Kejatuhan Sevel dan Innovation Fallacies

Minggu, 09 Juli 2017 - 10:31 WIB
Kejatuhan Sevel dan Innovation Fallacies
Kejatuhan Sevel dan Innovation Fallacies
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady

SEJAK minggu lalu, tepatnya Jumat (30/6), gerai 7-Eleven (Sevel) di Indonesia tidak lagi beroperasi karena terus merugi dan gagal mencapai kesepakatan pengambilalihan oleh Charoen Pokphand.

Banyak sudah ulasan mengenai kegagalan Sevel. Ada yang melihatnya secara taktikal dari sisi operasional yang terus berdarah-darah. Ada yang melihat secara strategis karena model bisnisnya yang keliru dan tak sustainable.

Ada juga pakar yang menyalahkan regulasi pemerintah sebagai biang kejatuhan Sevel. Saya mencoba melihatnya dari sudut yang lebih "soft" dari sisi disiplin inovasi, yaitu mindset dan pola pikir yang keliru dalam melihat sebuah proses inovasi.

Saya menyebutnya "innovation fallacies" atau pemahaman umum yang keliru mengenai inovasi, yang hingga kini banyak diyakini para inovator. Pemahaman keliru inilah yang menyebabkan banyak inovasi gagal, layu sebelum berkembang. Dan salah satu korbannya adalah Sevel.

Innovation Hero

Setelah jatuh, banyak pengamat (termasuk pengamat dadakan di medsos) yang mengkritik, menyalahkan, dan menghakimi Sevel sebagai the loser. Namum, saya sebaliknya melihat Sevel sebagai "innovation hero". Kenapa? Karena capaian inovasi yang dihasilkannya menurut saya luar biasa. Bisa disebut breakthrough innovation.

Terobosan inovasi Sevel lahir di tengah industri ritel Indonesia yang mengalami paceklik panjang ide-ide bisnis segar sejak duo Indomaret-Alfamart menghegemoni pasar ritel di Tanah Air.

Menurut saya, ada tiga "warisan inovasi" yang ditinggalkan Sevel untuk dunia bisnis/manajemen di Indonesia. Terobosan inovasi itu adalah: Pertama, Value Innovation.

Sevel mampu menciptakan inovasi nilai yang menghasilkan extraordinary value untuk konsumen. Inovasi nilai tercipta ketika pemain mampu mendongkrak nilai dan manfaat produk (customer value), namun secara bersamaan ia juga mampu menurunkan biaya (customer’s cost). Ini menghasilkan apa yang disebut "more-for-less value".

Kedua, Blue Ocean Market. Sevel hebat menciptakan pasar baru yang berada di persimpangan (intersection) antara dua industri, yaitu ritel dan gerai makanan. Dengan menggabungkan dua industri, Sevel memiliki posisi unik di pasar yang menjadikan persaingan tak relevan lagi.

Ketiga, Customer Culture. Sevel juga hebat menciptakan budaya baru di kalangan konsumen muda Jakarta, yaitu "budaya nongkrong". Ia mampu menggerakkan cultural movement di kalangan urban yang sering disebut "Sevel effect" atau "Sevel lifestyle".

Tak gampang sebuah brand bisa membentuk budaya dan gaya hidup di kalangan konsumennya. Hanya pemain-pemain hebat sekelas Apple, Starbucks, atau Harley Davidson yang mampu mewujudkannya. Celakanya, kehebatan terobosan inovasi Sevel itu sirna (sejak minggu lalu) karena adanya empat innovation fallacies berikut ini:

#1. Smash-Hit Fallacy

Banyak inovator menganggap bahwa kesuksesan inovasi adalah "sukses besar sekali" pada saat momen-momen peluncuran. Begitu inovator menuai sukses besar pada hari-H peluncuran, maka sertamerta ia berpikir inovasi itu akan sukses seterusnya.

Kenyataannya tidak begitu. Inilah yang menyebabkan banyak inovator silau dengan "sukses besar sekali". Apalagi jika kemudian para pakar, pengamat, dan terutama media ikutikutan bersorak-sorai memuji habishabisan kesuksesan itu, sang inovator pun menjadi kian takabur. Ia menjadi lupa bahwa pekerjaan besar justru dimulai setelah produk/bisnis meluncur di pasar.

"When you launch your innovation... it’s the start, not the end". Hal ini dialami oleh Sevel. Begitu konsep bisnis inovatif Sevel meluncur 2009 dan menuai sukses luar biasa, ia silau oleh kesuksesan itu. Ia tak melakukan inovasi-inovasi lanjutan untuk menyempurnakan konsep bisnis-nya.

Sevel berpikir bahwa model bisnis inovatif yang diusungnya sudah final, sehingga ia terburu-buru melakukan scalling-up dengan cara agresif membuka cabang-cabang baru. Ia terlalu dini "mendeklarasikan kemenangan", padahal jalan menuju kemenangan masih panjang.

Model bisnis yang diciptakannya sesungguhnya belum bulat betul. Kenapa? Karena ia baru bisa menghasilkan breakthrough value ke konsumen, tapi belum menghasilkan breakthrough value ke sharholder berupa laba berkelanjutan.

#2. "Sprinter Game" Fallacy


Inovasi bukanlah "sprinter game" tapi "marathon game". Inovasi bukanlah lomba lari cepat 100 meter, tapi lomba lari maraton. Maksud saya, setelah "inovasi besar" terwujud, maka diperlukan "inovasi-inovasi kecil" dalam kurun waktu yang panjang.

Menariknya, dalam banyak kasus, disiplin dalam menghasilkan "inovasiinovasi kecil" inilah yang justru menjadi penentu kesuksesan. Itu sebabnya fokus, daya tahan, dan persistensi alias istiqomah menjadi amat penting dalam kesuksesan inovasi.

Lihat bagaimana Apple menjadi innovation champion seperti sekarang setelah melalui jatuh-bangun dan terus-menerus melakukan inovasi selama 40 tahun lebih. Kegagalan first-mover player seperti Yahoo! (diungguli pendatang baru Google), Friendster (diungguli Facebook), atau White Castle (diungguli McDonald’s) membuktikan hal ini.

Karena mereka malas (dan capek) memperbaiki diri begitu sukses mewujudkan inovasi besar, maka dengan sigap inovator berikutnya mengambil alih posisi. Artinya, setiap inovator harus memiliki apa yang disebut "betamentality", yaitu pola pikir bahwa inovasi yang meluncur di pasar adalah "beta version" yang harus diperbaiki tanpa mengenal henti. Inilah spirit dasar dari apa yang disebut "lean innovation".

Prinsip ini pula yang menjadi kunci sukses Google dalam berinovasi. Sevel melihat model bisnis yang ia usung pada 2009 sebagai sesuatu yang final. Ini letak kelirunya. Pada saat meluncur memang ia mampu menghasilkan breakthrough value ke konsumen, namun ia punya masalah akut di sisi yang lain, yaitu reveneumodel.

Seharusnya inovasi lanjutan dilakukan untuk menyempurnakan revenue model ini. Revenue model innovation inilah yang luput dilakukan oleh Sevel. Artinya, prinsip beta mentality tak dijalankan Sevel.

#3. Ideation Fallacy


"Innovation is not only about idea, it’s also about execution." Seperti saya sebut di atas, Sevel telah menghasilkan ide bisnis luar biasa seperti: value innovation, blue ocean market, dancustomer culture. Tapi ia lupa bahwa inovasi bukanlah perkara ide semata.

Yang jauh lebih penting, inovasi adalah juga perkara eksekusi. Ide 20%, sisanya adalah eksekusi. Inovasi (innovation) berbeda dengan kreativitas (creativity).

Inovasi adalah komersialisasi dari kreativitas. Kalau kreativitas Anda boleh cukup sampai pada ide yang cool, tapi inovasi Anda harus sampai pada sukses pasar dan sukses finansial. Itu sebabnya eksekusi sangat krusial dalam sebuah inovasi.

Sukses Sevel sebelum ini adalah sukses kreativitas, belum sepenuhnya sukses inovasi. Seperti Sevel, banyak inovator terbuai oleh kehebatan ide terobosan yang telah ia ciptakan, tapi lupa pada eksekusi. Untuk mengeksekusi ide bisnis brilian dibutuhkan kedisiplinan (discipline of innovation). Di sinilah Sevel lemah.

#4. Concord Fallacy

Pesawat supersonik Concord digagas oleh Pemerintah Inggris pada 1956, terbang komersial pertama kali pada 1976, dan menghentikan penerbangan karena operasinya berdarah-darah pada 2003.

Coba bayangkan, megaproyek yang tak layak ekonomis (kondisi keuangan berdarah- darah) ini bisa terus berlanjut begitu lama hingga hampir setengah abad. Kenapa? Pertama karena investasi yang ditanamkan (sunk cost) sudah terlanjur besar sehingga berat untuk exit.

Kedua, karena obsesi mengenai terobosan inovasi sebuah pesawat canggih yang menyamai kecepatan suara begitu menghipnotis pemerintah Inggris-Prancis untuk terus melanjutkan proyek megarugi ini. Inilah yang dikenal luas sebagai: "Concord fallacy".

Lalu, apa hubungannya dengan Sevel? Kasusnya mirip. Karena terobsesi oleh terobosan inovasi luar biasa yang telah diciptakannya, Sevel terus lari kencang dengan kacamata kuda walaupun ia tahu operasinya berdarah-darah.

Terobosan model bisnis inovatif menjadikan Sevel over-confident dan silau terhadap persoalan riil di depan mata, yaitu operasi yang merugi. Kalau mengacu ke pepatah bijak: "gajah di pelupuk mata tak tampak".

Saya percaya bahwa kegagalan Sevel bukanlah kesia-siaan. Terobosan Sevel menginspirasi banyak pelaku bisnis. Inovasi Sevel menyisakan pelajaran berharga bagi kita semua.

Karena itu, di tengah kejatuhannya minggu ini saya masih tetap menobatkan Sevel sebagai "innovation hero" dan respek pada "warisan" yang ditinggalkannya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4979 seconds (0.1#10.140)