Merger Mandiri-BNI Tidak Bisa Segera Direalisasikan
A
A
A
JAKARTA - Wacana merger dua bank plat merah, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk tidak bisa direalisasikan dalam waktu cepat.
“Kalau bisa, ini (merger) ditahan. Melihat kesiapan dari masing-masing, misalnya untuk lima tahun ke depan ke sana, mungkin bisa saja. Tapi kalau dalam waktu dekat, saya rasa jangan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Haryajid Ramelan saat diskusi Emiten Bicara Industri (EBI) yang mengambil tema Melirik Konsekuensi Merger Dua Perusahaan Terbuka di Jakarta, Rabu (18/2).
Menurut Haryajid, melihat kondisi perbankan nasional saat ini, yang diperlukan bukan konsolidasi antarbank melainkan konsolidasi internal dari bank itu sendiri. Dia mengungkapkan, keuntungan yang akan diperoleh BNI, Mandiri, atau pemerintah selaku pemilik kedua bank besar tersebut relatif minim namun justru memiliki potensi biaya yang besar. “Kalau dibilang mudarat tidak juga, cuma benefit - nya (dari merger) tidak sebesar yang diharapkan,” paparnya.
Haryajid mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan juga Kementerian BUMN, sebaiknya memperhitungkan kembali dengan cermat untung ruginya penggabungan Mandiri-BNI. “Tolong dikalkulasi lagi, jangan sampai kita menyesal. Kalau sudah terjadi (baru menyesal), maka sayang sekali,” ujarnya.
Dia menilai, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tidak menutup kemungkinan kedua bank tersebut untuk maju dan bersaing dengan bank-bank asing kendati modal yang dimiliki masih relatif kecil dibandingkan modal bank-bank asing. BNI maupun Mandiri sebenarnya dapat berbagi peran dalam melakukan fungsi intermediasi perbankan dengan memiliki fokus bisnis yang berbeda.
Hal senada diungkapkan Direktur Utama BNI Gatot Suwondo bahwa merger antara dua bank tersebut lebih banyak kerugiannya dibandingkan keuntungan. Menurutnya, kerugian tersebut bukan dari salah satu bank, kedua bank pun bisa rugi. Alasannya, keduanya mempunyai cabang, anak perusahaan, maupun strategik partner.
“Kalau merger kan pasti berubah nama. Cabang-cabang kita yang ada di luar negeri lisensinya akan dicabut kalau berubah nama. Itu yang menjadi pertimbangan kita,” ungkap dia pada kesempatan sama. Bukan hanya itu, pasti akan ada ketimpangan dari social cost atau dari segi gaji karyawan.
Dia menyebut, gaji karyawan yang tinggi pasti tidak mau turun. Begitu juga sebaliknya, yang rendah pasti ingin mengikuti yang tinggi. “Kenapa bank BUMN yang diusik. Kan ada tiga bank BUMN, hati-hati dengan yang satunya, siapa tahu bisa tibatiba melesat,” katanya.
Gatot mengungkapkan, merger kedua bank BUMN butuh banyak pertimbangan dan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Selain itu, kedua bank memiliki visi misi yang berbeda. Dia menilai, belum tentu sinergi dapat tercapai jika merger telah dilakukan. Tanpa alasan dan tujuan yang jelas, pihaknya akan tetap menolak wacana merger BNI dan Mandiri.
Pakar hukum pasar modal Indra Safitri menyampaikan, isu merger harus hati-hati karena setiap pernyataan akan berpengaruh pada pergerakan saham lantaran perusahaan publik.
“OJK perlu beri warning . Sebab, merger itu harusnya rahasia, karena ada beberapa yang terkait dengan harga saham,” imbuh dia.
Kunthi fahmar sandy
“Kalau bisa, ini (merger) ditahan. Melihat kesiapan dari masing-masing, misalnya untuk lima tahun ke depan ke sana, mungkin bisa saja. Tapi kalau dalam waktu dekat, saya rasa jangan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Haryajid Ramelan saat diskusi Emiten Bicara Industri (EBI) yang mengambil tema Melirik Konsekuensi Merger Dua Perusahaan Terbuka di Jakarta, Rabu (18/2).
Menurut Haryajid, melihat kondisi perbankan nasional saat ini, yang diperlukan bukan konsolidasi antarbank melainkan konsolidasi internal dari bank itu sendiri. Dia mengungkapkan, keuntungan yang akan diperoleh BNI, Mandiri, atau pemerintah selaku pemilik kedua bank besar tersebut relatif minim namun justru memiliki potensi biaya yang besar. “Kalau dibilang mudarat tidak juga, cuma benefit - nya (dari merger) tidak sebesar yang diharapkan,” paparnya.
Haryajid mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan juga Kementerian BUMN, sebaiknya memperhitungkan kembali dengan cermat untung ruginya penggabungan Mandiri-BNI. “Tolong dikalkulasi lagi, jangan sampai kita menyesal. Kalau sudah terjadi (baru menyesal), maka sayang sekali,” ujarnya.
Dia menilai, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tidak menutup kemungkinan kedua bank tersebut untuk maju dan bersaing dengan bank-bank asing kendati modal yang dimiliki masih relatif kecil dibandingkan modal bank-bank asing. BNI maupun Mandiri sebenarnya dapat berbagi peran dalam melakukan fungsi intermediasi perbankan dengan memiliki fokus bisnis yang berbeda.
Hal senada diungkapkan Direktur Utama BNI Gatot Suwondo bahwa merger antara dua bank tersebut lebih banyak kerugiannya dibandingkan keuntungan. Menurutnya, kerugian tersebut bukan dari salah satu bank, kedua bank pun bisa rugi. Alasannya, keduanya mempunyai cabang, anak perusahaan, maupun strategik partner.
“Kalau merger kan pasti berubah nama. Cabang-cabang kita yang ada di luar negeri lisensinya akan dicabut kalau berubah nama. Itu yang menjadi pertimbangan kita,” ungkap dia pada kesempatan sama. Bukan hanya itu, pasti akan ada ketimpangan dari social cost atau dari segi gaji karyawan.
Dia menyebut, gaji karyawan yang tinggi pasti tidak mau turun. Begitu juga sebaliknya, yang rendah pasti ingin mengikuti yang tinggi. “Kenapa bank BUMN yang diusik. Kan ada tiga bank BUMN, hati-hati dengan yang satunya, siapa tahu bisa tibatiba melesat,” katanya.
Gatot mengungkapkan, merger kedua bank BUMN butuh banyak pertimbangan dan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Selain itu, kedua bank memiliki visi misi yang berbeda. Dia menilai, belum tentu sinergi dapat tercapai jika merger telah dilakukan. Tanpa alasan dan tujuan yang jelas, pihaknya akan tetap menolak wacana merger BNI dan Mandiri.
Pakar hukum pasar modal Indra Safitri menyampaikan, isu merger harus hati-hati karena setiap pernyataan akan berpengaruh pada pergerakan saham lantaran perusahaan publik.
“OJK perlu beri warning . Sebab, merger itu harusnya rahasia, karena ada beberapa yang terkait dengan harga saham,” imbuh dia.
Kunthi fahmar sandy
(ftr)