membaik, ditandai dengan perkembangan aset rata-rata tumbuh 16,44%, dana pihak ketiga (DPK) 15,88%, dan kredit 21,62%.
Selain itu, indikator persentase angka kemiskinan juga menunjukkan perbaikan dengan penurunan angka kemiskinan dari 16,66% pada 2004 menjadi 11,25% pada 2014. Sementara, tingkat pengangguran terbuka menurun, pekerja formal naik dari 29,38% menjadi 39,90% di 2013. Terakhir, indikator yang mengalami perbaikan adalah indeks pembangunan manusia (IPM) yang tercatat meningkat 7,45% dari 68,7 menjadi 73,45% pada 2013.
Erani mengatakan, meski enam indikator tersebut mengalami perbaikan, INDEF masih memberi beberapa catatan. Antara lain, pertumbuhan ekonomi yang masih didominasi sektor non-tradeable , penyebaran investasi belum merata, pengangguran terbuka masih banyak yang hanya bergeser ke sektor informal, penurunan angka kemiskinan, serta peningkatan IPM yang berjalan lambat.
Sedangkan, 10 indikator kinerja ekonomi yang mengalami kegagalan antara lain adalah ketimpangan yang melebar, terlihat dari rasio gini yang tercatat 0,32 menjadi 0,41. Indikator lainnya adalah deindustrialisasi, yang terlihat dari peran industri terhadap PDB yang merosot dari 28% pada 2004 menjadi 23,5% pada 2013.
Ria martati
(ars)