Salah Persepsi di Bursa Saham
A
A
A
Banyak investor termasuk yang berpengalaman sekalipun mempunyai persepsi yang salah tentang investasi saham. Inilah salah persepsi yang masih terus terjadi di bursa saham kita berdasarkan pengamatan saya.
Perusahaan Bagus, Sahamnya juga Bagus
Perusahaan bagus ukuran sederhananya adalah perusahaan yang mempunyai peringkat yang bagus, minimal BBB sebagai batas rating layak investasi. Kriteria lain, perusahaan bagus adalah perusahaan yang produknya ada di sekitar kita, membayar dividen tahunan, dan sering memperoleh award.
Adapun saham yang bagus adalah saham berharga bagus atau saham yang menjanjikan return yang besar di masa depan. Investor sering tidak mampu membedakan keduanya. Saham dari perusahaan bagus dipandang akan selalu bagus dan layak dikoleksi.
Pandangan ini tidak benar karena saham bagus atau jelek harus dilihat terpisah dari perusahaannya, artinya mesti dilihat dari murah atau mahalnya harga saham itu di pasar pada saat tertentu. Akibat optimisme dan pesimisme yang berlebihan, saham perusahaan bagus bisa kemahalan.
Contohnya, dua saham blue chip yang juga 10 saham berkapitalisasi pasar terbesar dan 30 saham terlikuid, yaitu Astra International (ASII) dan Semen Indonesia (SMGR). Harga saham Astra turun dalam dua tahun terakhir, yaitu dari Rp8.050 di akhir Oktober 2012 lalu menjadi hanya Rp7.125 akhir bulan lalu.
Adapun SMGR yang sempat berharga Rp18.400 pada akhir April 2013 lalu kini hanya dihargai Rp16.000. Mengapa banyak investor menganggap saham bagus adalah saham dari perusahaan bagus? Pemenang Nobel Ekonomi 2002 Kahneman dan Tversky menyebutkan kejadian ini sebagai bias representatif.
Bias ini berhubungan dengan fenomena manusia yang sering kali mengambil keputusan berdasarkan stereotip. Banyak sekali kita menemui contoh bias ini dalam kehidupan sehari-hari. Lulusan yang ber-IPK tinggi dipercaya akan berprestasi bagus dalam bekerja. Ini tidak tepat lagi karena di banyak perguruan tinggi sekarang ini IPK 3,5 itu rata-rata alias 80–90% lulusan ber-IPK di atas 3.
Pertumbuhan IHSG: Return Rerata
Kedua, investor percaya bahwa return rata-rata investasi saham dicerminkan oleh pertumbuhan IHSG. Jika return sebuah portofolio saham, apakah dikelola oleh manajer investasi atau divisi investasi atau investor ritel, di atas returnIHSG, portofolio itu dikatakan di atas ratarata atau mengalahkan pasar dan sebaliknya jika kinerja portofolio berada di bawah kenaikan IHSG.
Pandangan itu salah karena IHSG hanya menggambarkan komponen capital gain(kenaikan harga), sementara returninvestasi itu terdiri atas dividen dan capital gain. Karenanya, return acuan yang digunakan untuk kinerja pasar (atau ratarata) mestinya adalah perubahan IHSG + dividend yield yang besarnya sekitar 2,5%. Jika IHSG tahun ini naik 20%, return patokan portofolio harusnya adalah 22,5% (20%+2,5%).
Reksadana Saham Mengungguli IHSG
Persepsi salah ketiga masih berkaitan dengan yang kedua. Untuk mengukur apakah kinerja sebuah reksadana saham dapat mengalahkan pasar atau tidak, kita dapat membandingkan returnyang diperoleh reksadana itu dengan perubahan IHSG untuk periode yang sama.
Jika IHSG bertumbuh -1% sepanjang tahun lalu, reksadana yang memberikan return lebih baik dari angka ini mestinya dapat dikatakan mengungguli pasar. Mengingat reksadana saham dikelola oleh manajer investasi profesional yang terus memantau pasar dan memiliki akses terhadap informasi terakhir mengenai perekonomian dan emiten, kinerja portofolionya mestinya akan di atas IHSG.
Pandangan itu keliru karena return ratarata reksadana saham tahun lalu adalah sekitar -3,7%, jauh di bawah IHSG. Kinerja reksadana saham ternyata lebih dekat dengan pertumbuhan indeks LQ- 45 yang hampir selalu di bawah IHSG.
Untuk Anda ketahui, dengan menggunakan acuan - 1%, hanya 30 reksadana yang mengungguli IHSG, sementara 100 lebih lainnya di bawah IHSG. Jika mengacu pada patokan yang benar, yaitu 1,5%, jumlah reksadana yang mengalahkan pasar tinggal belasan saja.
Strategi Aktif Mengalahkan Pasif
Mengapa hanya segelintir manajer investasi pengelola reksadana saham ini berkinerja bagus dan yang lainnya melempem? Ini karena mereka menerapkan strategi aktif dengan mengandalkan analisis momentum dan teknis. Akibat strategi dan pendekatan ini, mereka bertransaksi dengan sering sehingga biaya transaksi pun menjadi besar.
Karena itu, pakar investasi sekelas Warren Buffett dan Benjamin Graham menyarankan investor untuk menghindari reksadana aktif dan hanya mengoleksi reksadana pasif seperti reksadana indeks atau ETF (exchange-traded fund). Nasihat itu persis seperti hasil penelitian Barber dan Odean yang dipublikasikan dalam Journal of Finance dengan judul yang provokatif, yaitu Trading is hazardous to your wealth. Karena salah persepsi, tidak banyak investor saham yang menyadari strategi aktif, apalagi yang ikut-ikutan pasar, adalah berbahaya untuk kekayaannya.
Investor Asing Lebih Hebat
Terakhir, banyak investor domestik percaya bahwa investor asing yang menguasai sekitar 60% saham free-float di BEI mempunyai kemampuan dan memperoleh return lebih besar daripada investor dalam negeri. Dalam pasar keuangan, bukankah big is powerful? Buktinya, IHSG umumnya akan naik jika terjadi net buyasing dan akan turun saat asing net sell.
Penelitian yang ada, yaitu dari Dvorak dalam Journal of Finance (2005), berkesimpulan sebaliknya. Investor saham domestik yang menjadi nasabah perusahaan sekuritas asinglah yang ternyata memperoleh keuntungan lebih besar dan yang lebih unggul dalam informasi. Sejatinya, investor bermodal besar di bursa berkapitalisasi kecil seperti di BEI juga mengalami kesulitan, yaitu market impact. Saham apa pun yang dibeli akan naik dan yang dijual akan turun.
Budi frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
Perusahaan Bagus, Sahamnya juga Bagus
Perusahaan bagus ukuran sederhananya adalah perusahaan yang mempunyai peringkat yang bagus, minimal BBB sebagai batas rating layak investasi. Kriteria lain, perusahaan bagus adalah perusahaan yang produknya ada di sekitar kita, membayar dividen tahunan, dan sering memperoleh award.
Adapun saham yang bagus adalah saham berharga bagus atau saham yang menjanjikan return yang besar di masa depan. Investor sering tidak mampu membedakan keduanya. Saham dari perusahaan bagus dipandang akan selalu bagus dan layak dikoleksi.
Pandangan ini tidak benar karena saham bagus atau jelek harus dilihat terpisah dari perusahaannya, artinya mesti dilihat dari murah atau mahalnya harga saham itu di pasar pada saat tertentu. Akibat optimisme dan pesimisme yang berlebihan, saham perusahaan bagus bisa kemahalan.
Contohnya, dua saham blue chip yang juga 10 saham berkapitalisasi pasar terbesar dan 30 saham terlikuid, yaitu Astra International (ASII) dan Semen Indonesia (SMGR). Harga saham Astra turun dalam dua tahun terakhir, yaitu dari Rp8.050 di akhir Oktober 2012 lalu menjadi hanya Rp7.125 akhir bulan lalu.
Adapun SMGR yang sempat berharga Rp18.400 pada akhir April 2013 lalu kini hanya dihargai Rp16.000. Mengapa banyak investor menganggap saham bagus adalah saham dari perusahaan bagus? Pemenang Nobel Ekonomi 2002 Kahneman dan Tversky menyebutkan kejadian ini sebagai bias representatif.
Bias ini berhubungan dengan fenomena manusia yang sering kali mengambil keputusan berdasarkan stereotip. Banyak sekali kita menemui contoh bias ini dalam kehidupan sehari-hari. Lulusan yang ber-IPK tinggi dipercaya akan berprestasi bagus dalam bekerja. Ini tidak tepat lagi karena di banyak perguruan tinggi sekarang ini IPK 3,5 itu rata-rata alias 80–90% lulusan ber-IPK di atas 3.
Pertumbuhan IHSG: Return Rerata
Kedua, investor percaya bahwa return rata-rata investasi saham dicerminkan oleh pertumbuhan IHSG. Jika return sebuah portofolio saham, apakah dikelola oleh manajer investasi atau divisi investasi atau investor ritel, di atas returnIHSG, portofolio itu dikatakan di atas ratarata atau mengalahkan pasar dan sebaliknya jika kinerja portofolio berada di bawah kenaikan IHSG.
Pandangan itu salah karena IHSG hanya menggambarkan komponen capital gain(kenaikan harga), sementara returninvestasi itu terdiri atas dividen dan capital gain. Karenanya, return acuan yang digunakan untuk kinerja pasar (atau ratarata) mestinya adalah perubahan IHSG + dividend yield yang besarnya sekitar 2,5%. Jika IHSG tahun ini naik 20%, return patokan portofolio harusnya adalah 22,5% (20%+2,5%).
Reksadana Saham Mengungguli IHSG
Persepsi salah ketiga masih berkaitan dengan yang kedua. Untuk mengukur apakah kinerja sebuah reksadana saham dapat mengalahkan pasar atau tidak, kita dapat membandingkan returnyang diperoleh reksadana itu dengan perubahan IHSG untuk periode yang sama.
Jika IHSG bertumbuh -1% sepanjang tahun lalu, reksadana yang memberikan return lebih baik dari angka ini mestinya dapat dikatakan mengungguli pasar. Mengingat reksadana saham dikelola oleh manajer investasi profesional yang terus memantau pasar dan memiliki akses terhadap informasi terakhir mengenai perekonomian dan emiten, kinerja portofolionya mestinya akan di atas IHSG.
Pandangan itu keliru karena return ratarata reksadana saham tahun lalu adalah sekitar -3,7%, jauh di bawah IHSG. Kinerja reksadana saham ternyata lebih dekat dengan pertumbuhan indeks LQ- 45 yang hampir selalu di bawah IHSG.
Untuk Anda ketahui, dengan menggunakan acuan - 1%, hanya 30 reksadana yang mengungguli IHSG, sementara 100 lebih lainnya di bawah IHSG. Jika mengacu pada patokan yang benar, yaitu 1,5%, jumlah reksadana yang mengalahkan pasar tinggal belasan saja.
Strategi Aktif Mengalahkan Pasif
Mengapa hanya segelintir manajer investasi pengelola reksadana saham ini berkinerja bagus dan yang lainnya melempem? Ini karena mereka menerapkan strategi aktif dengan mengandalkan analisis momentum dan teknis. Akibat strategi dan pendekatan ini, mereka bertransaksi dengan sering sehingga biaya transaksi pun menjadi besar.
Karena itu, pakar investasi sekelas Warren Buffett dan Benjamin Graham menyarankan investor untuk menghindari reksadana aktif dan hanya mengoleksi reksadana pasif seperti reksadana indeks atau ETF (exchange-traded fund). Nasihat itu persis seperti hasil penelitian Barber dan Odean yang dipublikasikan dalam Journal of Finance dengan judul yang provokatif, yaitu Trading is hazardous to your wealth. Karena salah persepsi, tidak banyak investor saham yang menyadari strategi aktif, apalagi yang ikut-ikutan pasar, adalah berbahaya untuk kekayaannya.
Investor Asing Lebih Hebat
Terakhir, banyak investor domestik percaya bahwa investor asing yang menguasai sekitar 60% saham free-float di BEI mempunyai kemampuan dan memperoleh return lebih besar daripada investor dalam negeri. Dalam pasar keuangan, bukankah big is powerful? Buktinya, IHSG umumnya akan naik jika terjadi net buyasing dan akan turun saat asing net sell.
Penelitian yang ada, yaitu dari Dvorak dalam Journal of Finance (2005), berkesimpulan sebaliknya. Investor saham domestik yang menjadi nasabah perusahaan sekuritas asinglah yang ternyata memperoleh keuntungan lebih besar dan yang lebih unggul dalam informasi. Sejatinya, investor bermodal besar di bursa berkapitalisasi kecil seperti di BEI juga mengalami kesulitan, yaitu market impact. Saham apa pun yang dibeli akan naik dan yang dijual akan turun.
Budi frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
(bbg)