Luruskan Soal Transaksi Mencurigakan Rp300 Triliun, Sri Mulyani Ungkap Isi Surat PPATK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan panjang lebar soal transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan sebesar Rp300 triliun yang diduga sebagai tindak pencucian uang. Menurutnya, dugaan itu perlu diklarifikasi lantaran berbagai informasi yang tersebar sudah sangat simpang siur.
Bendahara negara itu mengungkapkan, Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) telah mengirim 196 surat kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terutama Inspektorat Jenderal (Itjen) selama periode 2009-2023.
"Surat ini tanpa ada nilai transaksi, hanya berisi nomor surat, tanggal surat, nama-nama orang yang ditulis PPATK dan kemudian tindak lanjut dari Kemenkeu," ujarnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023).
Sri Mulyani menambahkan, terhadap surat tersebut, pihaknya telah melakukan semua langkah. Ada yang terkena sanksi, turun pangkat, hingga dipenjara. Semuanya dikenakan sanksi sesuai PP No. 94 Tahun 2010 mengenai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Kemudian muncul statement mengenai adanya surat PPATK di mana ada angka Rp300 triliun. Kami belum menerima. Makanya waktu hari Sabtu (11/3/2023), saya dengan Pak Menko melakukan statement publik. Saya menyampaikan sampai dengan hari Sabtu yang lalu itu, kita belum menerima surat dari PPATK yang berisi angka," jelasnya.
Ia menuturkan, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana baru mengirimkan surat tersebut pada 14 Maret sehingga ketika dirinya bertemu Menko Polhukam di Kemenkeu pada 11 Maret pihaknya belum menerima surat kedua dari PPATK yang bernomor SR/31/ap.01/III/23.
"Di dalam surat ini adalah surat yang tadi 36 halaman nomor 1 yang gak ada angkanya. Ini 46 halaman lampirannya berisi rekapitulasi hasil analisa dan pemeriksaan serta informasi transaksi keuangan berkaitan tugas dan fungsi untuk Kemenkeu 2009-2023. Lampirannya itu daftar surat yang ada di situ 300 surat. Dengan nilai transaksi Rp349 triliun," paparnya.
Wanita yang akrab disapa Ani itu memaparkan, dari 300 surat itu ada 65 surat berisi transaksi keuangan perusahaan atau badan atau perorangan yang tidak ada kaitan dengan pegawai Kementerian Keuangan. Namun, katanya, surat itu dikirim ke Kemenkeu karena transaksi tersebut berkaitan dengan fungsi Kemenkeu seperti transaksi ekspor dan impor.
"65 surat itu nilainya Rp253 triliun. Jadi artinya PPATK menengarai ada transaksi dalam perekonomian entah itu perdagangan, pergantian properti yang ditengarai ada mencurigakan dan itu dikirim ke Kementerian Keuangan supaya kementerian bisa follow up, tindak lanjuti sesuai fungsi kita," terangnya.
Berikutnya, lanjut Ani, ada 99 surat yang dikirim PPATK kepada aparat penegak hukum dengan nilai Rp74 triliun. Sisanya, kata Ani, barulah surat yang menyangkut dengan pegawai di Kemenkeu.
"Sedangkan 136 surat dari PPATK tadi yang menyangkut ada nama pegawai Kementerian Keuangan, nilainya jauh lebih kecil, karena tadi Rp253 triliun plus Rp74 (triliun) itu sudah lebih dari Rp300 triliun," ucapnya.
Ia kemudian memberikan contoh salah satu surat berisi transaksi mencurigakan yang telah ditindaklanjuti oleh Ditjen Bea Cukai Kemenkeu. Surat itu, katanya, dikirim PPATK pada 19 Mei 2020.
Dia menyebut surat itu berisi soal transaksi Rp189,27 triliun. Karena angka yang besar, lanjutnya, Kemenkeu langsung menelusurinya dan tidak menemukan unsur mencurigakan karena transaksinya dilakukan pelaku ekspor dan impor. Sesudah dilihat, tambahnya, dari Bea Cukai lalu meneliti nama-nama 15 entitas. Mereka adalah yang melakukan ekspor impor emas batangan dan emas perhiasan dan kegiatan money changers.
Dia mengatakan angka transaksi dari 15 entitas itu naik dan turun, terutama saat pandemi Corona terjadi. Dia juga mengatakan sudah membahas soal surat itu dengan PPATK pada September 2020.
"Waktu Bea Cukai mengatakan tidak menemukan di Bea Cukai ada kecurigaan, maka Pajak masuk," ucapnya.
Dia mengatakan Ditjen Pajak juga menerima surat dari PPATK dengan nilai transaksi Rp205 triliun dari 17 entitas. Ditjen Pajak, katanya, kemudian melakukan penelitian sisi pajak dari 2017 sampai 2019. Dia menyebut ada figur SB di dalam PPATK yang menyebut figur itu punya omzet Rp8,247 triliun. Sementara, data dari SPT pajak, figur itu punya omzet Rp9,68 triliun.
"Karena si orang ini memiliki saham di PT BSI, kita teliti BSI yang ada di dalam surat PPATK juga. PT BSI ini data PPATK menunjukkan Rp11,77 triliun. SPT pajaknya menunjukkan, ini pajak dari 2017 hingga 2019, 3 tahun, SPT pajaknya Rp11,56 triliun, jadi perbedaannya Rp 212 miliar. Itu pun tetap dikejar, kalau memang buktinya nyata maka si perusahaan itu harus membayar plus denda 100%," ujarnya.
"PT IKS 2018-2019, PPATK menunjukkan Rp4,8 triliun, SPT menunjukkan Rp3,5 triliun. Kemudian ada seseorang DY SPT-nya hanya Rp38 miliar, tapi PPATK menunjukkan transaksinya mencapai Rp8 triliun," ujar Sri Mulyani.
Perbedaan data itu kemudian dipakai Ditjen Pajak memanggil pihak-pihak bersangkutan. Dia mengatakan muncul modus SB menggunakan rekening lima orang karyawannya "Termasuk kalau kita bicara transaksi ini adalah transaksi money changer," imbuhnya.
Ani menegaskan pihaknya sangat menghargai data PPATK. Ia juga menyatakan PPATK, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai selalu bertukar informasi untuk memberantas korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
"Dalam kondisi itu, di Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak sudah dilakukan 17 kasus tindak pidana pencucian uang yang hasilnya Rp7,88 triliun penerimaan negara. Dan bea cukai ada delapan kasus tindak pidana yang hasilnya Rp1,1 triliun. Nah, surat PPATK tersebut yang berkaitan dengan internal Kementerian Keuangan, oknum atau pegawai Kementerian Keuangan, mulai dari Gayus itu Rp1,9 triliun sudah dipenjara. Kemudian ada lagi saudara Angin Prayitno itu disebutkan transaksinya Rp14,8 triliun oleh PPATK itu juga sudah dipenjara," tandasnya.
Bendahara negara itu mengungkapkan, Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) telah mengirim 196 surat kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terutama Inspektorat Jenderal (Itjen) selama periode 2009-2023.
"Surat ini tanpa ada nilai transaksi, hanya berisi nomor surat, tanggal surat, nama-nama orang yang ditulis PPATK dan kemudian tindak lanjut dari Kemenkeu," ujarnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023).
Sri Mulyani menambahkan, terhadap surat tersebut, pihaknya telah melakukan semua langkah. Ada yang terkena sanksi, turun pangkat, hingga dipenjara. Semuanya dikenakan sanksi sesuai PP No. 94 Tahun 2010 mengenai Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Kemudian muncul statement mengenai adanya surat PPATK di mana ada angka Rp300 triliun. Kami belum menerima. Makanya waktu hari Sabtu (11/3/2023), saya dengan Pak Menko melakukan statement publik. Saya menyampaikan sampai dengan hari Sabtu yang lalu itu, kita belum menerima surat dari PPATK yang berisi angka," jelasnya.
Ia menuturkan, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana baru mengirimkan surat tersebut pada 14 Maret sehingga ketika dirinya bertemu Menko Polhukam di Kemenkeu pada 11 Maret pihaknya belum menerima surat kedua dari PPATK yang bernomor SR/31/ap.01/III/23.
"Di dalam surat ini adalah surat yang tadi 36 halaman nomor 1 yang gak ada angkanya. Ini 46 halaman lampirannya berisi rekapitulasi hasil analisa dan pemeriksaan serta informasi transaksi keuangan berkaitan tugas dan fungsi untuk Kemenkeu 2009-2023. Lampirannya itu daftar surat yang ada di situ 300 surat. Dengan nilai transaksi Rp349 triliun," paparnya.
Wanita yang akrab disapa Ani itu memaparkan, dari 300 surat itu ada 65 surat berisi transaksi keuangan perusahaan atau badan atau perorangan yang tidak ada kaitan dengan pegawai Kementerian Keuangan. Namun, katanya, surat itu dikirim ke Kemenkeu karena transaksi tersebut berkaitan dengan fungsi Kemenkeu seperti transaksi ekspor dan impor.
"65 surat itu nilainya Rp253 triliun. Jadi artinya PPATK menengarai ada transaksi dalam perekonomian entah itu perdagangan, pergantian properti yang ditengarai ada mencurigakan dan itu dikirim ke Kementerian Keuangan supaya kementerian bisa follow up, tindak lanjuti sesuai fungsi kita," terangnya.
Berikutnya, lanjut Ani, ada 99 surat yang dikirim PPATK kepada aparat penegak hukum dengan nilai Rp74 triliun. Sisanya, kata Ani, barulah surat yang menyangkut dengan pegawai di Kemenkeu.
"Sedangkan 136 surat dari PPATK tadi yang menyangkut ada nama pegawai Kementerian Keuangan, nilainya jauh lebih kecil, karena tadi Rp253 triliun plus Rp74 (triliun) itu sudah lebih dari Rp300 triliun," ucapnya.
Ia kemudian memberikan contoh salah satu surat berisi transaksi mencurigakan yang telah ditindaklanjuti oleh Ditjen Bea Cukai Kemenkeu. Surat itu, katanya, dikirim PPATK pada 19 Mei 2020.
Dia menyebut surat itu berisi soal transaksi Rp189,27 triliun. Karena angka yang besar, lanjutnya, Kemenkeu langsung menelusurinya dan tidak menemukan unsur mencurigakan karena transaksinya dilakukan pelaku ekspor dan impor. Sesudah dilihat, tambahnya, dari Bea Cukai lalu meneliti nama-nama 15 entitas. Mereka adalah yang melakukan ekspor impor emas batangan dan emas perhiasan dan kegiatan money changers.
Dia mengatakan angka transaksi dari 15 entitas itu naik dan turun, terutama saat pandemi Corona terjadi. Dia juga mengatakan sudah membahas soal surat itu dengan PPATK pada September 2020.
"Waktu Bea Cukai mengatakan tidak menemukan di Bea Cukai ada kecurigaan, maka Pajak masuk," ucapnya.
Dia mengatakan Ditjen Pajak juga menerima surat dari PPATK dengan nilai transaksi Rp205 triliun dari 17 entitas. Ditjen Pajak, katanya, kemudian melakukan penelitian sisi pajak dari 2017 sampai 2019. Dia menyebut ada figur SB di dalam PPATK yang menyebut figur itu punya omzet Rp8,247 triliun. Sementara, data dari SPT pajak, figur itu punya omzet Rp9,68 triliun.
"Karena si orang ini memiliki saham di PT BSI, kita teliti BSI yang ada di dalam surat PPATK juga. PT BSI ini data PPATK menunjukkan Rp11,77 triliun. SPT pajaknya menunjukkan, ini pajak dari 2017 hingga 2019, 3 tahun, SPT pajaknya Rp11,56 triliun, jadi perbedaannya Rp 212 miliar. Itu pun tetap dikejar, kalau memang buktinya nyata maka si perusahaan itu harus membayar plus denda 100%," ujarnya.
"PT IKS 2018-2019, PPATK menunjukkan Rp4,8 triliun, SPT menunjukkan Rp3,5 triliun. Kemudian ada seseorang DY SPT-nya hanya Rp38 miliar, tapi PPATK menunjukkan transaksinya mencapai Rp8 triliun," ujar Sri Mulyani.
Perbedaan data itu kemudian dipakai Ditjen Pajak memanggil pihak-pihak bersangkutan. Dia mengatakan muncul modus SB menggunakan rekening lima orang karyawannya "Termasuk kalau kita bicara transaksi ini adalah transaksi money changer," imbuhnya.
Ani menegaskan pihaknya sangat menghargai data PPATK. Ia juga menyatakan PPATK, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai selalu bertukar informasi untuk memberantas korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
"Dalam kondisi itu, di Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak sudah dilakukan 17 kasus tindak pidana pencucian uang yang hasilnya Rp7,88 triliun penerimaan negara. Dan bea cukai ada delapan kasus tindak pidana yang hasilnya Rp1,1 triliun. Nah, surat PPATK tersebut yang berkaitan dengan internal Kementerian Keuangan, oknum atau pegawai Kementerian Keuangan, mulai dari Gayus itu Rp1,9 triliun sudah dipenjara. Kemudian ada lagi saudara Angin Prayitno itu disebutkan transaksinya Rp14,8 triliun oleh PPATK itu juga sudah dipenjara," tandasnya.
(uka)