Robot-Driven Economy

Senin, 20 Maret 2017 - 06:17 WIB
Robot-Driven Economy
Robot-Driven Economy
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com


TANGGAL 15 Februari 2011 adalah hari yang bersejarah bagi peradaban umat manusia. Hari itu untuk pertama kali komputer pintar Watson milik IBM mengalahkan manusia dalam adu kepintaran di acara kuis televisi Jeopardy.

Watson mengalahkan Ken Jennings dan Brad Rutter yang merupakan pemegang rekor nilai tertinggi dalam sejarah kuis Jeopardy. Kemenangan ini bersejarah karena pertanyaan yang diajukan di dalam ajang ini bersifat pertanyaan terbuka (open-ended question). Di mana untuk memenanginya, komputer Watson harus “memiliki” pengetahuan umum dalam berbagai bidang yang praktis tak terbatas mulai dari sains, sejarah, film, sastra, geografi, hingga gosip selebriti.

Dalam kuis ini penanya memberikan petunjuk tertentu yang akan membantu peserta dalam menemukan jawaban. Memang tujuh tahun sebelumnya IBM pernah menciptakan komputer serupa, Deep Blue, yang berhasil mengalahkan Garry Kasparov juara dunia catur kala itu. Tapi, kemampuan Deep Blue dan Watson sama sekali berbeda. Kenapa? Karena, permainan catur memiliki aturan main tertentu yang bisa dipetakan polanya oleh komputer dengan menggunakan pemrograman tertentu.

Sementara pertanyaan yang diajukan ke Watson di acara Jeopardy bersifat terbuka tanpa ada pola apapun. Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama komputer Watson harus bisa “memahami” pertanyaan dari si penanya kuis yang diajukan dengan menggunakan bahasa verbal (natural language). Setelah memahami, seperti layaknya manusia, Watson harus bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang bersifat acak tersebut dalam ukuran detik.

Untuk melakukannya, Watson memasukkan tak kurang dari 200 juta halaman informasi (mencakup antara lain: semua kamus dan buku referensi, seluruh literatur, arsip seluruh surat kabar, seluruh isi website , hingga seluruh isi Wikipedia) ke dalam sistem memorinya. Watson juga memasukkan 180.000 petunjuk yang pernah diberikan si penanya di episode-episode Jeopardy sebelumnya. Seluruh informasi itu yang digunakan oleh sistem machine learning Watson untuk “menebak” jawaban dengan menggunakan teknik statistik yang superrumit.

Revolusi Algoritma


Kemenangan Watson atas manusia di kuis Jeopardy menandai sebuah era supremasi robot atas manusia: robot yang digerakkan oleh algoritma. Algoritma pula yang menjadi jantung dari produk/layanan terobosan, seperti autonomous car (self-driving car), 3D printing (distributed fabrication), drone delivery service, atau otomasi ritel seperti layanan Amazon Go.

Seluruh terobosan ini membawa konsekuensi menyedihkan berupa pengambilalihan pekerjaan manusia secara massif: kita bakal tak butuh lagi sopir, kurir, buruh pabrik, atau petugas kasir. “Welcome to the jobless world".

Kini, IBM menggunakan kepintaran Watson untuk diterapkan di bidang-bidang lain seperti kesehatan, telekomunikasi, pemerintahan, keuangan, customer services , hingga riset kanker.

Di bidang kesehatan, misalnya, Watson mampu sepenuhnya menggantikan peran dokter, baik untuk diagnosis maupun penanganan pasien. Ia bisa mengumpulkan seluruh rekam medis pasien dan berdasarkan data itu ia bisa melakukan diagnosis dan menangani pasien dengan performa yang tak kalah dengan dokter manusia.

Kalau fungsi dokter bisa digantikan maka tinggal tunggu waktu Watson pun bisa menggantikan segudang profesi lain mulai dari konsultan, pengacara, peneliti, analis pasar modal, analis pajak, analis BMG (ramalan cuaca), apoteker, penerjemah, petugas call center, hingga wartawan.

Asumsi bahwa robot hanya bisa menggantikan pekerjaan-pekerjaan manusia yang berpola dan bersifat repetitif, kini telah tumbang. Jadi, tak hanya pekerjaan buruh pabrik mobil yang tergantikan, pekerjaan riset seorang PhD pun bisa diambil alih oleh robot.

Seperti diperlihatkan Watson, robot pun kini bisa menggantikan pekerjaan-pekerjaan kognitif yang tak berpola berdasarkan masukan yang diperoleh dari bahasa verbal. Algoritma dari machine learning Watson memungkinkannya membuat “programnya sendiri” berdasarkan korelasi statistik yang ditemukannya. Filter spam surel kita, sistem rekomendasi buku di Amazon, atau mesin penerjemah Google menggunakan prinsip algoritma yang sama.

Watson adalah komputer kognitif pertama yang menggabungkan kemampuan machine learning dengan artificial intelligence. Biaya membikin Watson untuk hardware-nya saja kini sekitar USD3 juta, sangat mahal. Tapi, dengan kekuatan Moores Law (kinerja komputasi meningkat eksponensial, ukuran mengecil) dalam waktu yang tak lama mesin seperti Watson bisa kita beli seharga dan seukuran iPhone 7. Coba bayangkan jika setiap rumah tangga punya mesin semacam Watson. “Algorithm will eat the world!

Jobless Economy

Pertanyaannya, bagaimana dampak robot seperti Watson bagi perekonomian secara keseluruhan? Dengan adanya robot-robot “pencipta nilai” seperti Watson maka tentu saja produktivitas (output dibagi input) akan naik signifikan. Akibatnya, output dan pertumbuhan ekonomi juga akan naik berlipat-lipat.

Namun, celakanya, produktivitas dan pertumbuhan itu bukan dinikmati oleh tenaga kerja (labor). Karena dengan adanya robot, tenaga kerja yang diperlukan justru kian kecil atau bahkan hilang. Lalu, buah produktivitas/pertumbuhan itu jatuh ke tangan siapa? Tak lain jatuh ke tangan pemilik bisnis (business owner) dan pemilik modal (investor) yang memanfaatkan robot-robot di atas.

Itu artinya, di dalam ekonomi yang didorong oleh robot (robot-driven economy) meningkatnya produktivitas dan pertumbuhan bukannya diikuti kenaikan gaji tenaga kerja. Justru sebaliknya, gaji mereka cenderung stagnan, turun, bahkan hilang sama sekali. Conventional wisdom yang selama ini dipegang ekonom adalah bahwa teknologi merupakan alat bantu untuk meningkatkan produktivitas (dan gaji) tenaga kerja, kini tak berlaku lagi.

Di dalam perekonomian negara maju, seperti Amerika Serikat rupanya kecenderungan ini sudah terjadi di mana sejak pertengahan tahun 1970-an produktivitas yang naik tajam rupanya tidak serta-merta diikuti naiknya tingkat gaji. Tingkat gaji tenaga kerja/karyawan cenderung stagnan.

Tom Ford, dalam buku mutakhirnya, Rise of the Robots: Technology and the Threat of a Jobless Future (2015), secara pas memberikan gambaran suram dari robot-driven economy ini.

Menurutnya, supremasi robot atas manusia menghasilkan prospek ekonomi yang suram dalam jangka panjang. Beberapa potret suram itu antara lain gaji tenaga kerja bakal stagnan menyebabkan pendapatan dan kemampuan daya beli mereka terus merosot. Penciptaan lapangan kerja menurun, pengangguran meningkat, dan partisipasi tenaga kerja merosot secara sistematis.

Secara khusus tingkat pengangguran di kalangan kaum berpendidikan tinggi karena tergantikan oleh robot. Jangan lupa, kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian lebar karena dengan adanya robot, pemilik modal (si kaya) menikmati hasil berlipat-lipat, sementara pekerja (si miskin) tak kebagian apa-apa. Welcome to the robot-driven economy. Welcome to the jobless economy.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8183 seconds (0.1#10.140)