Menangkap Emisi Karbon, Penerapan CCUS Dinilai Mahal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memasukkan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Sebelum ini pun, ESDM mendorong memasukkan proyek pembangkit gas fosil sebagai upaya menggantikan pembangkit diesel (PLTD) yang diklaim efektif untuk menurunkan emisi .
Rencana pemerintah menggunakan CCUS dalam upaya menurunkan emisi, dinilai tidaklah tepat dan malah menghambat Indonesia mencapai target dekarbonisasi . Pasalnya, teknologi ini terlalu mahal dan tidak terbukti efektif untuk menjadi solusi dekarbonisasi.
Ia bisa menjadi praktik “greenwashing” perusahaan energi dan rawan mengalihkan dana transisi energi, seperti JETP dari solusi yang lebih terbukti. Laporan IEEFA menyatakan, bahwa penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah, untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar/ton.
Karena itu adopsinya di dunia internasional lamban, dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah (lihat catatan).
“Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak mendorong proyek CCUS, apalagi jika menggunakan pendanaan JETP, hal ini hanya akan menghasilkan kerugian ekonomi dan kegagalan dalam menangkap emisi karbon," ujar Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri.
Dana JETP diperoleh dari negara anggota International Partners Group (IPG) yang berkomitmen memberikan USD20 miliar dolar untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia.
Sayangnya dalam perhelatan KTT G7 beberapa waktu lalu, Jepang selaku anggota IPG dan tuan rumah KTT malah mendorong Green Transformation (GX) Policy yang memuat perluasan penggunaan LNG, PLTU batubara dengan co-firing ammonia, hydrogen, hingga CCS.
Sebelum ini pun, ESDM mendorong memasukkan proyek pembangkit gas fosil sebagai upaya menggantikan pembangkit diesel (PLTD) yang diklaim efektif untuk menurunkan emisi .
Rencana pemerintah menggunakan CCUS dalam upaya menurunkan emisi, dinilai tidaklah tepat dan malah menghambat Indonesia mencapai target dekarbonisasi . Pasalnya, teknologi ini terlalu mahal dan tidak terbukti efektif untuk menjadi solusi dekarbonisasi.
Ia bisa menjadi praktik “greenwashing” perusahaan energi dan rawan mengalihkan dana transisi energi, seperti JETP dari solusi yang lebih terbukti. Laporan IEEFA menyatakan, bahwa penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah, untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar/ton.
Baca Juga
Karena itu adopsinya di dunia internasional lamban, dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah (lihat catatan).
“Ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak mendorong proyek CCUS, apalagi jika menggunakan pendanaan JETP, hal ini hanya akan menghasilkan kerugian ekonomi dan kegagalan dalam menangkap emisi karbon," ujar Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri.
Dana JETP diperoleh dari negara anggota International Partners Group (IPG) yang berkomitmen memberikan USD20 miliar dolar untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia.
Sayangnya dalam perhelatan KTT G7 beberapa waktu lalu, Jepang selaku anggota IPG dan tuan rumah KTT malah mendorong Green Transformation (GX) Policy yang memuat perluasan penggunaan LNG, PLTU batubara dengan co-firing ammonia, hydrogen, hingga CCS.