Tekan Harga Listrik EBT Dinilai Salah Sasaran

Jum'at, 27 Januari 2017 - 21:50 WIB
Tekan Harga Listrik EBT Dinilai Salah Sasaran
Tekan Harga Listrik EBT Dinilai Salah Sasaran
A A A
JAKARTA - Rencana pemerintah yang bakal menekan harga listrik energi baru terbarukan (EBT) dinilai salah sasaran. Pasalnya, porsi EBT dibandingkan sumber energi lain dalam pembangkit listrik sangatlah kecil.

“Kalau mau mengurangi subsidi, harusnya pada energi yang porsinya besar namun membuat PLN tidak efisien, seperti solar. Kalau EBT yang dikurangi, selain porsinya kecil, juga kontraproduktif,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (27/1/2017).

Dia menambahkan porsi EBT sampai saat ini, secara total hanya sekitar 14% terhadap keseluruhan energi pembangkit listrik. EBT yang dimaksud, yakni sudah termasuk tenaga angin, air, matahari, dan panas bumi. Terbanyak adalah air, yakni sekitar delapan persen. Sedangkan panas bumi sekitar empat persen, dan sisanya adalah EBT lain.

Itulah sebabnya, lanjut dia, pengurangan subsidi EBT secara maksimal pun tidak akan berdampak bagi keuangan negara. Namun sebaliknya, pengurangan subsidi sekecil apapun akan berdampak sangat siginifikan terhadap perkembangan EBT itu sendiri.

“Tujuan pemberian subsidi adalah untuk merangsang pertumbuhan EBT. Yang perlu dipahami, dalam kondisi subsidi saat ini saja perkembangan EBT lambat, apalagi kalau dikurangi. Jadi strategi seperti itu saya rasa harus dikonstruksikan ulang. Pemerintah jangan hanya berpikir jangka pendek, namun juga jangka panjang,” lanjutnya.

Sebaliknya, jika pemangkasan subsidi dilakukan terhadap solar, menurut Komaidi, dampak positifnya sangat luar biasa. Dicontohkan, dalam kondisi infrastruktur belum matang saja, harga jual listrik yang dihasilkan panas bumi adalah Rp1.200 per kWh. Harga itu, jauh lebih murah dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan pembangkit bertenaga solar, yang berada pada kisaran Rp3.400-4.000 per kWh.

“Jadi bisa dibayangkan, jika subsidi solar yang dipangkas dan dipakai untuk mendorong pertumbuhan EBT, maka akan terjadi penghematan luar biasa, baik bagi APBN maupun harga jual listrik,” paparnya.

Dalam konteks itu Komaidi mengingatkan, bahwa stigma EBT mahal adalah sama sekali keliru. EBT saat ini dianggap mahal, karena memang infrastruktur belum berkembang dan kapasitas produksi belum banyak. Cabang produksi apapun, jika dalam kondisi seperti EBT saat ini tentu akan mahal pada tahap awal. Untuk membuat mereka murah, imbuh menurutnya tentu harus ditumbuhkan terlebih dahulu.

Lebih lanjut dia menetangkan, stigma mahal yang diberikan pada EBT, adalah terkait dengan infrastruktur yang memang masih belum berkembang. Karena jangan lupa, untuk panas bumi misalnya, hampir semua sumber terdapat di daerah gunung. Untuk itu, pemerintah hendaknya tidak menjadikan berbagai negara, termasuk Uni Emirat Arab, yang sebagian besar medannya adalah gurun pasir sebagai contoh. Karena, tentu saja tingkat kesulitan pembangunan infrastruktur lebih rendah dibandingkan gunung.

Rencana menekan harga listrik dengan mengurangi subsidi EBT, terungkap pada Sidang ke-20 Dewan Energi Nasional (DEN). Seperti disampaikan anggota DEN Tumiran, pemerintah akan mengeluarkan aturan baru soal harga EBT di setiap daerah. Tarif EBT, dipatok tak boleh lebih dari 85% Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4991 seconds (0.1#10.140)