Aturan Pajak Bisnis Online Ditargetkan Rampung Tahun Ini

Kamis, 16 April 2015 - 09:03 WIB
Aturan Pajak Bisnis Online Ditargetkan Rampung Tahun Ini
Aturan Pajak Bisnis Online Ditargetkan Rampung Tahun Ini
A A A
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menargetkan aturan pengenaan pajak bisnis online (e-commerce ) dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) bisa rampung tahun ini.

Aturan ini diharapkan dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat antara bisnis online dan bisnis offline. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo berharap, aturan ini bisa dibuat sesegera mungkin. Kendati demikian, dia menekankan infrastruktur, terutama dari aspek administrasi bisa dipersiapkan sebelum PP disahkan. ”Diharapkan bisa (tahun ini selesai),” kata dia di Jakarta Selasa (14/4).

Dia mengatakan, penggodokan aturan pengenaan pajak bisnis online membutuhkan kerja sama dari kementerian/ lembaga terkait, seperti Bank Indonesia (BI), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Semua lembaga ini akan dikoordinasikan di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian.

Mardiasmo mengungkapkan, aturan pajak bisnis online dalam bentuk surat edaran belum efektif di tengah upaya pemerintah melakukan ekstensifikasi atau perluasan pajak baru. Selain bisnis online, dia pun meminta perusahaan OTT (over the top ) asing seperti Google dan Facebook dikenakan pajak.

Sejauh ini pengenaan pajak bisnis online hanya sebatas pada Surat Edaran Pajak Nomor SE- 62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas ecommerce. Dalam aturan ini disebutkan ada empat model ecommerce yang dikenakan pajak pertambahan nilai (PPn) 10%, yaitu marketplace, classified ads, daily deals, dan peritel online . Yang terbaru, Ditjen Pajak mengeluarkan SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Transaksi E-Commerce.

Direktur Teknologi Informasi Perpajakan Ditjen Pajak Iwan Djuniardi mengakui, masih kesulitan mendata pemain e-commerce berskala menengah ke bawah dan transaksi antarnegara. Pihaknya saat ini masih mendata pemain e-commerce secara manual. ”Kita mencari siapa-siapa saja pelaku e-commerce.

Baru kita cek, ada NPWP atau tidak. Kalau jelas alamatnya, kita imbau (membayar pajak). Tapi, kan kadang-kadang enggak jelas (alamatnya),” keluh dia. Iwan mengatakan, surat edaran yang dikeluarkan Ditjen Pajak pada 2013 lalu hanya menegaskan upaya pemerintah menyentuh bisnis online.

Dia pun mengakui, surat ini belum mengakomodasi model-model bisnis online lainnya, seperti transaksi barang dalam bentuk aplikasi (app store ). ”Itu bingung kita. Mestinya yang luar kena PPN 10%,” ucap Iwan. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) memperkirakan, dengan potensi pasar sekitar Rp150 triliun per tahun akan menjadi penyumbang pajak terbesar dalam beberapa tahun mendatang.

Pengurus idEA Bimalaga mengatakan, terkait surat edarat Dirjen Pajak yang ada saat ini, dia memberikan beberapa masukan kepada pemerintah. Di antaranya, soal penerbitan faktur pajak harus disamakan dengan pengecer. Menurutnya, harus ada pengecualian terhadap pajak peritel online yang baru berdiri di bawah 5 tahun dan masih merugi, Dia juga ingin agar perusahaan rintisan (start-up) yang bisnisnya baru berjalan di bawah lima tahun agar dibebaskan pajak penghasilannya (PPh).

Rahmat fiansyah
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6644 seconds (0.1#10.140)