Manfaatkan Keunggulan Jaringan Lokal
A
A
A
Sebagai salah satu bagian dari sektor ekonomi kreatif, para pelaku usaha industri periklanan terus berupaya memunculkan inovasi baru. Harapannya, setiap pesan yang ingin disampaikan dapat diterima denga baik dan melekat di hati konsumen.
Faktor kreativitas inilah yang menjadi perhatian PT Mitra Inovasi Gemilang (Ming) Media Promotion dalam menjalankan bisnisnya sebagai penyedia jasa periklanan. Ming yang didirikan oleh Sandrady Irwan (direktur), Ali Salim (direktur pemasaran) dan Pata Salim (kini direktur PT Creative Media Indonesia, mitra Ming Promotion) pun sekarang tumbuh menjadi salah satu perusahaan penyedia jasa periklanan terkemuka. Untuk mengetahui kiprah dan strategi Ming Promotion ke depan, berikut petikan wawancaranya beberapa waktu lalu.
Sejauh mana kiprah Ming Media Promotion di bisnis periklanan?
Waktu itu sehabis krisis 1998. Kondisi memang sedang susah, mau berdagang pun susah, tapi kami melihat ada peluang perekonomian akan mulai tumbuh. Pak Ali Salim yang punya pengalaman di dunia periklanan mengajak untuk membuka bisnis reklame, apalagi 1999 itu kan ada pemilu. Ya sudah, kami sepakat untuk menjalankan dan mulai berproduksi pada 1999.
Bagaimana perkembangannya?
Awalnya kami mengerjakan proyek untuk klien toko-toko. Lalu mulai tahun 2000 kami mulai masuk ke dunia spot iklan bekerja sama dengan mal. Bisa dibilang kami merupakan pionir yang menggarap iklan di mal, sebelumnya enggak ada orang iklan di mal.
Kebetulan kami diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan pengelola mal untuk memanfaatkan ruang yang tersedia menjadi media iklan. Pada saat bersamaan kita masuk ke pasar, mengedukasi pasar bahwa mal itu potensial karena di sana banyak orang lalu lalang dan bertransaksi jual-beli.
Sudah berapa banyak mal yang diajak kerja sama?
Kami mengawali dengan mal Mangga Dua di Jakarta. Setelah orang paham bahwa mal bisa jadi tempat yang bagus untuk beriklan, kami terus menjajaki malmal lain. Kebanyakan permintaan datang dari mal-mal yang banyak menjual perangkat elektronik dan gadget seperti komputer dan ponsel. Hingga kini kami sudah bekerja sama dengan lebih dari 80 mal di Jakarta dan kota besar lain seperti Medan, Pekanbaru, Surabaya, Palembang, Bandung, Yogyakarta, Cirebon. Setelah sukses di mal, pada 2007 kami mulai masuk ke outdoor.
Bentuk media promosi apa yang ditawarkan?
Kami mengerjakan billboard, neonbox, neonsign, huruf timbul. Untuk mal bisa diaplikasikan secara kreatif, misalnya di dinding gedung, di atap, di badan eskalator, bahkan di wastafel.
Selain media promosi konvensional, apakah Ming juga merambah media nonkonvensional?
Pada tahun 2010 kami mulai masuk ke media nonkonvensional berupa LED videotron. Sekarang ini kami sedang transisi dari konvensional ke LED videotron karena manfaatnya lebih banyak dan harga LED dari tahun ke tahun juga makin terjangkau. Hanya, biaya atau tarif untuk videotron ini memang lebih mahal.
Apalagi dalam dua tahun terakhir ini pajak reklame di DKI Jakarta meningkat signifikan, hampir tiga kali lipat untuk media konvensional dan lima kali lipat untuk nonkonvensional seperti videotron. Dengan harga yang mahal ini perlu waktu untuk menyesuaikan lagi.
Sejak kapan LED videotron diminati sebagai media promosi?
LED videotron sebetulnya sudah lama diminati di sini. Seingat saya videotron pertama itu waktu ada layar RCTI di Bundaran HI beberapa tahun lalu. Waktu itu harganya masih sangat mahal dan kualitasnya masih minim. Kita terus ikuti perkembangannya, dan sekitar tujuh tahun lalu kami mulai mengaplikasikannya di Bandara Soekarno- Hatta (Soetta). Jadi kami yang pertama merintis LED videotron di sana. Saat ini kami juga sudah masuk di Bandara Halim Perdanakusuma, Juanda, Kuala Namu, dan Ngurah Rai.
Apakah media nonkonvensional ini kemungkinan akan mengalahkan yang konvensional seperti billboard?
Kami memainkan strategi lain bahwa LED videotron ini enggak melulu menggantikan billboard. Tapi, produk yang kami kerjakan dalam dua tahun terakhir ini adalah LED banner yang menggantikan um-bulumbul dan konvensional billboard. Ke depan kami akan membuat inovasi yang tidak biasa dengan LED ini dan ingin mengaplikasikan hal-hal interaktif. Untuk LED banner paling besar yang sudah kami pasang di antaranya satu seri sebanyak 10 unit dengan ukuran 1,5x4 meter di Mal Kelapa Gading dan Kuningan City. Enam unit lainnya di Ciputra World.
Apa yang menjadi tuntutan klien dalam penempatan media promosi?
Sama halnya seperti properti, untuk media luar ruang yang utama adalah lokasi. Faktor ini bisa kami yang siapkan atau sesuai permintaan. Umumnya yang dicari daerah protokol, apalagi kalau LED dan outdoor juga maunya di kawasan utama atau bergengsi seperti bandara dan kawasan Segitiga Emas Jakarta. Selain lokasi, klien akan melihat layanan kita.
Contohnya kalau ada keluhan atau kerusakan harus cepat diatasi. Makanya kami pasang kamera pengintai CCTV di sejumlah lokasi LED kami sehingga bisa dipantau secara online melalui internet. Selain itu juga ada petugas yang setiap hari berkeliling mengontrol.
Ada target peningkatan untuk tahun ini?
Kami akan lebih memperbanyak LED banner. Diharapkan peningkatannya bisa sekitar 20-30%.
Bagaimana dengan target ke depan?
Salah satu visi kami adalah ingin menjadi pemain reklame, khususnya di LED. Bukan sekadar yang paling besar, tapi juga paling kreatif dalam hal bentuk media maupun segi interaktifnya. Aspek interaktif dan inovatif ini yang akan dilihat orang. Sebagai bahan referensi setiap tahun kami mengikuti pameran di luar negeri seperti di Shanghai, Las Vegas, Shenzhen, Belanda. Walaupun teknologinya beberapa belum sampai di Indonesia, minimal kami tahu sehingga bisa merencanakan ke depan.
Dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini, kemungkinan akan banyak pemain sejenis dari negara ASEAN lainnya yang masuk. Tanggapan Anda?
Pangsa pasar Indonesia kan memang besar, jadi wajar saja kalau mereka mau masuk. Hanya, sebagai pemain lokal tentu kita punya keunggulan dalam hal jejaring lokal. Di sisi lain, kita juga harus belajar dari mereka yang sudah bisa lintas negara, karena tentu suatu saat kita ingin juga merambah ke luar. Dengan kata lain, kami justru melihat ini sebagai peluang dan kami terbuka untuk bekerja sama. Saat ini pemain besar di periklanan di Indonesia sendiri saya rasa tidak sampai 100 perusahaan.
Periklanan menjadi bagian dari ekonomi kreatif, apakah sudah diakomodasi dan dikembangkan dengan baik?
Advertising di kita ini katanya ekonomi kreatif, tapi ruang geraknya terkesan dibikin susah. Kalau di luar negeri seperti Singapura, Bangkok, Hong Kong, Jepang, itu bisa bikin kreativitas yang luar biasa. Kami mensinyalir salah satu hambatan yang menyusahkan itu adalah pajak reklame.
Saya lihat di Hong Kong di satu sentra MRT itu bisa pasang iklan sampai ribuan meter. Kalau di sini dengan harga Jakarta, mana ada yang berani pasang. Tingginya biaya ini juga berimbas pada sulitnya kami menerapkan inovasi-inovasi yang lebih menarik, misalnya dalam hal interaktivitas. Sayang sekali kan kalau kreativitas terhambat karena hal itu?
Inda susanti
Faktor kreativitas inilah yang menjadi perhatian PT Mitra Inovasi Gemilang (Ming) Media Promotion dalam menjalankan bisnisnya sebagai penyedia jasa periklanan. Ming yang didirikan oleh Sandrady Irwan (direktur), Ali Salim (direktur pemasaran) dan Pata Salim (kini direktur PT Creative Media Indonesia, mitra Ming Promotion) pun sekarang tumbuh menjadi salah satu perusahaan penyedia jasa periklanan terkemuka. Untuk mengetahui kiprah dan strategi Ming Promotion ke depan, berikut petikan wawancaranya beberapa waktu lalu.
Sejauh mana kiprah Ming Media Promotion di bisnis periklanan?
Waktu itu sehabis krisis 1998. Kondisi memang sedang susah, mau berdagang pun susah, tapi kami melihat ada peluang perekonomian akan mulai tumbuh. Pak Ali Salim yang punya pengalaman di dunia periklanan mengajak untuk membuka bisnis reklame, apalagi 1999 itu kan ada pemilu. Ya sudah, kami sepakat untuk menjalankan dan mulai berproduksi pada 1999.
Bagaimana perkembangannya?
Awalnya kami mengerjakan proyek untuk klien toko-toko. Lalu mulai tahun 2000 kami mulai masuk ke dunia spot iklan bekerja sama dengan mal. Bisa dibilang kami merupakan pionir yang menggarap iklan di mal, sebelumnya enggak ada orang iklan di mal.
Kebetulan kami diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan pengelola mal untuk memanfaatkan ruang yang tersedia menjadi media iklan. Pada saat bersamaan kita masuk ke pasar, mengedukasi pasar bahwa mal itu potensial karena di sana banyak orang lalu lalang dan bertransaksi jual-beli.
Sudah berapa banyak mal yang diajak kerja sama?
Kami mengawali dengan mal Mangga Dua di Jakarta. Setelah orang paham bahwa mal bisa jadi tempat yang bagus untuk beriklan, kami terus menjajaki malmal lain. Kebanyakan permintaan datang dari mal-mal yang banyak menjual perangkat elektronik dan gadget seperti komputer dan ponsel. Hingga kini kami sudah bekerja sama dengan lebih dari 80 mal di Jakarta dan kota besar lain seperti Medan, Pekanbaru, Surabaya, Palembang, Bandung, Yogyakarta, Cirebon. Setelah sukses di mal, pada 2007 kami mulai masuk ke outdoor.
Bentuk media promosi apa yang ditawarkan?
Kami mengerjakan billboard, neonbox, neonsign, huruf timbul. Untuk mal bisa diaplikasikan secara kreatif, misalnya di dinding gedung, di atap, di badan eskalator, bahkan di wastafel.
Selain media promosi konvensional, apakah Ming juga merambah media nonkonvensional?
Pada tahun 2010 kami mulai masuk ke media nonkonvensional berupa LED videotron. Sekarang ini kami sedang transisi dari konvensional ke LED videotron karena manfaatnya lebih banyak dan harga LED dari tahun ke tahun juga makin terjangkau. Hanya, biaya atau tarif untuk videotron ini memang lebih mahal.
Apalagi dalam dua tahun terakhir ini pajak reklame di DKI Jakarta meningkat signifikan, hampir tiga kali lipat untuk media konvensional dan lima kali lipat untuk nonkonvensional seperti videotron. Dengan harga yang mahal ini perlu waktu untuk menyesuaikan lagi.
Sejak kapan LED videotron diminati sebagai media promosi?
LED videotron sebetulnya sudah lama diminati di sini. Seingat saya videotron pertama itu waktu ada layar RCTI di Bundaran HI beberapa tahun lalu. Waktu itu harganya masih sangat mahal dan kualitasnya masih minim. Kita terus ikuti perkembangannya, dan sekitar tujuh tahun lalu kami mulai mengaplikasikannya di Bandara Soekarno- Hatta (Soetta). Jadi kami yang pertama merintis LED videotron di sana. Saat ini kami juga sudah masuk di Bandara Halim Perdanakusuma, Juanda, Kuala Namu, dan Ngurah Rai.
Apakah media nonkonvensional ini kemungkinan akan mengalahkan yang konvensional seperti billboard?
Kami memainkan strategi lain bahwa LED videotron ini enggak melulu menggantikan billboard. Tapi, produk yang kami kerjakan dalam dua tahun terakhir ini adalah LED banner yang menggantikan um-bulumbul dan konvensional billboard. Ke depan kami akan membuat inovasi yang tidak biasa dengan LED ini dan ingin mengaplikasikan hal-hal interaktif. Untuk LED banner paling besar yang sudah kami pasang di antaranya satu seri sebanyak 10 unit dengan ukuran 1,5x4 meter di Mal Kelapa Gading dan Kuningan City. Enam unit lainnya di Ciputra World.
Apa yang menjadi tuntutan klien dalam penempatan media promosi?
Sama halnya seperti properti, untuk media luar ruang yang utama adalah lokasi. Faktor ini bisa kami yang siapkan atau sesuai permintaan. Umumnya yang dicari daerah protokol, apalagi kalau LED dan outdoor juga maunya di kawasan utama atau bergengsi seperti bandara dan kawasan Segitiga Emas Jakarta. Selain lokasi, klien akan melihat layanan kita.
Contohnya kalau ada keluhan atau kerusakan harus cepat diatasi. Makanya kami pasang kamera pengintai CCTV di sejumlah lokasi LED kami sehingga bisa dipantau secara online melalui internet. Selain itu juga ada petugas yang setiap hari berkeliling mengontrol.
Ada target peningkatan untuk tahun ini?
Kami akan lebih memperbanyak LED banner. Diharapkan peningkatannya bisa sekitar 20-30%.
Bagaimana dengan target ke depan?
Salah satu visi kami adalah ingin menjadi pemain reklame, khususnya di LED. Bukan sekadar yang paling besar, tapi juga paling kreatif dalam hal bentuk media maupun segi interaktifnya. Aspek interaktif dan inovatif ini yang akan dilihat orang. Sebagai bahan referensi setiap tahun kami mengikuti pameran di luar negeri seperti di Shanghai, Las Vegas, Shenzhen, Belanda. Walaupun teknologinya beberapa belum sampai di Indonesia, minimal kami tahu sehingga bisa merencanakan ke depan.
Dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini, kemungkinan akan banyak pemain sejenis dari negara ASEAN lainnya yang masuk. Tanggapan Anda?
Pangsa pasar Indonesia kan memang besar, jadi wajar saja kalau mereka mau masuk. Hanya, sebagai pemain lokal tentu kita punya keunggulan dalam hal jejaring lokal. Di sisi lain, kita juga harus belajar dari mereka yang sudah bisa lintas negara, karena tentu suatu saat kita ingin juga merambah ke luar. Dengan kata lain, kami justru melihat ini sebagai peluang dan kami terbuka untuk bekerja sama. Saat ini pemain besar di periklanan di Indonesia sendiri saya rasa tidak sampai 100 perusahaan.
Periklanan menjadi bagian dari ekonomi kreatif, apakah sudah diakomodasi dan dikembangkan dengan baik?
Advertising di kita ini katanya ekonomi kreatif, tapi ruang geraknya terkesan dibikin susah. Kalau di luar negeri seperti Singapura, Bangkok, Hong Kong, Jepang, itu bisa bikin kreativitas yang luar biasa. Kami mensinyalir salah satu hambatan yang menyusahkan itu adalah pajak reklame.
Saya lihat di Hong Kong di satu sentra MRT itu bisa pasang iklan sampai ribuan meter. Kalau di sini dengan harga Jakarta, mana ada yang berani pasang. Tingginya biaya ini juga berimbas pada sulitnya kami menerapkan inovasi-inovasi yang lebih menarik, misalnya dalam hal interaktivitas. Sayang sekali kan kalau kreativitas terhambat karena hal itu?
Inda susanti
(bbg)