Hambat Investasi, PP Gambut Harus Direvisi

Senin, 09 Maret 2015 - 10:00 WIB
Hambat Investasi, PP...
Hambat Investasi, PP Gambut Harus Direvisi
A A A
JAKARTA - Berbagai kalangan menyesalkan jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tidak jadi merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Aturan tersebut akan menghambat ekspansi sektor kehutanan dan perkebunan yang sumbangsih devisa ekspornya sangat dibutuhkan perekonomian nasional seiring tren pelemahan rupiah. Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Staf Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi, mengatakan, pemerintah jangan kehilangan momentum karena ada restriksi yang terlalu berlebihan.

Jika PP lahan gambut tidak direvisi, itu bisa kontraproduktif terhadap sektor kehutanan dan perkebunan. “Nanti sektor kehutanan dan perkebunan tidak bisa ekspansi. Ini akan memukul ekspor nasional,” ujarnya. Menurut dia, pemerintah dan stakeholders wajib untuk mencari solusi bersama agar masalah ini bisa diatasi tanpa mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

“Pemerintah dan stakeholders harus cari win win solution. Ekspansi jalan, ekspor tumbuh, tapi harus melestarikan lingkungan. Itu solusinya,” paparnya. Sofjan menegaskan, Apindo akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan untuk mendiskusikan kembali masalah tersebut.

“Pasti ada solusi bersama yang dapat dicapai. Apalagi untuk kepentingan nasional,” ujarnya. Dia menilai, dalam kondisi perlambatan perekonomian nasional saat ini, beberapa sektor industri yang berorientasi ekspor perlu diperhatikan dan didukung.

“Jangan sampai ekspor menurun dalam kondisi kita membutuhkan devisa ekspor,” ucapnya. Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Manggabarani menjelaskan, pihaknya dari enam organisasi dan asosiasi industri akan terus mendorong pemerintah untuk merevisi PP No 71/2014 karena aturan tersebut akan diberlakukan Mei 2015.

“Kami dari enam organisasi dan asosiasi sebenarnya sudah mengaspirasikan revisi aturan tersebut sejak 12 November 2014,” sebutnya. Menurut dia, enam organisasi dan asosiasi yang antara lain FP2SB, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Industri Pulp dan Kertas Indonesia, dan Gapki telah meminta pemerintah merevisi Pasal 9 ayat 3 & 4 dan Pasal 23 ayat 3 PP No 71/2014. Salah satu poin yang diminta untuk direvisi adalah penetapan muka air lahan gambut. Dalam PP tersebut, penetapan muka air lahan gambut minimal 0,4 meter.

“Kami meminta pasal itu direvisi menjadi penetapan muka air lahan gambut minimal 1 meter seperti aturan sebelumnya sehingga memungkinkan ditanami tanaman dan produktif bagi masyarakat,” katanya. Dia menilai, jika tidak direvisi, aturan tersebut akan mematikan pengembangan budi daya tanaman di daerah. Sementara bila direvisi, itu dapat membantu pengembangan budi daya tanaman oleh masyarakat setempat.

Meski demikian, hingga saat ini belum ada tanggapan dari Kementerian LHK perihal revisi PP No 71/2014 setelah semua asosiasi terkait mengirimkan surat keberatan. Kementerian LHK justru bergerak untuk membuat peraturan menteri untuk pelaksanaan PP No 71/2014, yang bisa dipastikan bahwa bunyi dari peraturan menteri tersebut tidak akan jauh berbeda dengan PP No 71/2014 yaitu tentang kriteria kerusakan gambut dengan water level 0,4 meter dan kawasan hidrologis gambut 30% sebagai kawasan lindung.

Sekjen Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Suwardi mengatakan, PP Gambut tidak mungkin diimplementasikan karena kedalaman muka air yang dibutuhkan untuk berbagai tanaman di atas gambut berada di kisaran 0,4-0,9 meter di bawah permukaan gambut, sementara dalam PP Gambut ditetapkan 0,4 meter.

“PP Gambut ini dibuat, tapi tidak bisa dijalankan. Masak tanah yang memanfaatkan gambut dengan muka air tanah lebih dari 0,4 meter mau ditutup, padahal jelas-jelas besertifikat,” ucap Suwardi .

Sudarsono
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0063 seconds (0.1#10.140)