Katakan Tidak pada Kaum Mediocre
A
A
A
Medioker (mediocre) sebuah istilah yang mencerminkan nada negatif karena mengandung pengertian “biasa-biasa saja”, tidak istimewa atau dengan istilah lain “suam-suam kuku”, tidak panas dan tidak dingin, setengah-setengah, tidak sungguhsungguh, antara ada dan tiada.
Dalam gerak dan dinamika organisasi, banyak ditemui kaum mediocre, baik dalam perusahaan, pemerintah maupun organisasi masyarakat. Mereka hanya sekadar numpang. Numpang makan, numpang tenar. Penyakit mediocre mudah menular karena enak dan nyaman dinikmati.
Apabila diberi tanggung jawab, berusaha menghindar, diminta pertanggungjawaban apalagi; berputarputar mencari alibi, menyalahkan orang lain, lingkungan dan apa saja yang dapat membuatnya terlihat benar. Alangkah malangnya nasib perusahaan yang memiliki mayoritas kaum mediocre karena akan mengalami stagnasi; jalan di tempat, sementara yang lain lari kencang.
Kaum mediocre hanya mau memanfaatkan untuk dirinya sendiri dan tidak peduli terhadap nasib perusahaan yang secara tidak langsung merugikan orang atau karyawan lain. Kaum mediocre juga cenderung menjadi penghasut dan suka melempar fitnah, iri dan tidak menyukai orang berprestasi, menganggap mereka penjilat.
Hugh Blane, President Claris Consulting di Seattle, yang pernah bekerja sama dengan Tom Peter menyampaikan, ada enam alasan mengapa mediocre berkembang meluas dalam organisasi:
Pertama, matriks organisasi terlalu menekankan pada kontrol dan ukuran-ukuran; memperlakukan manusia sebagai mesin, robot. Ukuran-Ukuran baik dalam keuangan maupun dalam teknikal. Peran manusia dikecilkan bahkan dinihilkan, akibatnya timbul perasaan tidak dihargai. Oleh karena merasa tidak dihargai menjadi apatis, bekerja asal-asalan karena berpikir keberadaan, peran dan kontribusi dirinya tidak diapresiasi oleh perusahaan.
Kedua, arah dan tujuan perusahaan yang tidak jelas. Pemimpin perusahaan serbarahasia, penuh misteri, hanya menurunkan perintah tanpa anak buah mengerti apa maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, dalam pengerjaan banyak hal terjadi; salah mengerjakan, kurang mengerjakan, dan bahkan tidak mengerjakan sama sekali. Fokus maksud dan tujuan baik secara intern maupun ekstern perlu dijelaskan, mengapa itu yang menjadi fokus tujuan, dan bagaimana sebaiknya mengerjakan, apa dan bagaimana tolok ukur dari keberhasilan, baik yang bersifat kualitas maupun kuantitas.
Ketiga, pola pikir yang salah. Berpikir fokus pada segi negatif. Seperti halnya dalam pertandingan olah raga, jika pikiran lebih banyak dikuasai rasa takut kalah, maka ia akan kalah. Jika pikiran dikuasai, pasti menang, kecenderungan untuk menang, atausetidaknya kalahterhormat setelah berjuang, tidak menyerah sebelum bertanding.
Keempat, kepemimpinan yang tidak kredibel, tidak menjadi teladan. Antara bicara dan perbuatan berbeda jauh. Hanya bisa memerintah, tidak mengajak. Banyak omelan dan makian dengan kata-kata tidak senonoh dan menghina, tidak pernah memuji, membuat bawahan sakit hati dan memiliki rasa dendam yang dituangkan dengan bekerja asal-asalan dan tidak maksimal.
Kelima, tidak saling menghargai dan selalu saling mencurigai baik antara atasan dengan bawahan maupun antara sesama. Perusahaan dengan penerapan kontrol ketat baik melalui administrasi maupun pengawasan melekat dengan peralatan monitoring menjadikan karyawan bekerja tidak nyaman, merasa dimata-matai diperlakukan seperti pencuri.
Keenam, kompensasi yang tidak sehat. Kompensasi diberikan karena kedekatan, perasaan suka dan tidak suka. Seharusnya kompensasi diberikan atas dasar pertimbangan dan pengukuran objektif seperti loyalitas, performa yang tinggi dan kedisiplinan, perilaku yang baik. Sering terjadi karyawan yang sungguh-sungguh berprestasi menerima kompensasi sama dan bahkan lebih rendah dari mereka yang tidak berprestasi namun dapat menyenangkan atasan.
Selama keenam hal di atas terjadi dalam organisasi, maka dapat dipastikan kaum mediocre akan tumbuh subur dan sulit mengatasinya. Oleh karena itulah, perlu segera dilakukan pembenahan jika tidak ingin perusahaan hanya berjalan di tempat. Katakan tidak pada kaum mediocre!
DR Eliezer H Hardjo PHD, CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & Ketua Institute Certified Professional Managers (ICPM)
Dalam gerak dan dinamika organisasi, banyak ditemui kaum mediocre, baik dalam perusahaan, pemerintah maupun organisasi masyarakat. Mereka hanya sekadar numpang. Numpang makan, numpang tenar. Penyakit mediocre mudah menular karena enak dan nyaman dinikmati.
Apabila diberi tanggung jawab, berusaha menghindar, diminta pertanggungjawaban apalagi; berputarputar mencari alibi, menyalahkan orang lain, lingkungan dan apa saja yang dapat membuatnya terlihat benar. Alangkah malangnya nasib perusahaan yang memiliki mayoritas kaum mediocre karena akan mengalami stagnasi; jalan di tempat, sementara yang lain lari kencang.
Kaum mediocre hanya mau memanfaatkan untuk dirinya sendiri dan tidak peduli terhadap nasib perusahaan yang secara tidak langsung merugikan orang atau karyawan lain. Kaum mediocre juga cenderung menjadi penghasut dan suka melempar fitnah, iri dan tidak menyukai orang berprestasi, menganggap mereka penjilat.
Hugh Blane, President Claris Consulting di Seattle, yang pernah bekerja sama dengan Tom Peter menyampaikan, ada enam alasan mengapa mediocre berkembang meluas dalam organisasi:
Pertama, matriks organisasi terlalu menekankan pada kontrol dan ukuran-ukuran; memperlakukan manusia sebagai mesin, robot. Ukuran-Ukuran baik dalam keuangan maupun dalam teknikal. Peran manusia dikecilkan bahkan dinihilkan, akibatnya timbul perasaan tidak dihargai. Oleh karena merasa tidak dihargai menjadi apatis, bekerja asal-asalan karena berpikir keberadaan, peran dan kontribusi dirinya tidak diapresiasi oleh perusahaan.
Kedua, arah dan tujuan perusahaan yang tidak jelas. Pemimpin perusahaan serbarahasia, penuh misteri, hanya menurunkan perintah tanpa anak buah mengerti apa maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, dalam pengerjaan banyak hal terjadi; salah mengerjakan, kurang mengerjakan, dan bahkan tidak mengerjakan sama sekali. Fokus maksud dan tujuan baik secara intern maupun ekstern perlu dijelaskan, mengapa itu yang menjadi fokus tujuan, dan bagaimana sebaiknya mengerjakan, apa dan bagaimana tolok ukur dari keberhasilan, baik yang bersifat kualitas maupun kuantitas.
Ketiga, pola pikir yang salah. Berpikir fokus pada segi negatif. Seperti halnya dalam pertandingan olah raga, jika pikiran lebih banyak dikuasai rasa takut kalah, maka ia akan kalah. Jika pikiran dikuasai, pasti menang, kecenderungan untuk menang, atausetidaknya kalahterhormat setelah berjuang, tidak menyerah sebelum bertanding.
Keempat, kepemimpinan yang tidak kredibel, tidak menjadi teladan. Antara bicara dan perbuatan berbeda jauh. Hanya bisa memerintah, tidak mengajak. Banyak omelan dan makian dengan kata-kata tidak senonoh dan menghina, tidak pernah memuji, membuat bawahan sakit hati dan memiliki rasa dendam yang dituangkan dengan bekerja asal-asalan dan tidak maksimal.
Kelima, tidak saling menghargai dan selalu saling mencurigai baik antara atasan dengan bawahan maupun antara sesama. Perusahaan dengan penerapan kontrol ketat baik melalui administrasi maupun pengawasan melekat dengan peralatan monitoring menjadikan karyawan bekerja tidak nyaman, merasa dimata-matai diperlakukan seperti pencuri.
Keenam, kompensasi yang tidak sehat. Kompensasi diberikan karena kedekatan, perasaan suka dan tidak suka. Seharusnya kompensasi diberikan atas dasar pertimbangan dan pengukuran objektif seperti loyalitas, performa yang tinggi dan kedisiplinan, perilaku yang baik. Sering terjadi karyawan yang sungguh-sungguh berprestasi menerima kompensasi sama dan bahkan lebih rendah dari mereka yang tidak berprestasi namun dapat menyenangkan atasan.
Selama keenam hal di atas terjadi dalam organisasi, maka dapat dipastikan kaum mediocre akan tumbuh subur dan sulit mengatasinya. Oleh karena itulah, perlu segera dilakukan pembenahan jika tidak ingin perusahaan hanya berjalan di tempat. Katakan tidak pada kaum mediocre!
DR Eliezer H Hardjo PHD, CM
Ketua Dewan Juri Rekor Bisnis (ReBi) & Ketua Institute Certified Professional Managers (ICPM)
(ftr)