Ribut Blok Masela Rizal Ramli versus Sudirman Said

Minggu, 13 Maret 2016 - 06:24 WIB
Ribut Blok Masela Rizal Ramli versus Sudirman Said
Ribut Blok Masela Rizal Ramli versus Sudirman Said
A A A
DUA menteri Kabinet Kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said hingga kini menjadi sorotan masyarakat. Kedua pembantu Presiden Jokowi tersebut kerap berbeda pendapat terkait kebijakan minyak dan gas (migas) nasional.

Salah satunya mengenai rencana pembangunan kilang di lapangan abadi Blok Masela, Maluku, yang pada akhirnya menimbulkan kekisruhan di ruang publik. Rizal Ramli menginginkan agar pembangunan kilang menggunakan skema pipanisasi di darat (onshore LNG/OLNG), sedangkan Sudirman Said menginginkan kilang dibangun di laut menggunakan skema LNG terapung (floating LNG/FLNG/offshore)

Tenaga Ahli Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman, Abdul Rachim mengemukakan penyebab kisruh yang terjadi antara dua menteri soal Blok Masela adalah terkait hitungan investasi pembangunan kilang darat dan laut. Menurutnya Tim Fortuga yang menjadi basis perhitungan Rizal Ramli berbeda dengan Inpex dan Shell yang menjadi basis hitung Menteri ESDM Sudirman Said dan SKK Migas.

"Fortuga hitung kilang laut lebih mahal dari darat. Inpex bilangnya laut lebih murah dari darat. Hitungannya (Inpex-Shell) terbalik," ujarnya di Gedung BPPT, Jakarta, Jumat (11/3/2016).

Dia menyebutkan, dalam perhitungan Royal Dutch Shell dan Inpex Corporation, biaya investasi untuk pembangunan kilang laut di Masela yang berkapasitas 7,5 juta ton LNG per tahun adalah sekitar USD14,8 miliar. Padahal, proyek FLNG serupa yang tengah dibangun di Australia dan hanya berkapasitas 3,6 juta ton LNG per tahun membutuhkan biaya USD12,6 miliar.

"‎Masela punya kapasitas 7,5 juta ton LNG per tahun, tapi kok hitungan biayanya hanya USD14,8 miliar. Itu kan dua kali lipat Prelude (Australia), kenapa harganya cuma 20% di atas Prelude, tidak masuk akal," tuturnya.

Menurut Rachim, hitungan Inpex tersebut telah dijiplak mentah-mentah oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kementerian ESDM serta dipresentasikan kepada Presiden Jokowi. "Hitungan Inpex ini yang dijiplak mentah-mentah SKK Migas dan bikin kisruh," imbuhnya.

Karena itu lanjut dia, Rizal Ramli sangat menentang hal tersebut. Mantan Menko bidang Perekonomian ini menginginkan agar kilang dibangun di darat. Lantaran selain lebih murah, multiplier effect untuk masyarakat sekitar sangat besar.

"‎Bisa dibuat petrokimia, amonia bisa dikirim ke pabrik pupuk dengan kapal sederhana saja. Ini duduk persoalannya. Kembali pada hitungan yang diputar-balik," ungkapnya.

Sementara hitungan Fortuga untuk kilang darat, kata Rachim, berdasarkan pengalaman pembangunan 16 kilang darat (onshore) yang pernah ada di Indonesia.‎ Dia mengklaim, Inpex dan Shell telah mengecilkan angka investasi (mark-down) agar bisa mendapatkan kontrak tersebut.

"‎Kalau sudah dapat, ya dinaikkan harganya, itu biasa terjadi di dunia oil and gas. Itu dulu lah. Kita tidak mau lagi yang seperti itu," jelasnya.

Di sisi lain, Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said tidak bisa mengganti investor di lapangan abadi Blok Masela, yaitu Inpex dan Shell. Sebab itu, berita yang menyebutkan kedua perusahaan migas itu akan ditendang tidak benar.

Rachim menjelaskan, kedua kementerian tidak berhak mengganti investor di lapangan abadi itu dengan seenaknya. Sebab, yang berhak mengganti hanyalah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

"‎Soal bahwa akan mengganti investor, itu enggak bisa mengganti. Karena investor itu, sebetulnya yang berwenang untuk mengganti itu adalah SKK Migas. Nah, jadi menteri ESDM pun enggak berhak mengganti investor itu," ujarnya.

Selain itu, jika memang atasannya meminta agar Inpex ataupun Shell diganti, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi perlawanan hukum dari investor tersebut. Apalagi, Inpex sudah aktif di Indonesia sejak 1998. Mereka pun telah mengeluarkan sejumlah investasi untuk menemukan cadangan gas di lokasi tersebut.

"‎Karena Inpex itu sudah aktif dari 1998. Dapat kontrak PSC. Nah dia sudah keluar uang banyak untuk menemukan gas-gas itu, dan uangnya itu belum dibayar," jelasnya.

Menurut Rahim, seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menemukan cadangan migas di lokasi tersebut seluruhnya menggunakan uang investor. Pemerintah baru akan membayarnya dengan cost recovery, saat Blok Masela benar-benar telah berproduksi.

"Jadi kalau enggak produksi, barangnya dijual, sebagian uangnya diambil cost recoevry itu. Jadi sebelum ada cost recovery tidak mungkin ada pengeluaran uang dari negara. Jadi ini masih uangnya Inpex semua," bebernya.

Pada dasarnya, lanjut Rachim, yang diinginkan Menko Rizal adalah agar proyek di Blok Masela menjadi bisnis yang menguntungkan baik buat Indonesia maupun investor sesuai dengan kaidah internasional. "Jadi tidak ada itu Rizal Ramli mau mengganti investor. Itu pelintiran dari media. Supaya membuat karakter kepada Pak Menko. Jadi itu yang sebenarnya terjadi‎," tandasnya.

Kemenko Kemaritiman meyakini kekisruhan soal pemilihan skema pembangunan kilang Blok Masela, Maluku tidak akan membuat dua existing investor Royal Dutch Shell dan Inpex Corporation hengkang serta membatalkan investasinya di lapangan abadi tersebut. Sebelumnya dikhawatirkan keributan antara dua menteri akan membuat operator itu pergi.

Tenaga Ahli bidang Energi Kemenko Maritim Haposan Napitupulu mengatakan, sangat kecil kemungkinan dua investor tersebut hengkang dari Tanah Air. Apalagi, mereka telah mengetahui cadangan minyak dan gas yang ada di Blok Masela begitu besar.

"‎Mereka sudah menemukan cadangan begitu gede, saya yakin tidak akan ditinggalkan begitu saja itu blok. Ini terbesar di Indonesia. Sangat kecil kemungkinan investor hengkang," katanya di Gedung BPPT, Jakarta, Jumat (11/3/2016)

Apalagi, sambung mantan petinggi BP Migas ini, Inpex telah lama berinvestasi di Indonesia, seperti di Blok Mahakam ataupun di Blok Tangguh. "‎Di Central Sumatera juga banyak. Jadi sangat kecil probabilitynya untuk itu," imbuhnya.

Selain itu, Inpex dan Shell tidak akan hengkang dari Indonesia karena mereka telah mengeluarkan investasi sekitar USD1 miliar hingga USD2 miliar untuk pengembangan Blok Masela, dan belum mendapatkan keuntungan apapun. "‎Karena pembayaran itu, cost recovery baru bisa dikeluarkan kalau sudah produksi. Jadi ada uang gantung. Tidak mungkin dia lari. Walaupun memang lebih cepat diputuskan lebih bagus," tegasnya.

Sementara itu, Presiden Jokowi menyatakan, keputusan mengenai pengembangan kilang di Blok Masela, Maluku Utara masih menunggu 2018. Dia mengatakan, ‎saat ini proses pembahasan keputusan pengembangan Blok Masela masih terus dilakukan pemerintah yang sampai saat ini masih belum memutuskan pembangunan infrastruktur gas di blok tersebut.

"Ini kan proyek sangat besar dan jangka panjang, sebetulnya masih dalam proses studi nanti akan diputuskan 2018," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (29/2/2016) lalu.

Menurutnya, keputusan mengenai investasi di Blok Masela masih menunggu 2018. Pemerintah juga akan memberikan waktu kepada investor untuk menimbang kembali mengenai skema yang mereka inginkan. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menekankan, pengembangan kilang di blok tersebut harus memberikan manfaat besar bagi masyarakat di Maluku.

"Segera dirampungkan, paling penting saya ingin eksploitasi ini bermanfaat bagi pengembangan regional di Indonesia bagian timur, kunci di situ. Jangan sampai hanya diambilin, rakyat yang ada di sekitar itu enggak dapat manfaatnya," tandas Jokowi.

Tak berapa lama, Sudirman Said mengklarifikasi pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan keputusan mengenai rencana pengembangan kilang di Blok Masela, Maluku baru akan diambil pada 2018. Dia menjelaskan, yang dimaksud Jokowi baru diputuskan pada 2018 adalah keputusan investasi final atau final investment decision (FID)‎. Sementara, yang diminta segera saat ini adalah persetujuan mengenai rencana pengembangan (plan of development/PoD).

"Saya luruskan tadi. Yang dimaksud Bapak Presiden yang diminta sekarang ini adalah persetujuan PoD. Persetujuan untuk mengusung plan of development," katanya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (29/2/2016).

Dia menjelaskan, PoD tersebut akan berisi perencanaan detail, pengecekan reservoir, serta desain engineering-nya. Mengingat, proyek Lapangan Abadi ini merupakan proyek jangka panjang dan besar, maka Jokowi meminta masukan dari seluruh pihak yang bersangkutan.

"Jadi, memang ini yang diminta Presiden mengenai rencana pengembangan. Dan mengingat ini proyek jangka panjang maka beliau peroleh, meyakini segala masukan baru mengambil," imbuhnya.

Mantan Bos PT Pindad (Persero) ini menyatakan, untuk keputusan mengenai PoD harus diputuskan saat ini. Bahkan, keputusan tersebut sudah sangat terlambat saat ini. (Baca: Rizal Ramli Klaim Pemerintah Pilih Kilang Darat untuk Blok Masela)

"Dan saya kira kita tunggu wisdom (kebijakan) Pak Presiden dan keputusan 2018 baru terjadi kalau sekarang diputuskan PoD. Kalau tidak diputuskan maka tidak akan terjadi (2018)," tandas Sudirman.

Kisruh yang kerap terjadi antara dua menteri Kabinet Kerja, yaitu Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said, membuat Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut angkat bicara. "Solusi yang cess pleng (Blok Masela). Jangan pecah kongsi, harus solusi yang kompak di atas segalanya. Tidak memusingkan rakyat‎," katanya di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (3/3/2016).

Politisi Partai Demokrat ini memberikan catatan agar konsep yang diambil pemerintah untuk mencari solusi mengenai kedua masalah tersebut harus logis dan transparan. Solusinya tidak boleh disusupi kepentingan macam-macam, kecuali kepentingan negara dan ekonomi di masyarakat sekitar.

"Maka, kalau itu (tidak ada kepentingan) tidak akan ada masalah apapun. Tidak mudah mencari format offshore dan onshore serta perpanjangan Freeport. Tapi policy dengan arah dan kebijakan tanpa ada benturan kiri dan kanan. Kita berikan ruang luas," jelasnya.

Di pihak lain, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengakui ada kepentingan asing di Blok Masela, Maluku. Alasannya karena investor yang masuk memang dari asing, yakni perusahaan minyak asal Jepang, Inpex Corporation.

Kepala Unit Percepatan Proyek Abadi SKK Migas Ketut Budiarta membenarkan adanya kepentingan asing di blok tersebut. Namun, konteksnya dari sisi investasi. "Sebetulnya mungkin kepentingan asing ini perlu diklarifikasi ya, karena jelas-jelas memang investor ini pun investor asing. Jadi kalau memang mereka ada kepentingan ya pastilah, maksud saya konteksnya mereka investasi," ujarnya di Jakarta, Senin (29/2/2016).

Ketut menjelaskan, setiap perusahaan yang melakukan investasi di Tanah Air pasti mau mendapatkan keuntungan. Sama halnya dengan investor domestik. "Pastinya mau dapatkan profit. Enggak usah asing, nasional saja kalau masuk ke sana yang namanya investor, investasi, mau profit," katanya.

Menurut Budiarta, jika tidak mencari keuntungan lewat pengembangan Blok Masela maka perusahaan manapun tidak akan menanamkan investasinya. Lebih baik memilih lewat jasa keuangan yang lebih pasti. "Kalau enggak mau profit dari daerah tersebut, ngapain capek-capek investasi di daerah tersebut. Taruh saja di bank tinggal tidur, aman," tuturnya.

Di sisi lain, SKK Migas terus mengawasi setiap gerak yang dilakukan Inpex. Pengawasannya terdiri atas tiga tahap, yakni melakukan pre audit, current audit dan post audit. "Sebelum dia lakukan sesuatu akan ada pre audit dia, aman lakukan apa enggak teknisnya, biayanya layak enggak. Kemudian current audit, benar enggak dilakukan sesuai rencana? Setelah proyek jadi kita lakukan lagi post audit, tiga tahapannya dilakukan SKK Migas," pungkasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7209 seconds (0.1#10.140)