DPR Ragukan Rasio Elektrifikasi Capai 80%
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Yudha meragukan pernyataan pemerintah mengenai rasio elektrifikasi di seluruh daerah mencapai 80%.
Menurut dia, jumlahnya rasio elektifikasi kurang dari itu lantaran wilayah Indonesia yang belum teraliri listrik di Indonesia diyakini masih lebih dari 20%.
"Pemerintah selalu menggemborkan rasio elektrifikasi. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sampaikan paling tidak 80%. Ketika kami pergi ke Nusa Tenggara Barat (NTB) ada wilayah yang belum ada listrik. NTB itu terbilang rendah kalau bicara nasional," ujarnya di Jakarta, Minggu (1/3/2015).
Selain itu, dia menyampaikan masih banyak wilayah yang dialiri listrik berasal dari diesel, sehingga menyebabkan harga listrik menjadi lebih mahal di wilayah tersebut.
"Saat menginap di hotel saat ke NTB, empat kali mendapati listrik padam dalam sehari. Pada saat ketemu PLN, kita tanya itu hitungan rasio bagaimana? Buktinya saya di hotel empat kali padam," jelasnya.
Satya menilai, seharusnya pemerintah dan PLN membuat data rasio yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dia menduga, pemerintah selama ini hanya menghitung berdasarkan rumah yang teraliri listrik.
"Ternyata hitung berdasarkan rumah yang terlistriki, tapi asumsi dalam satu rumah ada empat orang. Kenyataannya ada satu rumah yang sampai tiga keluarga, ditambah lagi kelompok mana yang mampu dan tidak mampu terlistriki," pungkasnya.
(Baca: Delapan Cara ESDM Wujudkan Pembangkit 35.000 MW)
Menurut dia, jumlahnya rasio elektifikasi kurang dari itu lantaran wilayah Indonesia yang belum teraliri listrik di Indonesia diyakini masih lebih dari 20%.
"Pemerintah selalu menggemborkan rasio elektrifikasi. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sampaikan paling tidak 80%. Ketika kami pergi ke Nusa Tenggara Barat (NTB) ada wilayah yang belum ada listrik. NTB itu terbilang rendah kalau bicara nasional," ujarnya di Jakarta, Minggu (1/3/2015).
Selain itu, dia menyampaikan masih banyak wilayah yang dialiri listrik berasal dari diesel, sehingga menyebabkan harga listrik menjadi lebih mahal di wilayah tersebut.
"Saat menginap di hotel saat ke NTB, empat kali mendapati listrik padam dalam sehari. Pada saat ketemu PLN, kita tanya itu hitungan rasio bagaimana? Buktinya saya di hotel empat kali padam," jelasnya.
Satya menilai, seharusnya pemerintah dan PLN membuat data rasio yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dia menduga, pemerintah selama ini hanya menghitung berdasarkan rumah yang teraliri listrik.
"Ternyata hitung berdasarkan rumah yang terlistriki, tapi asumsi dalam satu rumah ada empat orang. Kenyataannya ada satu rumah yang sampai tiga keluarga, ditambah lagi kelompok mana yang mampu dan tidak mampu terlistriki," pungkasnya.
(Baca: Delapan Cara ESDM Wujudkan Pembangkit 35.000 MW)
(rna)