Perusahaan Diminta Tak Curangi Pajak
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah meminta perusahaanperusahaan pengekspor untuk tidak bertindak curang guna mengakali pajak. Pemerintah mensinyalir masih banyak perusahaan yang melakukan kecurangan berupa transfer pricing maupun melakukan pinjaman pada afiliasi usaha atau induk usahanya di luar negeri.
Tindakan-tindakan itu menyebabkan negara merugi akibat berkurangnya penerimaan pajak. “Tentunya saya tidak bisa menunjuk satu-satu, tapi ini sifatnya imbauan. Kalau memang melakukan ekspor diharapkan tidak disertai dengan upaya transfer pricing,” ujar Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta kemarin. Bambang mengatakan, penerimaan pajak tersandera dengan isu transfer pricing.
Transfer pricing, tegas dia, sangat merugikan negara karena mengurangi penerimaan pajak. Transfer pricing adalah akal-akalan perusahaan dengan melakukan transaksi dengan harga yang tidak wajar, bisa berupa penggelembungan harga (mark up) atau penurunan harga (mark down ). Praktik tersebut biasanya dilakukan oleh beberapa divisi pada suatu kelompok usaha.
Kebanyakan praktik tersebut terjadi di perusahaan multinasional. Praktik tersebut bertujuan untuk mencurangi jumlah keuntungan sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen rendah. Selain itu, praktik tersebut juga digunakan untuk memoles laporan keuangan agar terlihat lebih bagus. Imbauan tersebut dikeluarkan pemerintah karena masih banyak terjadi praktik transfer pricing.
Seperti diketahui, pemerintah tengah berupaya menggenjot penerimaan pajak. Sebelumnya, menteri keuangan menargetkan penerimaan pajak bisa mencapai 93% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 yang ditetapkan Rp1.072,3 triliun.
Pemerintah, menurutnya, akan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan meminimalkan kecurangan-kecurangan dalam bidang perpajakan. Tercatat, penerimaan pajak pada periode Januari hingga September tahun ini baru mencapai Rp688,05 triliun atau baru sekitar 64,18% dari target APBN-P 2014 yang dipatok Rp1.072,3 triliun.
Sementara pada periode Januari-September tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mencatat penerimaan pajak hanya Rp638,17 triliun. Penerimaan pajak hingga September tahun ini berasal dari PPh nonmigas senilai Rp329,28 triliun, PPN dan PPnBM Rp280,9 triliun, PBB senilai Rp14,1 triliun, pajak lainnya senilai Rp4,36 triliun, dan PPh Migas Rp59,35 triliun.
Untuk menggenjot penerimaan, Ditjen Pajak juga telah melakukan upaya untuk meminimalisasi pemalsuan faktur pajak dengan mengubah sistem perpajakan di bidang pajak pertambahan nilai (PPN) dengan sistem online atau e-tax invoice . Dengan sistem tersebut, setiap faktur pajak yang diterbitkan langsung terhubung dengan Ditjen Pajak.
Dengan begitu, tidak akan ada faktur yang bisa dikeluarkan tanpa sepengetahuan Ditjen Pajak. Namun sayangnya, sistem itu baru bisa diikuti oleh 45 perusahaan besar di Indonesia. Pasalnya belum semua perusahaan siap dengan sistem tersebut. Dalam tiga tahun ke depan diharapkan semua perusahaan sudah dapat terhubung dengan system baru tersebut.
Dirjenpajak yang dijabat Fuad Rahmany ketika itu mengatakan, dengan etax invoice, penerimaan pajak akan bertambah dua kali lipat. Saat ini wajib pajak yang membayar pajak individu baru 45%, sementara perusahaan baru 12-15%. Selain mengimbau perusahaan tak melakukan transfer pricing, Bambang juga mengimbau perusahaan-perusahaan untuk tidak melakukan pinjaman dari induk usaha atau perusahaan terafiliasi.
Dia meminta korporasi berutang pada bank-bank komersial, bukan pada perusahaan induk. “Yang tidak kami harapkan adalah apabila pinjaman itu dilakukan secara terafiliasi, karena itu otomatis akan menggerus profit dan berujung pada tidak ada pajak yang dibayar,” kata Bambang.
Ria martati
Tindakan-tindakan itu menyebabkan negara merugi akibat berkurangnya penerimaan pajak. “Tentunya saya tidak bisa menunjuk satu-satu, tapi ini sifatnya imbauan. Kalau memang melakukan ekspor diharapkan tidak disertai dengan upaya transfer pricing,” ujar Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta kemarin. Bambang mengatakan, penerimaan pajak tersandera dengan isu transfer pricing.
Transfer pricing, tegas dia, sangat merugikan negara karena mengurangi penerimaan pajak. Transfer pricing adalah akal-akalan perusahaan dengan melakukan transaksi dengan harga yang tidak wajar, bisa berupa penggelembungan harga (mark up) atau penurunan harga (mark down ). Praktik tersebut biasanya dilakukan oleh beberapa divisi pada suatu kelompok usaha.
Kebanyakan praktik tersebut terjadi di perusahaan multinasional. Praktik tersebut bertujuan untuk mencurangi jumlah keuntungan sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen rendah. Selain itu, praktik tersebut juga digunakan untuk memoles laporan keuangan agar terlihat lebih bagus. Imbauan tersebut dikeluarkan pemerintah karena masih banyak terjadi praktik transfer pricing.
Seperti diketahui, pemerintah tengah berupaya menggenjot penerimaan pajak. Sebelumnya, menteri keuangan menargetkan penerimaan pajak bisa mencapai 93% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 yang ditetapkan Rp1.072,3 triliun.
Pemerintah, menurutnya, akan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan meminimalkan kecurangan-kecurangan dalam bidang perpajakan. Tercatat, penerimaan pajak pada periode Januari hingga September tahun ini baru mencapai Rp688,05 triliun atau baru sekitar 64,18% dari target APBN-P 2014 yang dipatok Rp1.072,3 triliun.
Sementara pada periode Januari-September tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mencatat penerimaan pajak hanya Rp638,17 triliun. Penerimaan pajak hingga September tahun ini berasal dari PPh nonmigas senilai Rp329,28 triliun, PPN dan PPnBM Rp280,9 triliun, PBB senilai Rp14,1 triliun, pajak lainnya senilai Rp4,36 triliun, dan PPh Migas Rp59,35 triliun.
Untuk menggenjot penerimaan, Ditjen Pajak juga telah melakukan upaya untuk meminimalisasi pemalsuan faktur pajak dengan mengubah sistem perpajakan di bidang pajak pertambahan nilai (PPN) dengan sistem online atau e-tax invoice . Dengan sistem tersebut, setiap faktur pajak yang diterbitkan langsung terhubung dengan Ditjen Pajak.
Dengan begitu, tidak akan ada faktur yang bisa dikeluarkan tanpa sepengetahuan Ditjen Pajak. Namun sayangnya, sistem itu baru bisa diikuti oleh 45 perusahaan besar di Indonesia. Pasalnya belum semua perusahaan siap dengan sistem tersebut. Dalam tiga tahun ke depan diharapkan semua perusahaan sudah dapat terhubung dengan system baru tersebut.
Dirjenpajak yang dijabat Fuad Rahmany ketika itu mengatakan, dengan etax invoice, penerimaan pajak akan bertambah dua kali lipat. Saat ini wajib pajak yang membayar pajak individu baru 45%, sementara perusahaan baru 12-15%. Selain mengimbau perusahaan tak melakukan transfer pricing, Bambang juga mengimbau perusahaan-perusahaan untuk tidak melakukan pinjaman dari induk usaha atau perusahaan terafiliasi.
Dia meminta korporasi berutang pada bank-bank komersial, bukan pada perusahaan induk. “Yang tidak kami harapkan adalah apabila pinjaman itu dilakukan secara terafiliasi, karena itu otomatis akan menggerus profit dan berujung pada tidak ada pajak yang dibayar,” kata Bambang.
Ria martati
(bbg)