Ekspor Produk Berbahan Baku Lokal Didorong
A
A
A
JAKARTA - Komoditas dengan konten lokal (local content) tinggi menjadi harapan untuk meningkatkan kinerja ekspor di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Produk dimaksud di antaranya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), kopi, teh, kakao, dan karet. Kendati harganya di pasaran internasional masih turun, melemahnya rupiah menjadi celah tersendiri yang menjadikan produk-produk tersebut lebih kompetitif.
“Ini peluang untuk komoditas yang konten lokalnya cukup tinggi. Sementara produk yang konten lokalnya rendah dalam jangka panjang memang akan terganggu. Ini yang berusaha diatasi melalui paket kebijakan ekonomi,” sebut Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahja Widayanti dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Kemendag mencatat, sejumlah komoditas yang mengalami peningkatan ekspor cukup tinggi pada periode Januari-Februari 2015 dibanding periode yang sama tahun lalu antara lain bijih kerak dan abu logam (24,5%), tembaga (35,1%), perhiasan dan permata (52%), kendaraan dan bagiannya (13,6%), serta alas kaki (14,1%).
“Berdasar dialog kami dengan pelaku usaha alas kaki, mereka punya optimisme untuk bisa menaikkan ekspor sepanjang ada perbaikan fundamental ekonomi,” tuturnya. Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dari 98 komoditas ekspor, hanya sekitar 25 komoditas yang merespons dengan cepat kondisi pelemahan rupiah. Ini diindikasikan dengan peningkatan ekspor.
Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo, respons cepat terutama ditujukan oleh produk tambang yang tinggal gali lalu dijual, produk pertanian yang tinggal panen lalu dijual, serta produk industri yang stoknya masih memadai. “Contohnya produk printer dan mesin fotokopi yang mungkin kemarin belum cukup terjual terus didorong penjualannya sehingga responsnya cepat,” sebutnya.
Lebih lanjut Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengatakan, upaya meningkatkan ekspor bisa ditempuh melalui banyak hal. Untuk mempermudah proses ekspor misalnya, hambatan di pelabuhan harus ditekan. Pihaknya bersama asosiasi pengusaha juga tengah memetakan hal yang menjadi penyebab meningkatnya biaya produksi.
“Jadi solusinya tidak sekadar insentif. Kita berikan juga kemudahan yang bisa menekan biaya. Ada beberapa poin yang tidak efisien sehingga biaya produksi jadi lebih mahal,” tuturnya. Mendag menambahkan, prospek ekspor beberapa produk berpeluang meningkat. Dia mencontohkan ekspor mebel diperkirakan meningkat lantaran didukung kemudahan dalam memperoleh bahan baku, kreativitas desain, dan kemudahan akses pasar ekspor.
Prospek ekspor automotif juga diperkirakan naik 10% dengan makin kompetitifnya produk ini di negaranegara yang ekonominya tengah berkembang (emerging markets). Sementara itu, faktor pelemahan harga komoditas di pasar internasional diperkirakan masih akan memengaruhi prospek ekspor karet dan CPO. Kendati demikian, lanjut Mendag, prospek ekspor CPO ke depan diperkirakan membaik apabila didukung upaya pemerintah mempromosikannya ke pasar ekspor serta memberikan dorongan melalui kelonggaran ekspor.
“Selain itu curah hujan yang tinggi di dalam negeri dan Malaysia diperkirakan menurunkan produksi yang pada gilirannya akan kembali memperbaiki harga CPO di pasar internasional,” ungkapnya.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan mengatakan, terkait CPO, kepentingan pemerintah bukan sekadar mengejar ekspor, melainkan juga menjalankan komitmen hilirisasi dan kewajiban (mandatory) pencampuran untuk bahan bakar nabati biodiesel sebesar 15% mulai 1 April 2015. Dalam enam bulan terakhir ekspor CPO dibebaskan dari bea keluar karena harganya di bawah ambang USD750 per metrik ton.
Selama kurun waktu tersebut terjadi peningkatan ekspor CPO hampir 200%. Untuk menjaga keseimbangan pasokan di dalam negeri, pihaknya sudah melakukan rapat bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan akan kembali mengenakan bea keluar dengan ambang yang diturunkan. “Kita masih kaji ambangnya, kemungkinan antara USD500- 600 per metrik ton. Belum ada keputusan, tapi setidaknya keuangan negara bisa bertambah (dari bea keluar),” ucapnya.
Sebelumnya Ketua Umum GabunganKelapaSawitIndonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, berapa pun permintaan minyak sawit mentah untuk kebutuhan bahan bakar nabati akan dipenuhi. “Kami mampu memenuhi target pemerintah sampai 20% (B20). Bahkan 8 juta ton CPO kami siap, barangnya sudah ada,” katanya.
Dia mengatakan, kendala utama penerapan kewajiban penggunaan bahan bakar nabati selama ini justru pada keseriusan pemerintah dalam implementasi kebijakan itu. Kebijakan ini juga terkendala saat harga CPO tinggi karena produsen bahan bakar nabati menjadi enggan membeli CPO.
“Harusnya tidak seperti itu, tidak didasarkan saat harga kelapa sawit murah karena terkait mengurangi penggunaan BBM dan meningkatkan energi terbarukan,” ungkapnya.
Inda susanti
Produk dimaksud di antaranya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), kopi, teh, kakao, dan karet. Kendati harganya di pasaran internasional masih turun, melemahnya rupiah menjadi celah tersendiri yang menjadikan produk-produk tersebut lebih kompetitif.
“Ini peluang untuk komoditas yang konten lokalnya cukup tinggi. Sementara produk yang konten lokalnya rendah dalam jangka panjang memang akan terganggu. Ini yang berusaha diatasi melalui paket kebijakan ekonomi,” sebut Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahja Widayanti dalam jumpa pers di Jakarta kemarin.
Kemendag mencatat, sejumlah komoditas yang mengalami peningkatan ekspor cukup tinggi pada periode Januari-Februari 2015 dibanding periode yang sama tahun lalu antara lain bijih kerak dan abu logam (24,5%), tembaga (35,1%), perhiasan dan permata (52%), kendaraan dan bagiannya (13,6%), serta alas kaki (14,1%).
“Berdasar dialog kami dengan pelaku usaha alas kaki, mereka punya optimisme untuk bisa menaikkan ekspor sepanjang ada perbaikan fundamental ekonomi,” tuturnya. Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dari 98 komoditas ekspor, hanya sekitar 25 komoditas yang merespons dengan cepat kondisi pelemahan rupiah. Ini diindikasikan dengan peningkatan ekspor.
Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo, respons cepat terutama ditujukan oleh produk tambang yang tinggal gali lalu dijual, produk pertanian yang tinggal panen lalu dijual, serta produk industri yang stoknya masih memadai. “Contohnya produk printer dan mesin fotokopi yang mungkin kemarin belum cukup terjual terus didorong penjualannya sehingga responsnya cepat,” sebutnya.
Lebih lanjut Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengatakan, upaya meningkatkan ekspor bisa ditempuh melalui banyak hal. Untuk mempermudah proses ekspor misalnya, hambatan di pelabuhan harus ditekan. Pihaknya bersama asosiasi pengusaha juga tengah memetakan hal yang menjadi penyebab meningkatnya biaya produksi.
“Jadi solusinya tidak sekadar insentif. Kita berikan juga kemudahan yang bisa menekan biaya. Ada beberapa poin yang tidak efisien sehingga biaya produksi jadi lebih mahal,” tuturnya. Mendag menambahkan, prospek ekspor beberapa produk berpeluang meningkat. Dia mencontohkan ekspor mebel diperkirakan meningkat lantaran didukung kemudahan dalam memperoleh bahan baku, kreativitas desain, dan kemudahan akses pasar ekspor.
Prospek ekspor automotif juga diperkirakan naik 10% dengan makin kompetitifnya produk ini di negaranegara yang ekonominya tengah berkembang (emerging markets). Sementara itu, faktor pelemahan harga komoditas di pasar internasional diperkirakan masih akan memengaruhi prospek ekspor karet dan CPO. Kendati demikian, lanjut Mendag, prospek ekspor CPO ke depan diperkirakan membaik apabila didukung upaya pemerintah mempromosikannya ke pasar ekspor serta memberikan dorongan melalui kelonggaran ekspor.
“Selain itu curah hujan yang tinggi di dalam negeri dan Malaysia diperkirakan menurunkan produksi yang pada gilirannya akan kembali memperbaiki harga CPO di pasar internasional,” ungkapnya.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan mengatakan, terkait CPO, kepentingan pemerintah bukan sekadar mengejar ekspor, melainkan juga menjalankan komitmen hilirisasi dan kewajiban (mandatory) pencampuran untuk bahan bakar nabati biodiesel sebesar 15% mulai 1 April 2015. Dalam enam bulan terakhir ekspor CPO dibebaskan dari bea keluar karena harganya di bawah ambang USD750 per metrik ton.
Selama kurun waktu tersebut terjadi peningkatan ekspor CPO hampir 200%. Untuk menjaga keseimbangan pasokan di dalam negeri, pihaknya sudah melakukan rapat bersama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan akan kembali mengenakan bea keluar dengan ambang yang diturunkan. “Kita masih kaji ambangnya, kemungkinan antara USD500- 600 per metrik ton. Belum ada keputusan, tapi setidaknya keuangan negara bisa bertambah (dari bea keluar),” ucapnya.
Sebelumnya Ketua Umum GabunganKelapaSawitIndonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, berapa pun permintaan minyak sawit mentah untuk kebutuhan bahan bakar nabati akan dipenuhi. “Kami mampu memenuhi target pemerintah sampai 20% (B20). Bahkan 8 juta ton CPO kami siap, barangnya sudah ada,” katanya.
Dia mengatakan, kendala utama penerapan kewajiban penggunaan bahan bakar nabati selama ini justru pada keseriusan pemerintah dalam implementasi kebijakan itu. Kebijakan ini juga terkendala saat harga CPO tinggi karena produsen bahan bakar nabati menjadi enggan membeli CPO.
“Harusnya tidak seperti itu, tidak didasarkan saat harga kelapa sawit murah karena terkait mengurangi penggunaan BBM dan meningkatkan energi terbarukan,” ungkapnya.
Inda susanti
(ars)