Generasi Pencipta

Minggu, 22 Januari 2017 - 13:12 WIB
Generasi Pencipta
Generasi Pencipta
A A A
Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady

SABTU (21/1) saya menggelar kelas perdana Creator School, sebuah sekolah yang saya dirikan untuk membentuk Generasi Pencipta Indonesia. Nama programnya Creator Generation Development Program (CGDP).

Melalui program ini anak didik (SMP dan SMA, usia 12-17) ditempa selama 12 minggu untuk menyelesaikan project menciptakan produk/servis (mulai dari menemukan ide dan konsep produk, menyusun konsep bisnis, membangun prototipe, memproduksi secara terbatas) dan kemudian memasarkannya secara online.

Project mereka juga bisa berwujud social movement atau social entrepreneurship. Kenapa anak-anak SMP dan SMA? Karena, kalau sudah lulus kuliah (apalagi sudah bekerja), umumnya curiosity, daya imajinasi, kemauan mencoba dan bereksperimen, passion untuk berkreasi, keberanian berpikir beda dan mengambil risiko sudah mulai tumpul dan pudar.

Membangun karakter creator/entrepreneur haruslah dilakukan sedini mungkin sejak SMP/SMA, bahkan TK/SD. Karena masa inilah justru "the golden age" untuk membentuk creator/entrepreneur.

Generasi Penghafal

Anyway, apa itu Generasi Pencipta? Untuk menjawab itu, ada baiknya terlebih dahulu saya gambarkan apa yang saya sebut Generasi Penghafal sebagai kebalikan dari Generasi Pencipta. Generasi Penghafal adalah generasi yang piawai dalam menghafal.

Kenapa? Karena, di sekolah sejak TK hingga SMA, mereka digembleng untuk menjadi penghafal-penghafal hebat. Mereka ditempa untuk piawai menyelesaikan soal-soal multiple choice atau soal-soal hafalan.

Mereka hanya menjadi "objek penderita" dalam proses pembelajaran yang pasif mengonsumsi pengetahuan dari si guru. Sejak kecil pendidikan yang mereka jalani secara sistematis membonsai keliaran imajinasi, kreativitas, dan daya cipta.

Karena terbiasa menyelesaikan soal multiple choice, mereka vakum dari persoalan-persoalan riil lingkungannya dan gagap ketika harus menyelesaikan persoalan-persoalan itu.

Mereka dikompetisikan satu sama lain melalui mekanisme seperti ujian nasional (UN) dengan menggunakan ukuran-ukuran standar yang belum tentu nyambung dengan potensi dan passion mereka.

Melalui kompetisi ini, potensi dan prestasi mereka disamaratakan. Di-gebyah uyah, semua anak sama, karena itu diperlakukan dan dinilai secara sama. Mereka dikatakan hebat hanya jika IP-nya mendekati 4 atau angka rapornya mendekati 10.

Di luar itu, si anak dianggap bodoh, outliers, atau bahkan loser. Karena itu, jangan berharap anak-anak bertalenta nyleneh atau berpikiran out of the box mendapatkan tempat di sistem pendidikan yang membonsai potensi unik anak ini. Akhirnya, sistem ini menciptakan sosok-sosok pembebek yang defisit daya imajinasi, daya kreasi, dan passion untuk mengubah dunia.

Celakanya, orang-orang hebat umumnya bukanlah sosok pembebek, tapi sosok nyeleneh dan berpikiran out of the box. Sungguh memilukan ketika pendidikan ujung-ujungnya "dikebiri" hanya untuk mencapai nilai ujian atau IPK tinggi.

Itu sebabnya bisnis bimbingan tes tumbuh menjamur di seluruh pelosok negeri. Mereka berlomba-lomba menawarkan 1001 metode dan kiat menyelesaikan soal-soal hafalan/hitungan.

Empat Nilai


Nah, Generasi Pencipta kontras dengan Generasi Penghafal. Generasi Pencipta memiliki empat nilai-nilai yang saya sebut 4C: curiousity, critical thinking, collaboration, dan creating.

Beginilah anak Indonesia masa depan yang saya impikan. Mereka akan betul-betul menjadi sumber keunggulan bersaing Indonesia di kancah dunia.

Pertama, curiousity. Anak Indonesia harus memiliki daya imajinasi tanpa batas, rasa keingintahuan tak terhingga, dan kemauan luar biasa untuk mengeksplorasi ide-ide perubahan karena ini awal dari sebuah penciptaan.

Kedua, critical thinking. Anak Indonesia harus berpikir kritis dalam merespons setiap masalah yang ada di sekitarnya dan selalu berupaya menemukan solusi-solusi untuk menyelesaikannya. Ketiga, collaboration.

Anak Indonesia harus menghargai keberagaman, melihat setiap masalah dengan pendekatan multidisiplin, dan menyelesaikan masalah dengan kolaborasi dan kerja tim sehingga terwujud solusi komprehensif.

Keempat, creating. Anak Indonesia harus memiliki daya cipta, semangat membara untuk berinovasi, dan bernyali besar untuk mengubah dunia. Untuk menjadi negara besar, Indonesia harus melahirkan Generasi Pencipta yang akan menjadi tulang punggung keunggulan bangsa.

Generasi Pencipta tak bisa lahir dari sistem pendidikan yang mengedepankan tes multiple choice atau sekolah yang membelenggu daya imajinasi dan kreativitas anak. Generasi Pencipta hanya bisa lahir dari proses pembelajaran yang merangsang inovasi, kolaborasi multidisiplin, eksperimentasi, dan fokus pada pemecahan masalah riil yang ada di masyarakat.

Generasi Pencipta tumbuh dari metode pembelajaran yang merangsang proses penciptaan, bukan pasif mengonsumsi pengetahuan dari guru dengan tujuan akhir mendapatkan nilai rapor bagus. Karena itu, sekolah kita harus direvolusi.

Dari sekolah yang membentuk sosok penghafal menjadi sosok yang piawai berkreasi dan berdaya cipta; dari pembebek menjadi inovator; dari pasif mengonsumsi pengetahuan menjadi aktif menghasilkan solusi; dari bermental kerdil menjadi berjiwa besar untuk mengubah dunia.

Dari latar belakang inilah Creator School lahir. Melalui sekolah ini, saya ingin menempa karakter 4C anak-anak Indonesia.

Dari sekolah ini, saya berharap bisa menyemai generasi anak Indonesia masa depan yang bisa mencipta karyakarya hebat (kalau bisa sekelas Steve Jobs, Mark Zuckerberg, atau Elon Musk, hehehe...). Merekalah Generasi Pencipta bangsa ini.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9665 seconds (0.1#10.140)