Freeport Diberi Keistimewaan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memberikan keistimewaan kepada PT Freeport Indonesia dengan tidak menetapkan batas waktu untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga di Papua.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar beralasan, dalam draf amendemen kontrak pertambangan dengan Freeport memang tidak disebutkan batas waktu untuk membangun smelter. Freeport hanya diminta untuk membangun smelter tersebut sebagai bagian dari hilirisasi sektor pertambangan.
“Industri yang dibangun side product , praktis butuh waktu lima tahun dari sekarang, tidak bisa cepat. Jadi tidak harus 2017 untuk smelter di Papua,” ungkap Sukhyar di Jakarta kemarin. Sukhyar menambahkan, pembangunan smelter di Papua pun bukan menjadi persyaratan terkait perpanjangan kontrak Freeport seiring akan habisnya masa kontraknya pada 2021.
“Pembangunan smelter ini merupakan hal yang berbeda dengan perpanjangan izin operasi pasca-2021,” ujarnya. Namun bagi anggota DPR Komisi VII Dewi Yasin Limpo, keistimewaan yang diberikan pemerintah kepada Freeport merupakan tindakan diskriminatif. Dewi mengatakan perlakuan berbeda diberikan pemerintah pada perusahaan tambang bauksit yang tidak diberikan keleluasaan ekspor sebelum membangun fasilitas pengolahan.
Diketahui, pemerintah mulai memberlakukan kebijakan larangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014 seiring implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. “Kami melihat ada diskriminasi, karena di satu sisi pelaku tambang bauksit tidak boleh ekspor dan terpaksa menutup usaha,” cetusnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah berlaku adil dan memberikan tenggat waktu ketat kepada perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini untuk membangun smelter di Papua. Menurut dia, aspirasi rakyat Papua juga adalah menghendaki perusahaan tambang itu segera memenuhi kewajiban- kewajibannya. Jika smelter tidak dibangun, kata dia, maka pemerintah tidak boleh memperpanjang kontrak Freeport.
“Apalagi, Freeport telah diberikan keleluasaan oleh pemerintah untuk kembali mengekspor konsentrat,” tuturnya. Sebagai informasi, kewajiban pembangunan smelter di Papua oleh Freeport muncul lima bulan setelah perusahaan tambang itu menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding /MoU) amendemen kontrak pertambangan pada 25 Juli 2014.
Seiring dengan adanya nota kesepahaman itu, Freeport menyetorkan dana sebesar USD115 juta sebagai bentuk komitmen pembangunan smelter tembaga senilai USD2,3 miliar di Gresik, Jawa Timur. Sejauh ini Freeport baru melaporkan kepada Kementerian ESDM mengenai perubahan kapasitas smelter yang dibangun.
Kapasitas produksi smelter Freeport yang akan dibangun di Gresik ditingkatkan menjadi 500.000 ton tembaga katoda dari sebelumnya yang ditargetkan sebesar 400.000 ton tembaga katoda guna menyesuaikan kapasitas produksi konsentrat pasca-2021. Seiring peningkatan kapasitas produksi, kebutuhan bahan baku konsentrat juga meningkat menjadi 2 juta ton dari perencanaan semula 1,6 juta ton konsentrat tembaga.
Sementara untuk smelter di Papua, kapasitas produksinya diperkirakan akan lebih kecil dengan kebutuhan konsentrat sebesar 600.000 ton per tahun.
Nanang wijayanto
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar beralasan, dalam draf amendemen kontrak pertambangan dengan Freeport memang tidak disebutkan batas waktu untuk membangun smelter. Freeport hanya diminta untuk membangun smelter tersebut sebagai bagian dari hilirisasi sektor pertambangan.
“Industri yang dibangun side product , praktis butuh waktu lima tahun dari sekarang, tidak bisa cepat. Jadi tidak harus 2017 untuk smelter di Papua,” ungkap Sukhyar di Jakarta kemarin. Sukhyar menambahkan, pembangunan smelter di Papua pun bukan menjadi persyaratan terkait perpanjangan kontrak Freeport seiring akan habisnya masa kontraknya pada 2021.
“Pembangunan smelter ini merupakan hal yang berbeda dengan perpanjangan izin operasi pasca-2021,” ujarnya. Namun bagi anggota DPR Komisi VII Dewi Yasin Limpo, keistimewaan yang diberikan pemerintah kepada Freeport merupakan tindakan diskriminatif. Dewi mengatakan perlakuan berbeda diberikan pemerintah pada perusahaan tambang bauksit yang tidak diberikan keleluasaan ekspor sebelum membangun fasilitas pengolahan.
Diketahui, pemerintah mulai memberlakukan kebijakan larangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014 seiring implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. “Kami melihat ada diskriminasi, karena di satu sisi pelaku tambang bauksit tidak boleh ekspor dan terpaksa menutup usaha,” cetusnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah berlaku adil dan memberikan tenggat waktu ketat kepada perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini untuk membangun smelter di Papua. Menurut dia, aspirasi rakyat Papua juga adalah menghendaki perusahaan tambang itu segera memenuhi kewajiban- kewajibannya. Jika smelter tidak dibangun, kata dia, maka pemerintah tidak boleh memperpanjang kontrak Freeport.
“Apalagi, Freeport telah diberikan keleluasaan oleh pemerintah untuk kembali mengekspor konsentrat,” tuturnya. Sebagai informasi, kewajiban pembangunan smelter di Papua oleh Freeport muncul lima bulan setelah perusahaan tambang itu menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding /MoU) amendemen kontrak pertambangan pada 25 Juli 2014.
Seiring dengan adanya nota kesepahaman itu, Freeport menyetorkan dana sebesar USD115 juta sebagai bentuk komitmen pembangunan smelter tembaga senilai USD2,3 miliar di Gresik, Jawa Timur. Sejauh ini Freeport baru melaporkan kepada Kementerian ESDM mengenai perubahan kapasitas smelter yang dibangun.
Kapasitas produksi smelter Freeport yang akan dibangun di Gresik ditingkatkan menjadi 500.000 ton tembaga katoda dari sebelumnya yang ditargetkan sebesar 400.000 ton tembaga katoda guna menyesuaikan kapasitas produksi konsentrat pasca-2021. Seiring peningkatan kapasitas produksi, kebutuhan bahan baku konsentrat juga meningkat menjadi 2 juta ton dari perencanaan semula 1,6 juta ton konsentrat tembaga.
Sementara untuk smelter di Papua, kapasitas produksinya diperkirakan akan lebih kecil dengan kebutuhan konsentrat sebesar 600.000 ton per tahun.
Nanang wijayanto
(ars)