The Batik Lady

Minggu, 29 Maret 2015 - 10:19 WIB
The Batik Lady
The Batik Lady
A A A
Sally Giovanny memulai bisnis batiknya dengan modal dari amplop pemberian tamu saat pernikahan dengan suami tercinta Ibnu Riyanto tahun 2006.

Waktu itu mereka nikah muda pada 17 tahun. Dengan ”modal amplop nikah” tersebut mereka memulai usaha dengan menjadi penyuplai kain mori, bahan baku batik. ”Uang yang terkumpul sekitar Rp17 juta, itulah modal awal saya,” ujar Mbak Sally saat bareng saya mengisi acara Indonesia Morning Show NET TV hari Jumat (27/3) pagi lalu. Awalnya memang tertatih-tatih karena memang saat itu batik adalah komoditas kelas kambing, belum semencorong sekarang.

Dua tahun pertama adalah masa-masa yang berat bagi pasangan muda ini dalam merintis bisnis. Namun seiring dengan booming batik di Tanah Air setelah karya budaya ini ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia, bisnis Mbak Sally pelan tapi pasti mulai mencorong. Doa tiap malam dan kerja keras banting tulang dari pasangan muda ini kemudian membuahkan hasil.

Dengan mengusung identitas batik Trusmi yang menjadi warisan budaya khas Cirebon, kini bisnis batik Mbak Sally melesat bak meteor. Kini ia memiliki Pusat Grosir Batik Trusmi yang merupakan ruang pamer batik terbesar di Tanah Air dengan luas mencapai 1,5 hektare. Pada 2013 Mbak Sally bahkan mendapatkan rekor MURI sebagai pusat grosir batik terbesar di Tanah Air.

Mbak Sally juga memperluas gerainya hingga ke kotakota besar lain seperti Jakarta, Medan, Surabaya. Bahkan batik Mbak Sally telah menembus pasar global. ”Kami sudah ekspor batik Trusmi ke New York, Australia, dan Hongaria,” ujarnya.

Konsep ”3 in 1”

Dari sisi marketing dan branding , model bisnis yang dikembangkan Mbak Sally luar biasa unik sehingga menarik untuk dicermati. Kesuksesan model bisnis ini ditopang tiga faktor yang dirangkai menjadi satu kesatuan konsep yang solid. Itu sebabnya saya namakan konsep ”3 in 1 ”.

Faktor pertama adalah pusat grosir batik yang mengusung konsep ”one stop shopping experience ” dengan mengandalkan kenyamanan (convenience ), kelengkapan produk (veriety ), dan harga yang terjangkau (value price ) melalui pola grosiran. Faktor kedua adalah apa yang saya sebut konsep ”tourism destination branding ”.

Mbak Sally menempatkan toko grosirnya tak hanya sebagai tempat belanja, tapi juga sebagai sebuah destinasi wisata utama Kota Cirebon. Tempat ini menjadi signature destination bagi Kota Cirebon: ”Belum afdol Anda ke Kota Cirebon kalau belum mampir ke Pusat Grosir Batik Trusmi.” Berbagai atraksi wisata disiapkan di situ mulai dari pusat oleh-oleh, beragam kuliner khas Cirebon, sport center hingga wahana belajar membatik bagi pengunjung.

Faktor ketiga adalah pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan dengan para pembatik Desa Trusmi. Di Pusat Grosir Batik Trusmi, Mbak Sally menampung sekitar 400 pembatik lokal untuk menghasilkan batik-batik berkualitas di bawah bimbingannya. ”Saya menyediakan kainnya, membimbing mereka, dan kemudian membelinya,” ujarnya.

Mbak Sally membimbing para perajin batik dari sisi teknis, kualitas, dan desain untuk menghasilkan karya batik yang memenuhi standar kualitas yang ia persyaratkan. Walaupun begitu, ia tetap membebaskan pembatik yang ingin berkreasi sendiri. Model bisnis yang dikembangkan Mbak Sally cerdas karena menggabungkan pengalaman berbelanja yang menyenangkan dan destinasi wisata yang berbasis kearifan lokal.

Tak mengherankan jika Pusat Grosir Batik Trusmi menjadi magnet yang ampuh menarik wisatawan dalam dan luar negeri. Model bisnis yang dibesut Mbak Sally juga mulia karena memberdayakan para pembatik gurem lokal sehingga mereka mandiri dan sejahtera. Ini adalah sebuah kemitraan yang indah dan mulia, yaitu si kecil dan lemah diayomi oleh yang besar.

Model Industri Kreatif

Mengamati model bisnis yang dikembangkan Mbak Sally, rasa ingin tahu saya membuncah. Saya melihat formula kesuksesan Mbak Sally bisa menjadi model bagi para wirausaha industri kreatif di seluruh Tanah Air. Kenapa begitu? Karena model bisnis berkonsep ”3 in 1 ” tersebut bisa dijalankan untuk produk-produk lain berbasis kerajinan (craftmanship ) selain batik seperti produk mode, ukiran, kuliner, boneka dan mainan anak-anak, aksesori, seni patung, seni kriya/gerabah.

Perlu diingat, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang memiliki kemampuan craftmanship terbaik di dunia. Saya membayangkan konsep ”3 in 1 ” Mbak Sally bisa dikembangkan di kota atau kabupaten lain di seluruh Tanah Air. Tiap kota/kabupaten ini bisa mengembangkan satu produk kerajinan yang menjadi signature product bagi kota/kabupaten tersebut.

Kemudian pemasaran signature product itu dilakukan di suatu kawasan tertentu (seperti konsep Pusat Grosir Batik Trusmi) yang diposisikan sebagai destinasi wisata khas kota/- kabupaten tersebut. Coba bayangkan, kalau lebih dari 400 kota/kabupaten di negeri ini memiliki satu signature product dan kemudian dikelola dengan konsep ”3 in 1 ” ala Mbak Sally, negeri ini akan indah sekali. Ya karena kita akan memiliki ratusan destinasi wisata luar biasa yang menjadi magnet turis domestik maupun mancanegara.

Dengan begitu target Kemenpar 20 juta wisman tahun 2019 mestinya tak sulit diwujudkan. Tak hanya itu, di dalam destinasi wisata tersebut terdapat sebuah aktivitas ekonomi produktif yang melibatkan perajin dengan pola kemitraan yang indah dan mulia ala Mbak Sally. Walau mungkin tanpa sadar, Mbak Sally telah menciptakan sebuah model bisnis yang solid dan mulia khas Indonesia.

Sebuah model bisnis yang sarat kepedulian, pemberdayaan, welas asih, jauh dari prinsip kapitalisme menghisap. Dan dengan model bisnis tersebut ia telah mengangkat dan mengembangkan batik Trusmi khas Cirebon dan batik secara keseluruhan. Karena itu tak berlebihan jika saya menyebut Mbak Sally sebagai pahlawan batik: The Batik Lady.

Yuswohady
Managing Partner Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7118 seconds (0.1#10.140)