Business First, Bukan Family First

Senin, 16 Mei 2016 - 06:01 WIB
Business First, Bukan Family First
Business First, Bukan Family First
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner,
Inventure www.yuswohady.com
@yuswohady


CERITA ini saya dapat dari Christian Ariano Rachmat, pemimpin generasi kedua Grup Triputra yang didirikan oleh ikon CEO Indonesia, TP Rachmat.

Beberapa waktu lalu saya ketemu dan ngobrol dengan Ario, begitu ia biasa dipanggil, dalam rangka riset untuk penulisan buku saya terbaru The Second Generation Challenges (Gramedia, 2016) mengenai kiprah pemimpin generasi kedua perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia. Buku ini rencananya diluncurkan tanggal 19 Mei 2016 dalam event tahunan Indonesia Brand Forum (IBF) di Hotel Indonesia Kempinski.

Kebetulan IBF tahun ini mengambil tema Branding Family Business: ”Lestari dari Generasi ke Generasi ”. Event untuk menyongsong Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei ini berupaya mengingatkan kepada kita semua bahwa perusahaan keluarga merupakan aset bangsa yang strategis untuk menopang competitive advantage of nation Indonesia.

Business First

Ceritanya berawal dari pertanyaan seorang konsultan manajemen kepada Pak Teddy (begitu TP Rachmat sering dipanggil) menyangkut profesionalisme di dalam sebuah perusahaan keluarga. Pertanyaannya: ”Family first or business first?” Maksudnya, Pak Teddy disuruh memilih mana yang lebih penting keluarga atau bisnis? Pak Teddy kontan menjawab, ”Business first .”

Dalam hal mengelola perusahaan keluarga, menurut Pak Teddy, bisnis lebih penting daripada keluarga. Mendengar jawaban itu Ario dan adiknya, Arif Patrick Rachmat, terkesiap. Mereka pun kemudian mempertanyakan maknanya. Jangan-jangan ayah mereka lebih menyayangi bisnis daripada anak-anak. Usut punya usut, ternyata terjemahannya berbeda 180 derajat.

Dalam pandangan Teddy, bisnis layaknya sebatang pohon. Buahnya akan dinikmati keluarga sehingga keluarga boleh memetik, tetapi dilarang keras menebas pohon ataupun memotong akarnya. Karena perusahaan keluarga merupakan harta karun tak ternilai harganya, maka ia harus dijaga sebaik mungkin agar tumbuh. Bahkan kalau perlu mengesampingkan ego dan kepentingan sesaat segenap anggota keluarga. Seperti itulah makna jawaban business first dari Pak Teddy.

Terhenyak


Seperti halnya Ario dan Arif, terus-terang saya terhenyak mendengar jawaban Pak Teddy tersebut. Ya, karena selama ini saya berpikir bahwa di dalam sebuah perusahaan keluarga kepentingan keluarga adalah nomor satu di atas kepentingan apa pun. Bagi Pak Teddy, perusahaan keluarga adalah aset bangsa, tak hanya sebatas aset keluarga, yang harus dijaga pertumbuhan dan kesinambungannya agar bisa membawa kemanfaatan kepada keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Karena itu make sense kalau ia harus dijaga dan dilestarikan dengan mengutamakan kepentingan- kepentingan yang lebih luas daripada sekadar kepentingan keluarga. Pendapat Pak Teddy ini demikian relevan ketika kita melihat kenyataan banyak perusahaan keluarga yang layu sebelum berkembang karena perseteruan di antara anggota keluarga yang memperebutkannya.

Mereka berpikir bahwa perusahaan keluarga adalah ladang ”bancakan” yang bisa mereka eksploitasi seenaknya tanpa pernah berpikir untuk mengembangkan dan melestarikannya. Kalau sudah demikian, fokus perhatian mereka adalah bagaimana sebesar mungkin ”memanen”, bukannya bagaimana ”menumbuhkan”. Dan slogan yang menggema adalah ”keluarga sebagai panglima”, bukannya ”bisnis sebagai panglima”. Artinya, perusahaan keluarga menjadi ajang adu kuat kepentingan antar kubu-kubu anggota keluarga untuk bisa mengambil manfaatnya.

Bahu-membahu

Pernyataan Pak Teddy mengingatkan kepada kita bahwa perusahaan keluarga adalah aset yang tak ternilai harganya, karena itu harus dirawat dan menghasilkan ”buah” untuk seluruh keluarga. Setiap anggota keluarga, baik yang duduk di manajemen maupun tidak, harus mengesampingkan ego dan kepentingannya demi kesinambungan.

Ibarat pohon, seluruh anggota keluarga harus bahu-membahu menumbuhkannya: menyiram, memberi pupuk, merawat, dan membesarkannya. Mereka boleh mengambil buahnya, tetapi tak boleh berlebihan. Mereka boleh memanen, tapi jangan sampai mencabut akarnya. Karena kalau itu terjadi, pohon akan pupus dan aset tak ternilai itu akan punah selamanya. Ingat, business first, bukan family first!
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5986 seconds (0.1#10.140)