Mukidi Efek

Minggu, 28 Agustus 2016 - 22:02 WIB
Mukidi Efek
Mukidi Efek
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner,
Inventure www.yuswohady.com
@yuswohady

SEMINGGU ini jagat online dihebohkan oleh viral sosok dan cerita humor Mukidi. Berawal dari blog, lalu Facebook, menemukan critical mass di grup-grup WA, akhirnya “booom!” mencapai mass audience di media mainstream seperti koran-koran, TV, dan tentu situs berita online.

Seperti halnya fenomena viral yang sudah-sudah (Gangnam Style, Mastin, dan terakhir Pokemon Go), dalam ukuran jam jutaan audiens tersedot perhatiannya. Kehebohan viral Mukidi bisa dijelaskan dengan tiga elemen kunci pencipta word of mouth (WOM), yaitu story, content, media.

Story: The Power of (Down-to-Earth) Persona

Kenapa Mukidi demikian ampuh menjangkau seluruh lapisan netizen mulai dari presiden, wakil rakyat, pengusaha, pegawai kantoran, mahasiswa, ibu rumah tangga, tukang parkir hingga tukang becak? Karena sosok fiktif Mukidi adalah potret dari kebanyakan kita. Ia adalah potret wong cilik dan siapa pun yang pernah merasa menjadi wong cilik.

Mukidi adalah sosok biasa dengan keluguannya, kekonyolannya, keusilannya, ke-ndeso-annya, kebebalannya, keterlaluannya, yang sesekali bloon, tapi tiba-tiba bisa begitu cerdas. Tak ada yang dibuat-buat dari sosok ini. Ia sosok yang apa adanya, natural, otentik, orisinal.

Salah satu faktor kunci kesuksesan viral Mukidi adalah keotentikan tokoh ini. Kita sudah capai dengan sosok-sosok hebat macam Jokowi, Habibie, Ridwan Kamil, Nelson Mandela, Steve Jobs, atau Mark Zuckerberg. Kenapa capai? Ya, karena kita hanya bisa mengagumi dan menyanjung mereka, tak lebih dari itu.

Kita hanya bisa berangan- angan untuk menjadi seperti mereka tanpa pernah bisa mewujudkannya. Itu berbeda dengan sosok Mukidi. Tanpa upaya keras dan memaksakan diri, kita sudah bisa menjadi Mukidi. Ya, karena Mukidi adalah kita. Ia hadir di setiap hati dari kebanyakan kita.

Tanpa sadar kita merindukan sosok “biasa-biasa saja” macam Mukidi. Mukidi jauh dari sosok sempurna. Karena itu kita bisa semena-mena memperoloknya, mem-bully-nya, dan menertawakannya, persis seperti ketika kita menertawakan diri sendiri. Saya kira banyak dari kita iri kepada sosok Mukidi karena ia begitu percaya diri untuk tetap menjadi diri sendiri walaupun dia lugu, ndeso, bloon sekaligus cerdas, nyebelin, njengkelin, banyak apes-nya, dan sarat dengan beribu kekurangan.

Di tengah ketidaksempurnaannya, Mukidi tetap bersahaja, tak sudi memakai topeng dan tak merasa perlu menjadi orang lain. Kita iri kepada Mukidi karena dengan alasan gengsi, ego, dan harga diri, sering kali kita tak mampu menjadi diri kita sendiri. Mukidi adalah sosok yang down to- earth. Itulah sebabnya ia bisa mencuri perhatian jutaan manusia dari semua lapisan masyarakat dalam ukuran jam bahkan menit.

Content: Humor is (Always) Viralable

Di samping kehadiran sosok down to- earth dan orisinal, viral Mukidi juga terwujud karena konten humor khas Indonesia yang menyegarkan urat-urat saraf. Siapa yang nggak suka humor? Siapa pun kita pasti menyukai humor. Meme begitu merajalela di jagat online Indonesia karena adanya humor. Praktis 99% konten meme di Indonesia berisi konten humor.

Persoalan seserius apa pun (Pilkada DKI, Jokowi salah pilih menteri, atau heboh vaksin palsu) menjadi begitu renyah, konyol, dan lucu minta ampun di tangan para meme kreator. Humor is the most viralable content. Karena itu, jika Anda ingin pesan-pesan Anda mencapai viral, bumbuilah pesan-pesan tersebut dengan humor.

Humor Mukidi tak sekadar humor biasa, tapi humor yang relevan. Humor yang khas Indonesia. Kenapa lawakan Srimulat demikian ampuh dan melegenda, karena format lawakannya relevan dan khas Indonesia dengan mengombinasikan dagelan Mataraman dan ludruk Suroboyoan.

Seperti halnya guyonan Srimulat, cerita humor Mukidi mengambil tema dan tokoh yang berpusar pada keseharian kita. Guyonan wong cilik. Style -nya bisa Suroboyoan, Meduroan, Banyumasan, dagelan Mataraman, atau bahkan guyonan khas Gus Dur.

Media: Grup WA Penggoreng Viral

Di samping story dan konten, viral Mukidi juga dipicu media penggoreng viral luar biasa bernama grup Whatsapp (WA). Cerita humor Mukidi sudah hadir sejak 2012 di blog ceritamukidi.wordpress.com dan di akun Facebook milik Soetantyo Moechlas. Namun selama 4 tahun cerita-cerita itu tak kunjung memviral sampai beberapa hari lalu ketika entah dari mana asalnya cerita-cerita lucu itu masuk ke grup WA.

Melalui medium grup WA cerita Mukidi memviral begitu hebat. Artinya, di medium grup WA-lah critical mass viral Mukidi terbentuk. Perlu diingat, dalam setiap fenomena viral, faktor paling kunci adalah pembentukan critical mass ini. Celakanya, hingga saat ini tak ada satu pun teori yang bisa menerangkan bagaimana critical mass ini terbentuk.

Penyebabnya adalah adanya momentum yang mempertemukan beberapa faktor yang tak kuasa kita atur dan kendalikan. Tak mengherankan jika Pak Soesantyo sendiri tak paham, bagaimana cerita-cerita lucunya menjadi viral. Semakin critical mass ini diatur dan direncanakan, umumnya viral yang terbentuk menjadi tak seheboh yang diharapkan.

Blog umumnya memiliki audiens yang terbatas dan terbuka, artinya siapa pun bisa mengunjunginya dan berkomentar. Facebook, Twitter, atau Instagram memiliki massa audiens yang jauh lebih besar, tapi sekali lagi sifatnya terbuka sehingga hubungan, kedekatan, dan connection di antara audiens ini kurang intens.

Singkatnya, hubungan audiens di dalam keempat platform komunitas terbuka (open community) ini lebih cair. Hal ini berbeda dengan komunitas tertutup (closed community) seperti grup WA. Grup WA berisi anggota yang lebih sedikit, tetapi memiliki intensitas hubungan yang sangat dekat dan kuat.

Apalagi anggota di dalam grupgrup WA ini umumnya memiliki common interest yang kuat dan dipupuk setiap saat melalui chit-chat di antara mereka sehari-hari. Intensitas hubungan yang kuat di dalam grup WA inilah yang memungkinkan sebuah konten seperti cerita lucu Mukidi bisa demikian intens diperbincangkan dan dibahas.

Dan ketika cukup menghebohkan, konten tersebut begitu mudah di-forward dari satu grup WA ke grup WA lainnya. Kalau ini terjadi, tak terhindarkan lagi critical mass akan terwujud. Begitu critical mass terbentuk, media mainstream buru-buru memberitakan nya dan boom, ledakan dahsyat viral pun akan terjadi. Dengan kejadian viral Mukidi, saya semakin meyakini bahwa grup WA merupakan medium inkubator viral yang paling ampuh daripada medium online apa pun.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4357 seconds (0.1#10.140)