Revisi UU Perbankan Harus Dukung Pertumbuhan UMKM

Senin, 06 Februari 2017 - 19:05 WIB
Revisi UU Perbankan Harus Dukung Pertumbuhan UMKM
Revisi UU Perbankan Harus Dukung Pertumbuhan UMKM
A A A
JAKARTA - Revisi UU Perbankan dan Bank Sentral mendesak untuk segera dilakukan secepatnya demi kesejahteraan bangsa. UU yang baru nantinya harus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor UMKM.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, ada banyak poin yang harus dimasukkan dalam revisi UU Perbankan dan UU Bank Sentral. Salah satunya, meningkatkan pembiayaan ke sektor UMKM.

Sektor ini menjadi penggerak produksi barang yang utama dalam rantai perekonomian nasional. Sementara, sistem perbankan Indonesia belum menyalurkan 20% kredit ke UMKM atau hanya 19,7% bahkan cenderung menurun.

"UU yang baru harus mengatur batasan minimal penyaluran kredit ke sektor riil, khususnya UMKM. Sekarang terjadi penurunan porsi pembiayaan UMKM dari 19,7% menjadi 19,3% sesuai data terakhir. Perbankan justru lebih banyak menyalurkan kredit UMKM untuk sektor perdagangan," ujar dia dalam diskusi di Jakarta, Senin (6/2/2017).

Dia memaparkan, RUU Perbankan harus mengandung fungsi BI dan perbankan sebagai agen pembangunan, sehingga harus dibangun beberapa prinsip. Di antaranya penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses kredit UMKM, prinsip inklusi keuangan secara konkret, pemerataan akses kredit daerah, pembentukan modal domestik, asas resiprokalitas, dan lainnya.

Hingga kini, RUU Perbankan masih belum menunjukkan progres signifikan. Meski sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). "Prolegnas doang tapi pembahasan masa sidang belum. Sepertinya enggak niat juga. RUU akan selesai kalau memang sudah mulai dibahas," tambah Enny.

Menurutnya, Undang-Undang (UU) Perbankan 1992 perlu segera direvisi. Hal ini karena pascakrisis 1997-1998 ada beberapa perubahan secara mendasar. Menurutnya, tujuan berekonomi adalah untuk menyejahterakan masyarakat.

Maka, secara struktur perumusan UU harus berhubungan dengan tujuan tersebut. "Perbankan pascakrisis 1997-1998 seolah memang relatif terjaga dan stabil walaupun tanda kutip. Stabil tapi dalam fragile rentan sekali. Walaupun kesehatan perbankan dianggap cukup aman," ujarnya.

Dia menambahkan, pertumbuhan ekonomi sampai hari ini memang menembus 5% dan cukup tinggi dibanding negara-negara emerging market. Hanya saja pertumbuhan tersebut tidak berkualitas karena terdominasi di sektor tertentu, sehingga ada kesenjangan luar biasa.

Enny mengatakan, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral merupakan jantung kehidupan. Sedangkan sistem perbankan seperti aliran darah dalam tubuh manusia. "Harus ada penguatan fungsi intermediasi dari perbankan tadi. Maka nanti rumusan dalam RUU (Revisi Undang-Undang) Perbankan harus kembali mengoptimalkan khusus perbankan," jelasnya.

Urgensi RUU Perbankan, kata Enny, tidak sekadar dilatarbelakangi terjadinya fragmentasi kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan ke OJK. Tidak pula disebabkan isu kepemilikan asing maupun konglomerasi pada industri perbankan.

Menurutnya, substansi lebih mendasar yaitu terkait fakta empiris. "Yang paling utama, norma apapun untuk memenuhi kebutuhan kita dan menjawab persoalan yang kita hadapi. Jadi basisnya terlebih dahulu adalah pemetaan persoalan," tutur dia.

Substansi yang lebih mendasar yaitu terkait fakta empiris bahwa penempatan kebijakan moneter yang hanya fokus menjaga stabilitas perekonomian ternyata tidak cukup mampu mendorong tercapainya kesejahteraan umum," ujarnya.

Kesejahteraan umum dapat dilihat melalui pencapaian pertumbuhan berkualitas, pemerataan atau mengurangi kesenjangan, kesempatan kerja, dan dukungan yang cukup bagi berkembangnya UMKM.

Dia menuturkan, revisi UU BI harus lebih menegaskan posisi independensinya secara eksplisit bahwa arah independensi BI adalah dari sisi instrumen. Sementara dari sisi tujuan, BI tidak bisa independen dari tujuan nasional.

"Dari sini, penyeimbangan antara fungsi BI sebagai agen stabilisasi dan agen pembangunan perlu dilakukan dengan penguatan UU BI yang selaras dengan tujuan nasional," katanya.

Salah satu hal penting pascakrisis moneter 1997/1998 adalah terjadi reformasi BI dan perbankan di mana BI menjadi lembaga independen dan tegaknya prinsip makro dan mikroprudensial dalam pengelolaan perbankan di Indonesia. Di mana rupiah stabil, inflasi terkontrol, dan terdongkraknya kembali pertumbuhan ekonomi.

Namun kini, lanjut Enny, setelah satu setengah dasawarsa, reformasi BI dan perbankan yang notabene berhasil menjadi faktor tercapainya stabilitas makroekonomi, kondisi tersebut amat tidak cukup.

"Hal itu karena negara belum berhasil menciptakan kesempatan kerja bagi setiap warga negara yang layak sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dan pembangunan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana Pasal 33 ayat 3 UUD 1945," tutur dia.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7089 seconds (0.1#10.140)