Daya Beli Turun, Bisnis Ritel Lesu
A
A
A
JAKARTA - Sektor ritel tahun ini diperkirakan makin lesu akibat turunnya konsumsi. Yang jadi penyebab, melemahnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga energi serta regulasi yang tidak mendukung di sisi manufaktur dan perdagangan.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, lesunya bisnis ritel di dalam negeri memang terkait dengan kondisi saat ini. Menurut dia, kebijakan yang menyebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi tidak menentu mendorong konsumen untuk menahan diri dalam berbelanja.
Di sisi lain, kenaikan harga juga mendorong pengusaha di bidang ritel untuk mematok harga tertinggi. ”Kondisi saat ini harga BBM (berubah) dalam hitungan minggu ya, tentu bisa membuat masyarakat menahan untuk membeli barang kebutuhan ritel. Belum lagi tarif listrik, kemudian harga elpiji, itu semua kebutuhan utama masyarakat kita. Jadi wajar kalau mereka juga menunggu harga turun,” ujar dia kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut dia, idealnya harga BBM yang memberikan pengaruh besar terhadap kenaikan harga barang ritel minimal bertahan selama tiga atau enam bulan. Menyerahkan harga BBM berdasarkan fluktuasi harga minyak dunia menurutnya menimbulkan ketidakpastian.
Lana menambahkan, minat konsumen membeli barang-barang ritel mungkin akan kembali meningkat menjelang bulan puasa hingga Lebaran, tetapi hal itu bersifat sementara. ”Harus ada kebijakan jangka panjang di sektor energi sehingga tidak memberikan pengaruh dalam jangka pendek terhadap harga-harga ritel,” tandasnya.
Sebelumnya, konsultan ritel dan staf ahli Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Yongky Surya Susilo mengatakan, pertumbuhan ritel tahun ini masih akan menurun. Jika pada 2013 pertumbuhan ritel masih di kisaran 15-18% dan pada kuartal IV/2014 turun menjadi 12,7%, tahun ini dikhawatirkan bisa di bawah 10%. ”Padahal ritel ini kan driver pertumbuhan ekonomi. Saya yakin penurunan ini akan memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Menurut Yongky, penurunan itu merupakan akumulasi dari kondisi yang menekan konsumsi masyarakat di Tanah Air, yakni peningkatan harga energi (BBM, listrik, elpiji, dan air), naiknya pajak konsumen, regulasi yang kurang mendukung di industri ritel dan manufaktur, serta melemahnya nilai tukar rupiah yang sempat menembus angka Rp13.000 per dolar AS.
Wakil Ketua Umum Aprindo (demisioner) Tutum Rahanta mengatakan, pihaknya telah memberi masukan ke pemerintah untuk mendorong daya beli masyarakat. Menurutnya, pemerintah harus punya stimulan untuk mendorong sektor padat karya sehingga masyarakat bisa secara cepat punya uang untuk dibelanjakan. Jika tidak, imbasnya sektor industri dan ritel akan terpuruk.
Menurut Tutum, semua hal yang bisa mendukung pertumbuhan saat ini belum terlihat, misalnya suku bunga yang belum turun, pembangunan infrastruktur yang belum optimal, dan perbaikan birokrasi yang masih berjalan. ”Tahun ini kami ingin mengejar pertumbuhan ritel 10%, tapi agak berat karena pengalaman di kuartal I saja sudah buruk dengan hiruk-pikuk politik. Kami tidak pesimistis, tapi tidak ada satu pun yang membuat kita optimistis,” cetusnya.
Head of Public Affairs Carrefour Indonesia Satria Hamid mengungkapkan, penurunan penjualan di Toko Carrefour terutama terasa di bulan Februari 2015. Pelemahan rupiah menjadi salah satu pemicu yang membuat konsumen mengerem pengeluarannya atau hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan.
”Hampir semua (produk) rata-rata mengalami penurunan karena efek dari kondisi depresiasi rupiah, kenaikan tarif listrik, dan bahan pangan. Ada efek psikologis sehingga konsumen menahan uangnya atau membelanjakan sesuai kebutuhan,” paparnya.
Satria berharap Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBN-P) 2015 bisa segera cair sehingga bisa mendongkrak konsumsi. Di sisi lain, peritel melakukan strategi efisiensi di internal dan mengatur kerja sama dengan pemasok. ”Jadi sekarang kita bukan cari kuantitas harga jual tapi mempercepat turn over dari produk. Caranya misalnya melalui program diskon,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman. Menurut dia, dalam tiga bulan terakhir kondisi industri makanan dan minuman dirasakan memburuk, terutama pada bulan Februari. ”Kondisinya parah. Kami minta ke pemerintah untuk mengkaji kebijakan. Kenaikan harga BBM misalnya, dampaknya ke ongkos angkut naik terus sehingga memberatkan,” keluhnya.
Sementara Ketua Umum Aprindo yang baru terpilih Roy N Mandey mengatakan, tantangan dan masalah yang ada saat ini harus dijadikan pemicu bagi sektor ritel dan industri untuk lebih kreatif dalam memproduksi dan menjual barang. Misalnya dengan melakukan desain ulang ukuran dan kemasan produk, mengubah cara berjualan, dan mengubah metode pembayaran atau kalkulasi harga.
”Pakai situasi sekarang untuk lebih kreatif. Kita juga ingin membuka pola pikir produsen bagaimana memanfaatkan tantangan dan peluang dalam dimensi yang positif,” tandasnya.
Inda susanti/ Ichsan amin
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, lesunya bisnis ritel di dalam negeri memang terkait dengan kondisi saat ini. Menurut dia, kebijakan yang menyebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi tidak menentu mendorong konsumen untuk menahan diri dalam berbelanja.
Di sisi lain, kenaikan harga juga mendorong pengusaha di bidang ritel untuk mematok harga tertinggi. ”Kondisi saat ini harga BBM (berubah) dalam hitungan minggu ya, tentu bisa membuat masyarakat menahan untuk membeli barang kebutuhan ritel. Belum lagi tarif listrik, kemudian harga elpiji, itu semua kebutuhan utama masyarakat kita. Jadi wajar kalau mereka juga menunggu harga turun,” ujar dia kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut dia, idealnya harga BBM yang memberikan pengaruh besar terhadap kenaikan harga barang ritel minimal bertahan selama tiga atau enam bulan. Menyerahkan harga BBM berdasarkan fluktuasi harga minyak dunia menurutnya menimbulkan ketidakpastian.
Lana menambahkan, minat konsumen membeli barang-barang ritel mungkin akan kembali meningkat menjelang bulan puasa hingga Lebaran, tetapi hal itu bersifat sementara. ”Harus ada kebijakan jangka panjang di sektor energi sehingga tidak memberikan pengaruh dalam jangka pendek terhadap harga-harga ritel,” tandasnya.
Sebelumnya, konsultan ritel dan staf ahli Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Yongky Surya Susilo mengatakan, pertumbuhan ritel tahun ini masih akan menurun. Jika pada 2013 pertumbuhan ritel masih di kisaran 15-18% dan pada kuartal IV/2014 turun menjadi 12,7%, tahun ini dikhawatirkan bisa di bawah 10%. ”Padahal ritel ini kan driver pertumbuhan ekonomi. Saya yakin penurunan ini akan memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Menurut Yongky, penurunan itu merupakan akumulasi dari kondisi yang menekan konsumsi masyarakat di Tanah Air, yakni peningkatan harga energi (BBM, listrik, elpiji, dan air), naiknya pajak konsumen, regulasi yang kurang mendukung di industri ritel dan manufaktur, serta melemahnya nilai tukar rupiah yang sempat menembus angka Rp13.000 per dolar AS.
Wakil Ketua Umum Aprindo (demisioner) Tutum Rahanta mengatakan, pihaknya telah memberi masukan ke pemerintah untuk mendorong daya beli masyarakat. Menurutnya, pemerintah harus punya stimulan untuk mendorong sektor padat karya sehingga masyarakat bisa secara cepat punya uang untuk dibelanjakan. Jika tidak, imbasnya sektor industri dan ritel akan terpuruk.
Menurut Tutum, semua hal yang bisa mendukung pertumbuhan saat ini belum terlihat, misalnya suku bunga yang belum turun, pembangunan infrastruktur yang belum optimal, dan perbaikan birokrasi yang masih berjalan. ”Tahun ini kami ingin mengejar pertumbuhan ritel 10%, tapi agak berat karena pengalaman di kuartal I saja sudah buruk dengan hiruk-pikuk politik. Kami tidak pesimistis, tapi tidak ada satu pun yang membuat kita optimistis,” cetusnya.
Head of Public Affairs Carrefour Indonesia Satria Hamid mengungkapkan, penurunan penjualan di Toko Carrefour terutama terasa di bulan Februari 2015. Pelemahan rupiah menjadi salah satu pemicu yang membuat konsumen mengerem pengeluarannya atau hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan.
”Hampir semua (produk) rata-rata mengalami penurunan karena efek dari kondisi depresiasi rupiah, kenaikan tarif listrik, dan bahan pangan. Ada efek psikologis sehingga konsumen menahan uangnya atau membelanjakan sesuai kebutuhan,” paparnya.
Satria berharap Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBN-P) 2015 bisa segera cair sehingga bisa mendongkrak konsumsi. Di sisi lain, peritel melakukan strategi efisiensi di internal dan mengatur kerja sama dengan pemasok. ”Jadi sekarang kita bukan cari kuantitas harga jual tapi mempercepat turn over dari produk. Caranya misalnya melalui program diskon,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman. Menurut dia, dalam tiga bulan terakhir kondisi industri makanan dan minuman dirasakan memburuk, terutama pada bulan Februari. ”Kondisinya parah. Kami minta ke pemerintah untuk mengkaji kebijakan. Kenaikan harga BBM misalnya, dampaknya ke ongkos angkut naik terus sehingga memberatkan,” keluhnya.
Sementara Ketua Umum Aprindo yang baru terpilih Roy N Mandey mengatakan, tantangan dan masalah yang ada saat ini harus dijadikan pemicu bagi sektor ritel dan industri untuk lebih kreatif dalam memproduksi dan menjual barang. Misalnya dengan melakukan desain ulang ukuran dan kemasan produk, mengubah cara berjualan, dan mengubah metode pembayaran atau kalkulasi harga.
”Pakai situasi sekarang untuk lebih kreatif. Kita juga ingin membuka pola pikir produsen bagaimana memanfaatkan tantangan dan peluang dalam dimensi yang positif,” tandasnya.
Inda susanti/ Ichsan amin
(ftr)