DEN dan Kementerian ESDM Gelar Sidang Bahas Energi Terbarukan

Kamis, 30 Maret 2017 - 14:23 WIB
DEN dan Kementerian ESDM Gelar Sidang Bahas Energi Terbarukan
DEN dan Kementerian ESDM Gelar Sidang Bahas Energi Terbarukan
A A A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hari ini menggelar Sidang Anggota ke-21 Dewan Energi Nasional (DEN) di Kantor Kementerian ESDM. Sidang dipimpin Menteri ESDM Ignasius Jonan ini yang juga ketua harian DEN guna membahas sejumlah persoalan.

Beberapa di antaranya mengenai Perpres No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), komitmen kementerian/lembaga terkait dalam pelaksanaan kebijakan RUEN, dan program pembinaan penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi oleh DEN dan Kementerian ESDM.

Saat konferensi pers, DEN mengatakan bahwa sidang ini juga membahas dampak dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 (Permen ESDM 12/2017) terhadap pengembangan energi terbarukan.

"Dalam sidang tadi juga sempat disinggung soal Permen ESDM 12/2017. Terus sempat dilaporkan bagaimana imbas dan tanggapan stakeholder terhadap Permen tersebut," kata Anggota DEN Tumiran di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (30/3/2017).

Seperti diketahui, Permen ini membatasi harga jual listrik dari energi terbarukan ke PLN. Para pengembang energi terbarukan hanya boleh menjual listrik ke PLN dengan harga tak lebih dari 85% Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik setempat. Misalnya, BPP di suatu daerah Rp1.000/kWh, maka harga listrik dari pembangkit energi terbarukan tak boleh lebih dari Rp850/kWh.

"Tentu patokan harga tersebut membuat pengembangan EBT di daerah-daerah yang BPP-nya rendah mengalami perlambatan," ungkapnya.

Selain itu, di daerah yang BPP listriknya rendah, misalnya di Sumatera Selatan yang banyak menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, tentu EBT akan sangat sulit berkembang. Patokan harga yang dibuat kurang ekonomis di daerah seperti ini.

Meski demikian, EBT masih sangat ekonomis untuk dikembangkan di Indonesia Timur yang BPP listriknya tinggi akibat banyaknya penggunaan PLTD berbahan bakar solar.

"Kemungkinan yang bisa didorong yang BPP-nya tinggi. Kalau yang sudah rendah seperti Sumsel, pembangkit tenaga matahari berkompetisi sama batu bara sangat sulit. Di Jakarta, lahan saja sudah mahal, tentu sangat sulit, kecuali dijalankan dengan skema bisnis lain, seperti PLTS rooftop," tuturnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0231 seconds (0.1#10.140)