Cahaya Kehidupan

Senin, 01 Desember 2014 - 12:39 WIB
Cahaya Kehidupan
Cahaya Kehidupan
A A A
Alkisah, seorang remaja yang menanjak dewasa sedang bersenang hati. Putri namanya. Ia bersukacita karena diterima di perguruan tinggi yang cukup ternama.

Namun untuk itu, dia harus pindah ke luar kota guna melanjutkan pendidikannya. Beruntung, meski akan tinggal berjauhan, Putri mendapat banyak fasilitas kemudahan. Salah satunya karena orang tuanya membelikan sebuah rumah mungil yang sudah direnovasi di dekat sekolah barunya. Selain orang tuanya cukup berada, rumah itu memang dibeli untuk investasi.

Setelah selesai mengurus semua kebutuhan sekolah, Putri pun pindah ke rumah tersebut. Pada awal masuk kuliah, ia sangat sibuk. Beberapa waktu dihabiskannya di kampus, karena sebagai anak baru, kegiatannya sangat padat. Tak heran, Putri nyaris belum pernah bersosialisasi dengan tetangga baru di kiri kanan rumahnya. Karena itu pula, baru setelah beberapa waktu, Putri sadar di sebelah tempat tinggalnya ada rumah yang tampak sangat sederhana.

Tapi Putri lebih senang sibuk dengan kegiatannya. Sesekali ia hanya berbasabasi dengan senyum kecil ketika bertemu dengan keluarga di rumah tersebut. Yang ia tahu, rumah itu hanya dihuni seorang ibu muda dengan dua anaknya. Suatu malam terjadi hal yang tidak diinginkan. Listrik di sekitar rumah Putri mati! Keadaan pun gelap gulita. Putri segera meraih telepon genggamnya dan menyalakan layar untuk menerangi sekitarnya.

“Mau mengerjakan tugas, pakai mati lampu segala!” keluh Putri dengan perasaan jengkel. Tidak lama kemudian, tibatiba terdengar suara ketukan pintu berulang-ulang diikuti teriakan nyaring, “Kakaaak... Kakaaak!” Putri membalas berteriak dari dalam, “Hai… Siapaaaa?” “Saya, Kak. Anak sebelah rumah. Kakak punya lilin..?” Sambil berjalan menghampiri pintu, Putri sempat berpikir, “Anak sebelah, jangan-jangan mau minta-minta. Nanti jadi kebiasaan minta.

” Jadi segera dijawabnya, “Tidak punyaaa!” “Kalau begitu tolong buka pintunya, Kak,” kata anak itu mengulang. Akhirnya, dengan setengah malas—ditambah pikiran negatif di kepalanya—Putri pun membuka pintu. “Kak, saya dan mama khawatir. Di sini kan sering mati lampu. Kakak orang baru, pasti belum tersedia lilin. Ini Kak, mama menyuruh saya untuk membawakan lilin untuk kakak,” seraya tangan mungilnya mengangsurkan dua batang lilin ke arah Putri.

Putri sejenak terpana. Dugaannya salah. Orang yang dipikirnya hendak meminta-minta malah ingin berbagi. Dia pun segera jongkok dan memeluk tubuh mungil di hadapannya sambil mengeluarkan suara tercekat. “Terima kasih, adik kecil. Tolong sampaikan ke mamamu ya, terima kasih..” Putri malu pada dirinya sendiri yang telah berpikiran jelek dan tidak menyangka bahwa tetangganya yang tampak begitu sederhana justru menunjukkan kebesaran jiwa dengan mengkhawatirkan dirinya. Mereka bahkan memberinya lilin, seolah cahaya kehidupan.

Bukan seperti pemikirannya, bahwa si miskin yang datang mengetuk pintu pasti bertujuan untuk mengganggu dan meminta tolong atau menyusahkan kita saja. Sejak saat itu, Putri berjanji akan lebih banyak bersosialisasi dengan tetangga barunya. Ia juga berkata pada dirinya sendiri, untuk mengurangi rasa curiga dan pikiran negatif terhadap apa yang dilihatnya.

The Cup of Wisdom

Kadang kala kita berburuk sangka. Dari sekadar melihat sesuatu yang kurang nyaman dipandang mata, kita sudah menduga-duga. Dari sekadar cerita angin lalu, kita langsung percaya. Dari sekadar sangkaan di kepala, kita langsung m-enurutinya. Padahal, banyak asumsi yang kerap salah duga.

Memang, perasaan tidak nyaman kadang menguasai saat teman atau kerabat yang tidak mampu mengetuk pintu rumah kita atau menghubungi kita. Jangan-jangan, cuma mau minta tolong. Atau, asal ada orang berwajah memelas, pasti kita sudah menyangkanya susah. Kalaupun kemudian menolong, kadang tetap dengan rasa curiga. Atau, kalaupun mengulurkan tangan, kadang diliputi keterpaksaan.

Padahal, sesungguhnya jika ada teman atau kerabat yang sedang kesusahan, bukankah kita sedang diberi kesempatan untuk berbuat baik? Seperti hukum alam mengajarkan filosofi “tabur-tuai”. Tanpa menabur kebaikan, bagaimana mungkin kita berharap bisa menuai kebaikan di masa depan? Mari kita coba perbaiki cara berpikir.

Jauhkan diri dari prasangka negatif. Ubah sudut pandang bahwa membantu orang lain adalah bagian dari kebahagiaan. Mari terus melatih dan membiasakan diri jika ada kesempatan membantu orang lain untuk mengutamakan kebaikan dan pola pikir yang positif. Niscaya, dengan banyak membantu, hidup kita pun akan jauh lebih bermutu. Salam sukses, luar biasa!
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0594 seconds (0.1#10.140)