Belajar Value Investing 3.0

Senin, 20 Februari 2017 - 06:06 WIB
Belajar Value Investing 3.0
Belajar Value Investing 3.0
A A A
Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Dia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Pada 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank. Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses dan dijuluki “Warren Buffett of Indonesia.”

Mari kita belajar sejurus dua jurus dari “pendekar saham” yang rendah hati ini. Ciaaaaat! Minggu lalu kita sudah belajar dari LKH bagaimana memanfaatkan krisis finansial sebagai batu loncatan untuk menjadi kaya. Ternyata krisis memiliki dua sisi, yaitu ancaman dan kesempatan.

Bagi LKH, krisis finansial 1998 membuka peluang untuk membeli saham PT United Tractor Tbk (UNTR) dengan harga supermurah. Namun, salah jika kita berpikir bahwa saham supermurah hanya bisa ditemukan saat krisis finansial. Setidaknya LKH membuktikan bahwa setelah mendapat cuan (profit) luar biasa dari saham UNTR, ia bisa menemukan saham sejenis pada kondisi bukan krisis finansial.

Salah satunya saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI). MBAI adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang usaha pembibitan ayam, dengan hasil produk utamanya DOC (day old chicks) alias anak ayam yang baru menetas. Mayoritas saham MBAI (sekitar 73%) dimiliki oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), perusahaan yang berbisnis pakan ternak hingga daging ayam.

LKH tertarik membeli saham MBAI karena merasa harganya sudah sangat murah. Indikatornya adalah price earnings ratio (PER)-nya kurang dari 1 kali. Mengapa saham MBAI bisa salah harga? Menurut LKH, saat itu terjadi wabah flu burung yang menyerang ayam. Masyarakat menghindari mengonsumsi ayam. Akibatnya, penjualan MBAI turun dan investor menghindari saham ini karena khawatir prospeknya.

Akibat dorongan jual yang masif, harga MBAI terkapar. Mengapa LKH berani masuk pada saat mayoritas investor lari tunggang-langgang? LKH memberikan mantranya sembari tersenyum, “Invest in bad times, sell in good times, and you will get rich.” LKH membeli saham MBAI pada 2005 saat harganya Rp250 per saham.

Tidak tanggung-tanggung, ia mengoleksi hingga 6,2 juta saham dengan total nilai investasi Rp1,55 miliar. Alhasil, LKH memiliki 8,28% saham MBAI dan menjadi pemegang saham terbesar ketiga. Lalu, enam tahun kemudian LKH menjual saham MBAI saat harganya mencapai Rp31.500. Dengan kata lain, ia menikmati keuntungan 12.500%! Atau rata-rata hampir 125% per tahun dalam jangka waktu enam tahun.

Jadi, total keuntungan dari mengoleksi saham MBAI selama enam tahun adalah Rp194 miliar. Bagaimana Lo Kheng Hong menemukan MBAI? Prosesnya mirip ketika LKH menemukan saham UNTR. Diawali dengan indikator PER yang sangat rendah, ia mulai menganalisis fundamental saham tersebut. Ia menemukan bahwa pada 2005, MBAI memperoleh penjualan Rp655 miliar, laba usaha Rp78,3 miliar, dan laba bersih Rp58,5 miliar.

Total aset MBAI pada akhir 2005 adalah Rp627 miliar, sedangkan total utangnya adalah Rp615 miliar. Jadi, modal ekuitas MBAI saat itu tinggal Rp12 miliar. Pada harga Rp250 per saham, nilai pasar ekuitas bias dihitung dengan mengalikan Rp250 dengan jumlah saham beredar (75 juta), hasilnya, Rp18,75 miliar. Artinya, harga pasar saham ini hanya sedikit di atas nilai bukunya (nilai historis).

Mengapa LKH menemukan kesempatan emas ini dan investor lain tidak? “Kemungkinan lebih dari 90% investor saham tidak tahu apa yang mereka beli. Mereka seperti membeli kucing dalam karung,” ujar LKH.

LKH membayangkan, sebuah perusahaan yang masih bisa menghasilkan laba bersih Rp58,5 miliar bagi pemegang saham hanya dihargai Rp12 miliar di pasar! Maka, LKH mulai mengoleksi saham MBAI. Ia membeli saham ini secara bertahap supaya tidak menimbulkan gejolak di lantai bursa.

Perhitungan LKH ternyata tepat. Setelah kehebohan flu burung berlalu, kinerja MBAI makin moncer (lihat tabel). Penjualannya, berlipat ganda selama periode 2006-2010, tumbuh 19% per tahun. Sementara laba bersih per saham juga berlipat ganda dari Rp1.414 pada 2006 menjadi Rp3.416 pada 2010 alias tumbuh 25% per tahun. Tak heran, harga saham MBAI kembali meroket.

Lantas, mengapa LKH menjual saham MBAI pada 2011? “Harganya sudah naik terlalu tinggi sehingga melampaui nilai intrinsiknya,” LKH menjelaskan. “Selain itu, ada faktor MBAI demerger dengan Japfa Comfeed”. LKH kurang menyukai aksi merger ini karena saham MBAI akan ditukar dengan saham Japfa Comfeed, yang menurutnya sudah kemahalan.

Jika krisis finansial 1998 telah membuat LKH kaya melalui saham PT UNTR, kasus flu burung juga membuat LKH kaya raya. Menurut LKH, jika dibandingkan dengan berinvestasi pada saham UNTR, investasi pada saham MBAI mengandung risiko (ketidakpastian) yang lebih besar.

Mengapa? UNTR adalah perusahaan yang jauh lebih besar dan memiliki reputasi tata kelola yang lebih bagus daripada MBAI. Namun, risiko besar tidak bisa menghambat “pendekar saham” LKH untuk menaklukkan saham MBAI.

LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert- Prasetiya Mulya Business School,
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3375 seconds (0.1#10.140)