Disrupted Brand''

Minggu, 28 Mei 2017 - 10:48 WIB
Disrupted Brand
Disrupted Brand''
A A A
Disrupted brand adalah brand atau merek (umumnya incumbent brand ) yang telah menjadi korban disrupsi oleh brand-brand lain (umumnya new, digital brand ) sehingga value proposition dari brand tersebut tidak relevan lagi atau kalah ampuh oleh brand yang mendisrupsinya.

Nokia adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain seperti Apple dan Samsung. Blue Bird adalah disrupted brand yang didisrupsi Grab atau Uber. Matahari dan Ramayana adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain-pemain e-commerce seperti Zalora atau Berrybenka. Disc Tarra adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain digital seperti iTunes atau Rhapsody.

GM atau Ford adalah disrupted brand yang didisrupsi pemain baru seperti Tesla (mobil listrik) atau Google (mobil otonom). Di mata konsumen, disrupted brand dianggap sebagai the loser brand karena value hebat yang mereka deliver selama bertahun- tahun (bahkan puluhan tahun) sebelumnya kini dikalahkan oleh value yang jauh lebih hebat yang dihasilkan pemain-pemain digital baru.

Namanya juga the loser , secara imej dan persepsi mereka berada di posisi yang tidak mengenakkan. Di mata konsumen, disrupted brand secara umum dianggap sebagai brand yang declining, menua, ketinggalan zaman, blunder, irrelevant, lelet berubah, nggak cool, dan segudang atribut negatif lain. Itulah stempel yang diberikan konsumen kepada mereka.

Padahal belum tentu mereka begitu. Masih banyak disrupted brand yang perkasa dan bahkan masih menguasai pasar. Kalau ngomong aura, disrupted brand ini berada di posisi aura negatif. Karena aura dan sentimennya negatif, sehebat apa pun disrupted brand mencapai prestasi, konsumen tetap nyinyir dan memandang sebelah mata. Artinya di mata konsumen kredibilitas mereka sudah jatuh.

Liability, Bukan Aset

Salah satu elemen ekuitas merek (brand equity ) dalam teori branding adalah apa yang disebut brand association, yaitu asosiasi atau persepsi yang ditangkap di benak konsumen. Lux memiliki brand association yang kuat sebagai ”sabun kecantikan”. Sementara Lifebouy memiliki brand association yang kuat sebagai ”sabun kesehatan”. Toyota Kijang dan Avanza memiliki brand association yang kuat sebagai ”mobil keluarga Indonesia”.

Nah, celakanya, dalam konteks disrupted brand, brand association yang kuat itu bukannya hal-hal yang positif, tetapi negatif seperti declining, irrelevant , ketinggalan zaman, lelet berubah, dan lain-lain. Jadi stempel jelek dari disrupted brand di atas membentuk brand association mereka yang kurang menguntungkan.

Kalau sudah begini, brand association yang mereka dapatkan bukannya menjadi aset, tetapi justru sebaliknya liability. Karena berada di posisi yang tidak menguntungkan, disrupted brand harus cepat move on. Mereka harus shifting quadrant untuk mendapatkan posisi baru yang lebih baik dan berasosiasi positif. Caranya gimana? Dengan melakukan repositioning dan rebranding .

Karena itu di era gonjangganjing disrupsi saat ini, saya meramalkan bakal kian banyak brand besar yang melakukan repositioning dan rebranding agar mereka tetap relevan dan bisa bertahan menghadapi dunia yang baru (the new normal ). Tanpa langkah strategis ini, pelan tapi pasti, brand mereka akan habis ditelan zaman.

Move On Strategy

Lalu strategi apa saja yang harus dilakukan oleh disr upted brand untuk bisa move on ? Secara umum ada tiga opsi yang bisa mereka ambil: aliansi, transformasi, merusak diri sendiri (self - disruption ).

Aliansi, yaitu menggandeng disruptor brand agar dampak buruk ”stempe l ” sebagai disrupted brand yang telanjur melekat bisa dinetralisasi dan dikurangi. Ini adalah cara paling mudah dan paling aman untuk menyelamatkan kapal yang mau karam.

Strategi ini dilakukan Blue Bird yang menggandeng Go-jek, sang disruptor, dengan meluncurkan layanan baru: Go Blue Bird. Dengan merangkul disruptor, asosiasi positif dari disruptor brand akan berimbas baik ke disrupted brand .

Transformasi, yaitu melakukan perubahan besarbesaran untuk menjadi digital company (dico ). Artinya disrupted brand melakukan transformasi mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh si disruptor.

Matahari melakukan strategi ini dengan meluncurkan ritel versi online, yaitu Mataharimall. com. Telkom melakukan strategi yang sama dengan melakukan transformasi besar- besaran untuk menjadi dico dengan menarget areaarea bisnis baru, yaitu TIMES: telecommunication, information , media , edutainment, dan services .

Self-disruption, ini cara yang paling ekstrem dan paling berisiko, yaitu dengan mendisrupsi diri sendiri. Prinsip dari strategi ini adalah: ”daripada didisrupsi pemain lain, lebih baik didisrupsi diri sendiri”. Contoh paling inspiratif dari strategi ini adalah Netflix.

Perjalanan bisnis Netflix sangat heroik karena berulang kali ia ”merusak diri sendiri”. Diawali dengan bisnis penyewaan DVD (fisik), Netflix merusaknya dengan meluncurkan layanan DVD streamin , lalu kini ia merusaknya lagi dengan meluncurkan layanan contentcreation melalui Netflix Originals.

Kalau Anda adalah incumbent brand, berhati-hatilah, karena sewaktu-waktu disrupsi akan bergentayangan siap-siap memangsa Anda. Kalau memang disrupsi tak bisa dihindari, lakukanlah aliansi, transformasi, atau disrupsi diri sendiri. Disrupted brand, no way

YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6604 seconds (0.1#10.140)