Iran-Irak Berselisih dengan Saudi Jelang Pertemuan OPEC

Selasa, 29 November 2016 - 19:32 WIB
Iran-Irak Berselisih dengan Saudi Jelang Pertemuan OPEC
Iran-Irak Berselisih dengan Saudi Jelang Pertemuan OPEC
A A A
WINA - Iran dan Irak menolak tekanan dari Arab Saudi untuk mengurangi produksi minyak, sehingga menyulitkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mencapai kesepakatan global membatasi produksi minyak menjelang sidang OPEC ke-171 di Wina, Austria.

Melansir Reuters, Selasa (29/11/2016), sumber OPEC membisikkan bahwa pertemuan para ahli di Wina, pada Senin kemarin, gagal menjembatani perbedaan antara OPEC yang dikomandani Arab Saudi dengan Iran dan Irak dalam membatasi produksi.

Iran bersikeras tetap mempertahankan produksi minyaknya demi pembangunan ekonomi negaranya. “Kebangkitan Iran di pasar minyak adalah kehendak dan tuntutan rakyat Iran,” ujar Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh, seperti diberitakan kantor berita Iran Shana, Selasa (29/11).

OPEC yang menyumbang sepertiga dari produksi minyak dunia, setuju pada September lalu untuk membatasi produksi sekitar 32,5 juta hingga 33 juta barel per hari, demi menopang kembali harga si emas hitam yang sejak pertengahan 2014 mengalami kemunduran.

Sementara itu, Iran bersikukuh mempertahankan produksi, bahkan berniat meningkatkan produksi untuk mendapatkan kembali pangsa pasar yang hilang, setelah penerapan sanksi nuklir oleh Barat. Ketika Iran disanksi, rival politiknya Arab Saudi sedang meningkatkan produksi.

Beberapa pekan terakhir, Riyadh memangkas produksi sendiri sebesar 0,5 juta barel per hari. Dan Saudi menyarankan batas produksi Iran di bawah 4 juta barel per hari. Namun Teheran membalas permintaan Saudi dengan ingin memproduksi 4,2 juta barel per hari.

Jika Iran menolak pembatasan produksi demi memperoleh kembali pangsa pasar mereka yang hilang, lain lagi dengan Irak. Irak menyatakan memproduksi minyak lebih tinggi guna memperoleh banyak uang untuk melawan kelompok militan ISIS.

Irak dan Arab Saudi pun berargumen soal pembatasan produksi, apakah akan mengacu kepada aturan Baghdad alias aturan sendiri dalam membatasi produksi atau mengandalkan angka yang lebih rendah sebagaimana kajian para ahli OPEC. Menteri Energi Kerajaan Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa pasar minyak tetap akan melakukan keseimbangan tanpa pakta pembatasan.

Jika tidak ada titik temu kesepakatan, para analis termasuk dari Morgan Stanley dan Macquarie mengatakan harga minyak akan kembali melorot dan berpotensi serendah USD35 per barel.

Goldman Sachs, salah satu bank yang giat dalam perdagangan minyak, mengatakan kepada Reuters pada Selasa (29/11) bahwa harga minyak sampai pertengahan 2017 akan mencapai rata-rata USD45 per barel, meski tanpa kesepakatan OPEC. Dan harga kemungkinan akan pindah menjadi defisit pada paruh kedua 2017.

Setahun yang lalu, Goldman sudah mengkalkulasi bahwa kekenyangan global (produksi minyak yang berlebihan) telah mendorong harga si emas hitam jatuh ke sekitar USD20 per barel. Harga pun sempat jatuh ke posisi terendah yaitu USD27 per barel pada Januari 2016.

Selain perbedaan pendapat dengan Iran dan Irak, Arab Saudi juga berbeda pendapat dengan negara produsen minyak non-OPEC, Rusia. Dua anggota negara OPEC, Aljazair dan Venezuela bahkan harus melakukan lobi ke Moskow, sebelum Sidang OPEC ke-171 di Wina, untuk membujuk Rusia ikut bagian dalam pemotongan produksi bukan sekadar pembekuan produksi.

Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan pihaknya tidak memiliki rencana untuk hadir dalam Sidang OPEC ke-171 di Wina, namun pihaknya mengatakan bisa memenuhi permintaan OPEC jika organisasi itu bisa meminggirkan perbedaan dan mencapai kesepakatan bulat.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5209 seconds (0.1#10.140)