Pengusaha Perlu Memetakan Produk Unggulan
A
A
A
SURABAYA - Para pedagang harus bisa memetakan produk sesuai dengan kebutuhan masingmasing negara menjelang diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun ini.
Pemetaan terhadap produk tersebut diperlukan guna memenangi persaingan perdagangan. Hal itu dikatakan Direktur Kerja Sama Industri Internasional Wilayah II dan Regional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Restu Yuni Widayati ketika menjadi pembicara pada talkshow bertema Preparing Our Young Engineer for ASEAN Economic Community .
Talkshow tersebut merupakan bagian dari Interactive Talkshow of Industrial Sector (ITIS) 2015 di Institut Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya kemarin. ”Kebutuhan negara A tentu berbeda dengan negara B, karena itu kita harus pandai mencari peluang apa saja yang bisa laku supaya tidak rugi. Misalnya, produk berupa kayu atau funitur asal Jepara kemungkinan akan laris di Thailand karena negara ini tidak banyak mempunyai produk yang terbuat dari kayu,” ujar Restu.
Meski bisa memetakan produk apa saja yang bisa laku di negara lain, lanjut Restu, tantangan memasuki MEA juga cukup banyak. Salah satunya yakni mengenai kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Tenaga terampil masih sangat sedikit, lulusan SD juga masih banyak, bahkan lulusan dari jenjang perguruan tinggi hanya 6,9% tiap tahun.
Artinya, tenaga yang terlatih masih sedikit sehingga dikhawatirkan akan sulit bersaing. Meski, sebenarnya dampak MEA tidak terlalu banyak dikeluhkan oleh sektor perdagangan barang. ”Justru dengan adanya perdagangan bebas seperti MEA, masyarakat juga mempunyai peluang besar terhadap saling tukar penjualan, tetapi harus tetap diingat bahwa peluang tersebut juga tergantung bagaimana melihat jenis barang yang laku di pasaran,” katanya.
Ke depan, menurut Restu, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju, mengingat perkembangan Eropa, Amerika Utara, Asia Timur dan Australia pada 2020 memiliki masyarakat usia lanjut sekitar 50-60%. Sebaliknya, Indonesia di tahun tersebut justru akan memiliki populasi penduduk di usia produktif.
”Hal ini juga bisa menjadi peluang tersendiri bagi masyarakat jika bisa memanfaatkannya dari sekarang,” ujarnya. Ketua ITIS 2015 Fajar Premana Putra mengatakan, kegiatan ini sengaja membahas bidang ekonomi supaya mahasiswa tahu tentang MEA. Selain itu, untuk mengetahui dampak sekaligus manfaat yang bisa diambil melalui MEA.
”Tentunya kita sebagai mahasiswa juga harus mempunyai daya saing ketika memasuki AEC 2015. Selain itu, apa yang harus dilakukan mahasiswa untuk menghadapi perubahan tersebut,” kata Fajar kemarin.
Mamik wijayanti
Pemetaan terhadap produk tersebut diperlukan guna memenangi persaingan perdagangan. Hal itu dikatakan Direktur Kerja Sama Industri Internasional Wilayah II dan Regional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Restu Yuni Widayati ketika menjadi pembicara pada talkshow bertema Preparing Our Young Engineer for ASEAN Economic Community .
Talkshow tersebut merupakan bagian dari Interactive Talkshow of Industrial Sector (ITIS) 2015 di Institut Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya kemarin. ”Kebutuhan negara A tentu berbeda dengan negara B, karena itu kita harus pandai mencari peluang apa saja yang bisa laku supaya tidak rugi. Misalnya, produk berupa kayu atau funitur asal Jepara kemungkinan akan laris di Thailand karena negara ini tidak banyak mempunyai produk yang terbuat dari kayu,” ujar Restu.
Meski bisa memetakan produk apa saja yang bisa laku di negara lain, lanjut Restu, tantangan memasuki MEA juga cukup banyak. Salah satunya yakni mengenai kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Tenaga terampil masih sangat sedikit, lulusan SD juga masih banyak, bahkan lulusan dari jenjang perguruan tinggi hanya 6,9% tiap tahun.
Artinya, tenaga yang terlatih masih sedikit sehingga dikhawatirkan akan sulit bersaing. Meski, sebenarnya dampak MEA tidak terlalu banyak dikeluhkan oleh sektor perdagangan barang. ”Justru dengan adanya perdagangan bebas seperti MEA, masyarakat juga mempunyai peluang besar terhadap saling tukar penjualan, tetapi harus tetap diingat bahwa peluang tersebut juga tergantung bagaimana melihat jenis barang yang laku di pasaran,” katanya.
Ke depan, menurut Restu, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara maju, mengingat perkembangan Eropa, Amerika Utara, Asia Timur dan Australia pada 2020 memiliki masyarakat usia lanjut sekitar 50-60%. Sebaliknya, Indonesia di tahun tersebut justru akan memiliki populasi penduduk di usia produktif.
”Hal ini juga bisa menjadi peluang tersendiri bagi masyarakat jika bisa memanfaatkannya dari sekarang,” ujarnya. Ketua ITIS 2015 Fajar Premana Putra mengatakan, kegiatan ini sengaja membahas bidang ekonomi supaya mahasiswa tahu tentang MEA. Selain itu, untuk mengetahui dampak sekaligus manfaat yang bisa diambil melalui MEA.
”Tentunya kita sebagai mahasiswa juga harus mempunyai daya saing ketika memasuki AEC 2015. Selain itu, apa yang harus dilakukan mahasiswa untuk menghadapi perubahan tersebut,” kata Fajar kemarin.
Mamik wijayanti
(ftr)