Tantangan Pengembangan Produk Bank Syariah

Senin, 16 Maret 2015 - 09:52 WIB
Tantangan Pengembangan Produk Bank Syariah
Tantangan Pengembangan Produk Bank Syariah
A A A
Mencermati kinerja selama 2014 ini sepertinya memang tepat bila inovasi produk ditempatkan pada posisi penting bagi pengembangan bank syariah ke depan.

Sebagai informasi, selama 2014 kinerja banksyariahsecara keseluruhantidakterlalu menggembirakan. Pada 2014 aset bank syariah tumbuh 12%, pembiayaan tumbuh 8%, dan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih baik yaitu 22%. Dibandingkan dengan bank konvensional, kinerja bank syariah ini cukup tertinggal. Pada 2014 aset bank konvensional tumbuh 13%, kredit 12%, dan DPK tumbuh 12%.

Dengan kinerja pertumbuhan yang melambat, cita-cita kita untuk me-naikkan pangsa pasar bank syariah melewati ”angka keramat” 5% dari total aset perbankan nasional menjadi tertahan. Saat ini, dengan total aset Rp272,3 triliun per Desember 2014, pangsa pasar aset bank syariah terhadap total aset bank umum hanya mencapai 4,9%. Melihat perkembangan bank konvensional yang cukup pesat, bisa jadi pangsa pasar ini akan kembali menjauh dari 5%.

Di sisi lain, kinerja profitabilitas justru mengalami penurunan. Pada 2014 bank syariah hanya meraih laba (tahun berjalan) Rp2,05 triliun, turun lebih dari 50% dibanding 2013 yang meraih laba (tahun berjalan) Rp4,4 triliun. Sementara, laba bersihnya hanya Rp1 triliun, turun hingga 69% dibanding laba bersih 2013 yang mencapai Rp3,2 triliun. Rendahnya tingkat profitabilitas selama 2014 ini sangat terkait dengan komposisi produk pembiayaan dan dana bank syariah.

Selama ini komposisi produk pembiayaan bank syariah sebagian besar dilakukan dalam akad murabahah. Berdasarkan data, akad murabahah ini memegang sekitar 59% dari seluruh pembiayaan bank syariah. Karakteristik dari produk pembiayaan murabahah adalah pendapatannya tetap (fixed ). Di sisi lain, seiring dengan semakin ketatnya likuiditas selama 2014, me-nyebabkan mahalnya tingkat pengembalian (yield) dana yang diminta oleh para deposan.

Kondisi ini akhirnya menyebabkan margin keuntungan yang diperoleh bank syariah menjadi semakin kecil. Menghadapi situasi perekonomian yang masih relatif sulit, bank syariah memang dituntut lebih inovatif dalam mengembangkan produknya. Ketergantungan yang tinggi terhadap produk- produk pembiayaan yang berpendapatan tetap (fixed) harus diperbaiki untuk mengantisipasi terjadinya vo-latilitas yang cepat di sisi biaya dana.

Diversifikasi produk perlu dilakukan untuk mengurangi risiko atas semakin berkurangnya pendapatan yang dihasilkan dari suatu produk tertentu. Produk pembiayaan murabahah, misalnya, komposisinya perlu diimbangi dengan produk-produk yang memungkinkan bank syariah melakukan repricing ketika terjadi perubahan biaya dana (cost of fund).

Salah satunya, dengan meningkat komposisi pembiayaan melalui akad ijarah. Ini mengingat, akad ijarah ini memberikan fleksibilitas bagi bank syariah dalam melakukan repricing atas pendapatan sewa yang dikenakan kepada nasabah dengan mengikuti pola naik dan turunnya biaya dana. Namun, keberhasilan dalam pengembangan produk bank syariah juga turut dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya.

Di Malaysia, pangsa pasar aset bank syariah telah mencapai sekitar 10- 15%. Menurut saya, wajar bila itu dapat terjadi di Malaysia. Ini mengingat, lingkungan eksternalnya juga mendukung. Per kuartal III/2014 Malaysia adalah penerbit sukuk terbesar di dunia dengan pangsa pasar sekitar 69,3% dari total penerbitan sukuk global. Sementara, pangsa sukuk yang diterbitkan Indonesia hanya sekitar 7,8%.

Tingkat kedalaman keuangan syariah (islamic financial depth) di Malaysia yang sudah cukup tinggi membuat gerak inovasi bank syariah juga relatif lebih luas. Bank syariah di Malaysia bisa mengembangkan produk-produknya lebih bervariasi seiring dengan perkembangan keuangan syariahnya. Pasar sekunder keuangan syariah yang berkembang baik membuat bank syariah di Malaysia memiliki keleluasaan dalam melakukan penetrasi pasar baik di sisi fund raising maupun placement of fund-nya.

Kondisi ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Pengembangan pasar sekunder keuangan syariah kita relatif belum berkembang sehingga inovasi produk bank syariah juga terhambat. Tidak hanya tingkat kedalaman pasar keuangan syariah, kesiapan regulasi juga turut menentukan laju pertumbuhan bank syariah ke depan. Sejak pertama kali berkiprah di awal 1990-an bank syariah memang telah membuktikan diri mampu berkembang di tengah absennya regulasi.

Sebagai catatan, bank syariah berdiri ketika perundangundangan yang mengatur bank syariah belum ada. Undang-undang bank syariah baru dikeluarkan pada 2008. Produk-produk bank syariah juga banyak yang lahir berkat inisiatif dari para pelaku bank syariah. Sebagai contoh, produk gadai syariah muncul karena ”kreativitas” bank syariah.

Regulasi tentang gadai syariah baru keluar setelah produk ini berkembang pesat di kalangan bank syariah dengan berbagai variannya, baik yang positif maupun negatif. Kini regulasi gadai syariah yang ada lebih diarahkan untuk tujuan kehati-hatian (prudential). Sebenarnya, selain untuk tujuan prudential, bank syariah juga menantikan hadirnya regulasi yang berorientasi pada pengembangan bisnis, tidak terbatas pada produk gadai syariah tetapi juga produk-produk lainnya.

Pada dasarnya, secara konseptual, bank syariah memiliki ruang yang luas untuk berinovasi dalam produk dan bisnisnya. Bahkan,ruang inovasi bank syariah ini lebih luas dibanding bank konvensional. Bank konvensional produknya terbatas pada perannya sebagai lembaga intermediary. Sedangkan bank syariah, selain sebagai lembagai intermediary, juga dapat berperan sebagai ”pelaku usaha”.

Bank syariah bisa berperan seperti layaknya ”pemegang saham”, misalnya dalam produk pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Sayangnya, peran ini belum mampu dijalankan bank syariah secara maksimal. Selain dibutuhkan lingkungan eksternal yang mendukung, agresivitas inovasi produk bank syariah juga ditentukan oleh ”keberanian” dari pelaku bank syariah.

Dibutuhkan banyak ”orang gila” di lingkungan bank syariah yang berani ”menerobos” untuk memecah stagnasi inovasi di tengah masih relatif terbatasnya regulasi yang mengatur dan menjadi guidance bagi pengembangan produk bank syariah. Dulu bank syariah hadir ketika regulasi belum ada. Kini tantangan pelaku bank syariah relatif hampir sama dengan dulu.

Bedanya, kini medannya berubah, yaitu bagaimana agar bank syariah bisa lebih berkembang: produk dan skala bisnisnya, meskipun lingkungan eksternal yang mendukungnya masih terbatas. Saya melihat bahwa peluang untuk mengakhiri stagnasi inovasi di lingkungan bank syariah ini kini sangat terbuka. Otoritas yang mengatur industri keuangan syariah kini telah menyatu di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dengan menyatunya otoritas industri keuangan syariah ini, regulasi bagi pengembangan bank syariah menjadi lebih mudah mengintegrasikannya dengan industri keuangan syariah lainnya. Dengan menyatunya otoritas industri keuangan syariah ini, semestinya isu koordinasi bukan lagi menjadi hambatan.

Di sisi lain, industri bank syariah juga membutuhkan pelaku-pelaku yang berorientasi pada inovasi bukan hanya menunggu pada kesiapan regulasi.

Sunarsip
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI) email: sunarsip@gmail.com
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6316 seconds (0.1#10.140)