Dua Tahun Jokowi-JK, Stabilitas Harga Pangan Sebatas Angan-angan

Rabu, 19 Oktober 2016 - 19:50 WIB
Dua Tahun Jokowi-JK, Stabilitas Harga Pangan Sebatas Angan-angan
Dua Tahun Jokowi-JK, Stabilitas Harga Pangan Sebatas Angan-angan
A A A
PEMERINTAHAN Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) genap berusia dua tahun pada pekan ini. Sepanjang perjalanannya, banyak masalah yang belum berhasil diselesaikan, salah satu yang mencuat: harga pangan. Indikatornya terlihat dari masih mahalnya harga daging sapi dan sembilan bahan pokok (sembako) di pasaran.

Seperti yang terjadi di sejumlah pasar tradisional di Banyuwangi, Jawa Timur. Pantauan MNC Media, beberapa pedagang sapi mengeluh lantaran harga daging sapi masih betah di zona nyamannya, yaitu Rp120.000 per kilogram. Kejadian ini sudah berlangsung sebulan terakhir. Bahkan di beberapa daerah, harganya ada yang lebih dari itu.

Zaini, salah seorang pedagang sapi berujar mahalnya harga daging sapi akibat stok sapi di Banyuwangi, semakin hari terus berkurang. Ia pun mengaku tidak tahu penyebab berkurangnya sapi di pasaran. “Kami hanya bisa berharap pemerintah segera turun tangan menanggulangi kondisi ini. Sehingga harga daging sapi bisa turun, biar omzet pedagang tidak tergerus,” lirihnya kepada MNC Media, Rabu (19/10/2016).

Sejatinya pemerintah sudah melakukan sejumlah “mantera” demi menekan gejolak harga daging sapi. Mulai dari membuka impor daging sapi beku pada swasta dan BUMN, operasi pasar, sampai dengan mendatangkan 100.000 ton daging kerbau dari India. Pemerintah juga berencana mendatangkan 700.000 sapi bakalan hingga akhir 2017. (Baca: Operasi Pasar di Daerah Ini Malah Melejitkan Harga)

Belum lama ini, pemerintah pun menggelar Rapat Koordinasi Stabilisasi Harga dan Ketersediaan Pangan. Dalam rapat yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah berikhtiar menstabilkan harga pangan. “Kita menargetkan impor daging hingga 100.000 ton, sebanyak 70.000 ton hingga akhir Desember 2016. Ini untuk menekan harga yang masih tinggi dan menyiapkan kebutuhan selama Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2017,” ujar Darmin pada medio September kemarin.

Dua Tahun Jokowi JK Harga Pangan Masih Mahal

Sembari melakukan persiapan, pemerintah mengakui sepanjang dua tahun ini, harga pangan masih belum sesuai harapan masyarakat dan Nawa Cita Jokowi-JK. Stabilitas harga pangan masih di angan-angan. “Hingga saat ini, kami belum mampu mewujudkan cita-cita Jokowi untuk menjaga stabilitas harga pangan,” ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (19/10/2016).

Politikus NasDem itu menambahkan, bahwa Jokowi selalu mewanti-wanti para pembantunya agar terus mengawasi harga pangan di pasaran. “Beliau (Jokowi) menegur kami terus, semua para menteri untuk mengawasi harga pangan supaya tidak terjadi gejolak,” sambungnya.

Adapun untuk kebutuhan pokok lainnya, Enggar mengklaim saat ini harga relatif stabil, yaitu harga bawang merah dan beras.

Nah, terkait stabilitas harga pangan, Ridwan Rais Nomor 5--kantor Kementerian Perdagangan--telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 63 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

Dalam beleid tersebut, harga daging sapi segar dipatok antara Rp50.000 sampai Rp105.000 per kilogram, tergantung jenis bagian dagingnya. Namun Kemendag menyatakan hal itu tidak bisa dilakukan secara instan. Harga daging sapi sampai saat ini masih bertengger di atas harga acuan yang ditetapkan pemerintah, seperti yang terjadi di pasar tradisional di Banyuwangi.

Memakan Menteri Perdagangan
Enggar pun bercerita tentang upaya menstabilkan harga daging sapi. Menurut pria kelahiran Cirebon, 12 Oktober 1951 ini, upaya menstabilkan harga daging sapi itu the long and winding road (panjang dan penuh liku). Sapi diimpor dari Australia ke Indonesia, kemudian digemukkan selama empat bulan, baru dipotong. “Kan ini baru kemarin (impor), penggemukannya saja empat bulan. Jadi persediaan pasokan, serap seluruh produksi dalam negeri, harga turun dan stabil. Tiga hal itu yang akan dilakukan,” ujarnya.

Dua Tahun Jokowi JK Harga Pangan Masih Mahal

Ketiga hal di atas terdengar ciamik. Yang jelas, pemerintah dan terutama Kementerian Perdagangan harus mengimplentasikan stabilitas harga pangan dengan segera. Kemendag harus menyingkirkan ego sektoralnya dan bekerja sama dengan kompatriotnya, Kementerian Pertanian dalam menstabilkan harga pangan.

Bukan cerita baru bahwa keduanya terlalu mementingkan ego sehingga tidak bisa bekerja sama dengan baik. Hal ini bahkan diakui oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Trikasih Lembong. Sesaat sebelum di-reshuffle, Tom Lembong mengakui sikapnya yang sering tidak sependapat dengan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Sehingga menyebabkan pemerintah terlambat menyikapi gejolak harga pangan. (Baca: Mendag Akui Telat Antisipasi Gejolak Harga Daging Sapi)

“Pokoknya saya sudah mengakui dalam hal ini pemerintah telat dalam langkah persiapan, khususnya daging sapi. Itu seharusnya waktunya panjang, enggak bisa dadakan. Pemerintah telat,” kata Tom Lembong saat berbincang dengan media pada Kamis (16/6/2016).

Presiden Jokowi, kata dia, juga telah mengultimatum agar melaksanakan persiapan sejak jauh hari terkait persoalan pangan. Bahkan Presiden Jokowi telah meminta para menteri agar harga daging sapi di Indonesia bisa seperti negeri jiran: Malaysia dan Singapura. Di kedua negara tetangga, harga daging sapi berkirar Rp70.000-Rp80.000 per kilogram, baik di pasar modern maupun tradisional.

“Memang harga daging di Malaysia itu Rp70.000 per kg. Jadi memang muncul pertanyaan, Kalau Malaysia dan Singapura bisa, kenapa kita enggak?,” ujar Kepala Negara di Kawasan Senayan, Jakarta, Sabtu (18/6/2016). Sayangnya, tinggi ego sektoral, diakui Tom Lembong, membuatnya abai dan tidak melaksanakan perintah Presiden. (Baca: Alasan Jokowi Keukeuh Minta Harga Daging Sapi Rp80 Ribu/Kg)

Lembong pun digeser saat reshuffle Kabinet Kerja jilid II pada 27 Juli 2016 lalu. Jabatan menteri perdagangan pun menjadi kursi panas dan korban dari gejolak harga kebutuhan pokok warga. Sebelum Lembong, Menteri Perdagangan ke-33, Rachmat Gobel terpaksa harus keluar dari kabinet pada 12 Agustus 2015.

Dua Tahun Jokowi JK Harga Pangan Masih Mahal

Santer kabar beredar, Gobel diganti juga gara-gara daging. Selain ketidakberesan mengenai harga daging, pengamat politik Tjipta Lesmana saat itu mengatakan Kemendag mendapat banyak sorotan soal melonjaknya harga beras. Publik pun sempat geger saat Polri menggeledah Direktorat Jenderal Perdangangan Luar Negeri Kemendag terkait kasus korupsi dwelling time atau bongkar muat.

Nawa Cita Nomor Enam
Kita tentu tidak ingin menyelesaikan gejolak pangan dengan sebatas bongkar pasang menteri alias reshuffle. Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Soetrisno Bachir pernah menyarankan Presiden Jokowi untuk meniru sistem yang pernah dilakukan Orde Baru untuk menstabilkan harga pangan.

Bekas bos besar Partai Amanat Nasional itu, mengungkapkan pemerintah sedianya perlu mempertimbangkan untuk mengoptimalkan peran Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan memberikan kewenangan menstabilkan harga bahan kebutuhan pokok. Namun, kewenangan tersebut tetap dalam pengawasan pemerintah.

"‎Misal Bulog itu diberikan tugas khusus menstabilkan harga, seperti zaman dulu. Itu kan suskes, seperti zaman Orde Baru," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (7/6/2016). Menurutnya, dengan memperkuat peran Bulog maka mata rantai distribusi pangan bisa dikurangi. Dengan begitu, harga di level pedagang pun perlahan bisa diturunkan. (Baca: Harga Pangan Naik, Jokowi Diminta Tiru Sistem Orde Baru)

Pasalnya selama dua tahun ini, harga daging sapi jauh untuk dijangkau isi dompet kebanyakan masyarakat Indonesia. Hal ini berdampak kepada rendahnya angka konsumsi daging di Indonesia. Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya, Sarman Simanjorang mengungkapkan bahwa konsumsi daging sapi di Indonesia masih terbilang rendah, hanya 2,61 kg per kapita per tahun. Kita kalah jauh dengan negara tetangga, misalnya Singapura yang tidak punya peternakan sapi. Konsumsi daging sapi di Negeri Singa Merlion itu mencapai 15 kg per kapita per tahun. Filipina mencapai 7 kg per kapita per tahun.

Sementara itu protein lainnya seperti daging ayam, konsumsinya juga sami mawon. Presiden Direktur PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), Tjiu Thomas Effendy menyebut tingkat konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia masih minim dibandingkan negara tetangga Malaysia. "Tingkat konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia masih minim jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia," ujar Thomas di Jakarta, Rabu (15/6/2016).

Konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia baru mencapai 9 kg per kapita per tahun. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 36 kg per kapita per tahun. Padahal daging sapi dan kebutuhan pokok lainnya merupakan asupan gizi penting untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Kualitas hidup tentu akan meningkatkan produktivitas rakyat.

Sebagaimana dalam janji Nawa Cita Jokowi-JK nomor enam: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5683 seconds (0.1#10.140)