Indef: Sebaiknya Jokowi Reshuffle Menteri Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finances (Indef) Enny Sri Hartati meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) me-reshuffle menteri ekonomi, lantaran pertumbuhan ekonomi kuartal I/2015 melambat atau hanya tumbuh 4,7%.
"Pak Jokowi memiliki kewenangan untuk melakukan reshuffle. Ini karena melihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi kita, karena pencapaiannya justru anjlok bukan melambat lagi," kata dia saat di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Enny menjelaskan, ada beberapa faktor penyebab melambatnya ekonomi Indonesia. Tidak saja berasal dari eksternal seperti pelemahan ekonomi dunia (global), namun juga karena penyerapan belanja pemerintah yang kurang maksimal.
"Pemerintah terlalu mencampuri daya beli masyarakat. Kalau saja pemerintah enggak mengganggu daya beli masyarakat, maka baseline pertumbuhan ekonomi kita masih bisa di angka 5%. Kalau sampai 4,71% saja, artinya ada kebijakan ekonomi pemerintah yang mendistorsi," imbuhnya.
Dia terkesan menyalahkan tim ekonomi Jokowi-JK yang tidak mampu memaksimalkan tugasnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Jika mereka (tim ekonomi) nya cakap, dan terampil dalam bekerja, ekonomi kita bisa tumbuh 5%. Jadi kalau enggak cakap, ya mau tidak mau harus di reshuffle," jelasnya.
Meski menggembar gemborkan reshuffle, namun Enny enggan menyebut nama-nama menteri ekonomi yang seharusnya masuk calon di reshuffle. "Ya kalau soal itu kan urusan Pak Jokowi," ucap dia.
Tim ekonomi Indonesia di Kabinet Kerja, menurut dia, pasti mengetahui bakal terjadi perlambatan serapan belanja pemerintah karena ada pelemahan ekonomi dunia. Seharusnya, pemerintah perlu mengelola perekonomian secara sungguh-sungguh untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
"Tapi kebijakan tim ekonomi justru menyebabkan daya beli masyarakat jatuh, dengan kalkulasi tidak prudent," papar Enny.
Misalnya, karena berambisi mendapatkan ruang fiskal lebih besar, pemerintah terus mengambil kebijakan penyesuaian harga yang berkaitan dengan daya beli masyarakat seperti kenaikan harga BBM atau penyesuaian setiap satu bulan sekali.
Selain itu, kenaikan tarif dasar listrik selama tiga tahun berturut-turut termasuk untuk golongan industri yang sangat tinggi untuk tahun ini, padahal masih kuartal I.
"Kondisi ini dibiarkan, maka wajar bila kinerja perusahaan tekstil dan lainnya sangat bergantung dengan listrik langsung mencatatkan kinerja buruk. Harusnya pemerintah bisa melakukan penyeimbangan, dengan memikirkan setiap kebijakan ekonomi supaya punya desain komprehensif. Jangan ambisi saja dong untuk mendpatkan ruang fiskal," pungkasnya.
"Pak Jokowi memiliki kewenangan untuk melakukan reshuffle. Ini karena melihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi kita, karena pencapaiannya justru anjlok bukan melambat lagi," kata dia saat di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Rabu (6/5/2015).
Enny menjelaskan, ada beberapa faktor penyebab melambatnya ekonomi Indonesia. Tidak saja berasal dari eksternal seperti pelemahan ekonomi dunia (global), namun juga karena penyerapan belanja pemerintah yang kurang maksimal.
"Pemerintah terlalu mencampuri daya beli masyarakat. Kalau saja pemerintah enggak mengganggu daya beli masyarakat, maka baseline pertumbuhan ekonomi kita masih bisa di angka 5%. Kalau sampai 4,71% saja, artinya ada kebijakan ekonomi pemerintah yang mendistorsi," imbuhnya.
Dia terkesan menyalahkan tim ekonomi Jokowi-JK yang tidak mampu memaksimalkan tugasnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Jika mereka (tim ekonomi) nya cakap, dan terampil dalam bekerja, ekonomi kita bisa tumbuh 5%. Jadi kalau enggak cakap, ya mau tidak mau harus di reshuffle," jelasnya.
Meski menggembar gemborkan reshuffle, namun Enny enggan menyebut nama-nama menteri ekonomi yang seharusnya masuk calon di reshuffle. "Ya kalau soal itu kan urusan Pak Jokowi," ucap dia.
Tim ekonomi Indonesia di Kabinet Kerja, menurut dia, pasti mengetahui bakal terjadi perlambatan serapan belanja pemerintah karena ada pelemahan ekonomi dunia. Seharusnya, pemerintah perlu mengelola perekonomian secara sungguh-sungguh untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
"Tapi kebijakan tim ekonomi justru menyebabkan daya beli masyarakat jatuh, dengan kalkulasi tidak prudent," papar Enny.
Misalnya, karena berambisi mendapatkan ruang fiskal lebih besar, pemerintah terus mengambil kebijakan penyesuaian harga yang berkaitan dengan daya beli masyarakat seperti kenaikan harga BBM atau penyesuaian setiap satu bulan sekali.
Selain itu, kenaikan tarif dasar listrik selama tiga tahun berturut-turut termasuk untuk golongan industri yang sangat tinggi untuk tahun ini, padahal masih kuartal I.
"Kondisi ini dibiarkan, maka wajar bila kinerja perusahaan tekstil dan lainnya sangat bergantung dengan listrik langsung mencatatkan kinerja buruk. Harusnya pemerintah bisa melakukan penyeimbangan, dengan memikirkan setiap kebijakan ekonomi supaya punya desain komprehensif. Jangan ambisi saja dong untuk mendpatkan ruang fiskal," pungkasnya.
(izz)