Demi Stabilitas APBN, Dua Rektor Usulkan Pengalihan dan Penataan Ulang Penerima Subsidi BBM
Senin, 29 Agustus 2022 - 15:09 WIB
Menurut Dr. Mukhaer Pakkana yang juga merupakan Wakil Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, tanpa mengurangi subsidi, pemerintah memang akan menghadapi dilema yang berat. Asumsi pemerintah, jika subsidi bahan bakar minyak (BBM) dipertahankan seperti saat ini hingga Desember 2022, maka subsidi APBN 2022 akan mencapai lebih Rp700 triliun, sementara alokasi subsidi hanya berkisar Rp500 triliun.
Sementara, jika subsidi dilepas atau harga BBM dan gas subsidi dinaikkan, pasti muncul spiral effect yang sangat liar. Inflasi meroket, daya beli tergerus, kemiskinan bertambah, penggangguran melejit, dan seterusnya.
Untuk itu, selain menaikkan harga BBM, pemerintah juga bisa menggunakan otoritasnya untuk memanfaatkan dana-dana devisa ekspor yang berasal dari windfall profit dari komoditas ekstraktif, seperti hasil ekspor batu bara, CPO, nikel, dan lainnya.
“Windfall profit hasil komoditas ekstraktif ini diperkirakan jumlahnya melebihi angka Rp500 triliun. Jangan sampai hasil devisa ekspor itu hanya diparkir di luar, terutama di negara-negara tax heaven. Di sini pemerintah harus tegas kepada pelaku eksportir itu,” tegas Mukhaer Pakkana.
Solusi ketiga yang bisa ditempuh pemerintah adalah dengan fleksibilitas kebijakan. Jika kondisi harga BBM dan gas global kembali pulih atau normal sesuai asumsi ABPN, maka harga BBM dan gas harus dikembalikan ke tingkat normal atau sesuai harga keekonomiannya.
“Pemerintah bisa membuat klausul itu dalam kebijakan menaikkan harga BBM subsidi saat ini,” pungkasnya.
Sementara, jika subsidi dilepas atau harga BBM dan gas subsidi dinaikkan, pasti muncul spiral effect yang sangat liar. Inflasi meroket, daya beli tergerus, kemiskinan bertambah, penggangguran melejit, dan seterusnya.
Untuk itu, selain menaikkan harga BBM, pemerintah juga bisa menggunakan otoritasnya untuk memanfaatkan dana-dana devisa ekspor yang berasal dari windfall profit dari komoditas ekstraktif, seperti hasil ekspor batu bara, CPO, nikel, dan lainnya.
“Windfall profit hasil komoditas ekstraktif ini diperkirakan jumlahnya melebihi angka Rp500 triliun. Jangan sampai hasil devisa ekspor itu hanya diparkir di luar, terutama di negara-negara tax heaven. Di sini pemerintah harus tegas kepada pelaku eksportir itu,” tegas Mukhaer Pakkana.
Solusi ketiga yang bisa ditempuh pemerintah adalah dengan fleksibilitas kebijakan. Jika kondisi harga BBM dan gas global kembali pulih atau normal sesuai asumsi ABPN, maka harga BBM dan gas harus dikembalikan ke tingkat normal atau sesuai harga keekonomiannya.
“Pemerintah bisa membuat klausul itu dalam kebijakan menaikkan harga BBM subsidi saat ini,” pungkasnya.
(uka)
tulis komentar anda