Tembus USD66 Miliar, Industri Pengolahan Jadi Penyumbang Terbesar Ekspor Nasional
Senin, 21 Juni 2021 - 14:35 WIB
JAKARTA - Kinerja ekspor industri pengolahan terus menunjukkan tren positif di tengah ancaman dampak pandemi Covid-19. Agresivitas sektor manufaktur menembus pasar internasional ini turut mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Januari-Mei 2021, nilai ekspor industri pengolahan mencapai USD66,70 miliar, naik 30,53% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar USD51,10 miliar. Dari capaian USD66,70 miliar tersebut, industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi, yakni 79,42% dari total ekspor nasional yang berada di angka USD83,99 miliar.
Baca juga:Tabrakan Mengerikan Libatkan 18 Kendaraan, 10 Tewas Termasuk 9 Anak
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional agar bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi dan kompetitif di mancanegara. "Sudah banyak pelaku industri kita yang produknya menguasai kancah global," ujarnya dalam siaran pers, Senin (21/6/2021).
Menurut Menperin, besarnya proporsi ekspor produk industri pengolahan sekaligus menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia dari komoditas primer kepada produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi. Hal ini dinilai dapat menghindarkan ekspor dari gejolak harga komoditas primer.
"Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus memacu hilirisasi industri, karena berdampak positif dan memberikan multiplier effect yang luas, termasuk dalam penerimaan devisa melalui capaian ekspor," paparnya.
Membaiknya kinerja ekspor selama lima bulan ini, mencatatkan surplus perdagangan USD10,17 miliar. Kemenperin akan tetap fokus untuk menggenjot kinerja industri berorientasi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif dan berkelanjutan.
"Selain itu, agar kita dapat bersaing dengan negara-negara lain, hilirisasi harus terus dijalankan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan mengoptimalkan sumber daya alam kita agar bisa bernilai tambah tinggi," imbuhnya.
Lebih lanjut, kebijakan pro-investasi dan pro-ekspor perlu dibarengi dengan kebijakan peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri. Sebagai salah satu upaya peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri, Kemenperin telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35% pada tahun 2022.
Baca juga:Wanita Muda Lompat dari Lantai 3 Rumahnya karena Stres Terkena Corona Akhirnya Meninggal
Pemerintah juga mendorong sektor industri untuk melakukan perluasan pasar ekspor, khususnya pasar-pasar non-tradisional seperti ke Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Di samping itu, perlu dilakukan percepatan penyelesaian perundingan dengan negara-negara potensial sebagai agenda prioritas.
Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama ekonomi komprehensif dengan Australia, Korea, dan Uni Eropa. "Implementasi 23 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang sudah ditandatangani juga harus benar-benar dimanfaatkan oleh para pelaku industri di Indonesia. Misalnya melalui IA-CEPA, salah satu peluangnya adalah meningkatkan ekspor sektor otomotif," jelas Menperin.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Januari-Mei 2021, nilai ekspor industri pengolahan mencapai USD66,70 miliar, naik 30,53% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar USD51,10 miliar. Dari capaian USD66,70 miliar tersebut, industri pengolahan memberikan kontribusi paling tinggi, yakni 79,42% dari total ekspor nasional yang berada di angka USD83,99 miliar.
Baca juga:Tabrakan Mengerikan Libatkan 18 Kendaraan, 10 Tewas Termasuk 9 Anak
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan daya saing industri nasional agar bisa menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi dan kompetitif di mancanegara. "Sudah banyak pelaku industri kita yang produknya menguasai kancah global," ujarnya dalam siaran pers, Senin (21/6/2021).
Menurut Menperin, besarnya proporsi ekspor produk industri pengolahan sekaligus menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia dari komoditas primer kepada produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi. Hal ini dinilai dapat menghindarkan ekspor dari gejolak harga komoditas primer.
"Kementerian Perindustrian bertekad untuk terus memacu hilirisasi industri, karena berdampak positif dan memberikan multiplier effect yang luas, termasuk dalam penerimaan devisa melalui capaian ekspor," paparnya.
Membaiknya kinerja ekspor selama lima bulan ini, mencatatkan surplus perdagangan USD10,17 miliar. Kemenperin akan tetap fokus untuk menggenjot kinerja industri berorientasi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif dan berkelanjutan.
"Selain itu, agar kita dapat bersaing dengan negara-negara lain, hilirisasi harus terus dijalankan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan mengoptimalkan sumber daya alam kita agar bisa bernilai tambah tinggi," imbuhnya.
Lebih lanjut, kebijakan pro-investasi dan pro-ekspor perlu dibarengi dengan kebijakan peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri. Sebagai salah satu upaya peningkatan daya tahan dan daya saing industri dalam negeri, Kemenperin telah menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35% pada tahun 2022.
Baca juga:Wanita Muda Lompat dari Lantai 3 Rumahnya karena Stres Terkena Corona Akhirnya Meninggal
Pemerintah juga mendorong sektor industri untuk melakukan perluasan pasar ekspor, khususnya pasar-pasar non-tradisional seperti ke Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Di samping itu, perlu dilakukan percepatan penyelesaian perundingan dengan negara-negara potensial sebagai agenda prioritas.
Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama ekonomi komprehensif dengan Australia, Korea, dan Uni Eropa. "Implementasi 23 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang sudah ditandatangani juga harus benar-benar dimanfaatkan oleh para pelaku industri di Indonesia. Misalnya melalui IA-CEPA, salah satu peluangnya adalah meningkatkan ekspor sektor otomotif," jelas Menperin.
(uka)
tulis komentar anda