Quick Fail

Minggu, 21 Mei 2017 - 11:16 WIB
Quick Fail
Quick Fail
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com


Inilah bedanya perusahaan besar dan startup dalam meluncurkan inovasi produk di pasar. Kalau perusahaan besar, sebelum produk meluncur, maka mereka melakukan serangkaian proses yang panjang dan melelahkan.

Mereka melakukan feasibility study berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mengetahui kelayakan inovasi produk. Mereka melakukan survei pasar dengan ribuan responden untuk mengetahui selera pasar.

Dari riset tersebut, mereka merumuskan konsep produk, mengembangkan desain produk, membuat prototipe produk, dan mengujinya berulang-ulang di laboratorium, mengetesnya dengan riset pasar kembali, hingga produk betul-betul sempurna untuk diluncurkan di pasar.

Seiring dengan itu, mereka menyusun konsep bisnis dan serangkaian analisis: product value analysis, cost analysis, market size analysis, competitive analysis, cash flow analysis, financial forecasting, diikuti dengan penyusunan marketing plan, distribution plan, manufacturing plan, dan seterusnya, dan seterusnya. Pokoknya ruwet dan njlimet.

Karena njlimet-nya proses analisis, persiapan, dan pengembangan inovasi produk tersebut, tak heran jika produk baru tak kunjung meluncur di pasar dan momentum berharga lewat begitu saja. Proses inkubasi produk yang panjang dan bertele-tele itu dilakukan agar produk betul-betul sempurna sebelum meluncur di pasar.

Fail Fast

Di perusahaan startup, prosesnya sama sekali berbeda. Alih-alih menunggu sampai produk sempurna, startup mengambil opsi meluncurkan produk "setengah jadi" ke pasar. Produk "setengah jadi" itu biasa disebut "minimum viable product" (MVP). Atau kalau di dunia digital sering disebut: versi beta. Tujuan meluncurkan MVP adalah agar kita bisa "gagal secepat mungkin". Fail fast.

Gagal bukan dalam arti menyerah sama sekali, tapi menemukan kegagalan-kegagalan secepat mungkin agar bisa secepat mungkin pula memperbaikinya. Pertanyaannya, kenapa harus gagal dulu? Jawabnya, karena sangat langka sekali peluncuran inovasi produk yang langsung sukses, satu di antara sejuta. Inovasi selalu melibatkan ketidakpastian dan ketidakmenentuan sehingga sulit dikelola.

Karena sulit dikelola, cara yang paling ampuh adalah dengan melakukan eksperimen secara trial and error langsung di pasar, bukan di laboratorium atau riset pasar. Nah, karena serentetan kegagalan sudah pasti dialami dalam setiap proyek inovasi, yang bisa kita lakukan adalah mempercepat terjadinya kegagalan.

Dari kegagalan tersebut, kita tahu titik-titik kesalahan dan kelemahannya, dan dari kesalahan-kelemahan itu kita bisa belajar dan secepat mungkin memperbaikinya. Jadi, kuncinya adalah 3S: speed, speed, speed.

Ingat dalam proses peluncuran produk baru speed is everything. Secepat mungkin gagal untuk bisa secepat mungkin menemukan kesuksesan akhir. Jadi kalau selama ini kita mengenal istilah "quick win", dalam inovasi kita mengenal "quick fail".

Don't Be a Perfectionist

Di dunia inovasi perfection doesnperfection doesnt matter. Untuk meluncurkan inovasi di pasar, yang terpenting bukanlah mencapai produk yang sempurna. Yang terpenting adalah secepat mungkin mendapat real feedback dari real customers.

Real feedback yang dimaksud di sini adalah masukan yang diperoleh betul-betul dari pasar sebagai hasil interaksi produk dengan konsumen, bukan melalui riset seperti melakukan interviu ke konsumen.

Sementara yang dimaksud real customers adalah konsumen yang betul-betul membeli dan menggunakan produk bukannya konsumen yang ada di ruang FGD (focus group discussion). Ketika di atas saya katakan bahwa perfection doen’t matter, yang saya maksud di situ adalah kesempurnaan di mata inovator.

Seperti saya uraikan di depan, di banyak perusahaan besar, si inovator umumnya menghabiskan resourcesyang sangat besar dan waktu yang sangat lama untuk menyempurnakan produk.

Setelah melalui proses yang lama dan bertele-tele, memang akhirnya produk mencapai kesempurnaan. Namun celakanya, kesempurnaan produk itu adalah versi si inovator bukan versinya konsumen. Kenapa? Karena produk belum mendapatkan real feedback dari real customers. Real feedback dari real customers hanya bisa diperoleh ketika produk betul-betul diluncurkan di pasar.

Kesempurnaan produk di mata konsumen hanya bisa didapatkan jika si inovator terus-menerus melakukan eksperimen di pasar. Eksperimen ini dilakukan dari produk yang awalnya medioker dan banyak kelemahan. Seiring berjalannya waktu produk itu terus diperbaiki berdasarkan real feedback dari real customers.

Sekali lagi, eksperimen dilakukan agar kita cepat gagal. Dan dengan cepat gagal, pada gilirannya kita akan cepat sukses. "Cepat gagal, agar cepat sukses", itulah prinsip dasar yang dipegang oleh setiap inovator/entrepreneur yang menjadi pembelajar sejati.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4684 seconds (0.1#10.140)