Kenapa Sekolah Akan Terdisrupsi (2)

Minggu, 30 Juli 2017 - 10:29 WIB
Kenapa Sekolah Akan Terdisrupsi (2)
Kenapa Sekolah Akan Terdisrupsi (2)
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com


Minggu-minggu ini adalah minggu anak-anak kita kembali masuk sekolah setelah liburan panjang yang sekaligus menandai dimulainya tahun ajaran baru.

Tahun ajaran baru 2017 ini agak berbeda karena diliputi kontroversi dan blunder kebijakan full day school (FDS) yang mengubah waktu sekolah menjadi lima hari dan delapan jam per hari. Kebijakan blunder untuk ke sekian kali seperti ini (beda menteri, beda pula blundernya) menjadi wake-up call betapa kalau sekolah-sekolah kita terus dikelola dengan pendekatan BAU (business as usual) semacam ini pada akhirnya akan menjadi obsolete, kian tak relevan, dan akhirnya masuk museum.

Jadi, tak hanya tukang ojek pangkalan yang terkena disrupsi Go-Jek atau operator taksi yang terkena disrupsi Uber; saya khawatir sekolah-sekolah kita juga akan menjadi korban disrupsi berikutnya. Minggu lalu saya sudah menulis dua alasan substantif kenapa sekolah-sekolah kita bakal terdisrupsi jika kita terus-menerus ”gagal paham”, tidak peka, tidak agile , dan tidak cepat merespons gelombang disruptive change yang kini sedang menyapu lanskap pendidikan kita.

Alasan pertama, yaitu lahirnya generasi neo-milenial sebagai disruptor utama sekolah kita. Mereka highly mobile, apps-dependent, dan always connected, melek visual (visually literate), dan melek data (data literate), sehingga barangkali sekolah dengan tatap muka di kelas sudah tak relevan lagi. Mereka lebih nyaman belajar secara kolaboratif di dalam proyek riil atau pendekatan peer-to-peer melalui komunitas atau jejaring sosial (menggunakan social learning platform).

Alasan kedua adalah munculnya ”orang tua-orang tua baru” yang tak puas dan tak lagi mau memercayakan pendidikan anak-anaknya kepada sekolah formal-tradisional. Mereka lebih memilih ”turun gunung” mengajar anak-anak mereka sendiri di rumah melalui pendekatan home schooling.

Sebagai kelanjutan tulisan minggu lalu, berikut ini adalah alasan ketiga dan keempat. Baca Juga: Kenapa Sekolah Akan Terdisrupsi? (1)
#3. Disruptive Technologies


Jangan lupa, teknologi pendidikan juga telah berkembang secara eksponensial sehingga berpotensi mendisrupsi sekolah tradisional. ”Radical innovation will change the way we teach and kids learn,” kata Profesor Clayton Christensen, penggagas konsep disruptive innovation .

Berbagai inovasi disruptif di sektor pendidikan, seperti massive open online course (MOOC), open educational resources (OER), situs tutorial online, seperti Khan Academy, personalized/customized learning, social learning platform, professional learning network (PLN), massively multiplayer online (MMO) learning games, kini sedang antre untuk mencapai critical mass.

Begitu itu terjadi, kita akan mendapatkan pendekatan pembelajaran baru yang lebih terbuka, kolaboratif, personal, eksperiensial, dan sosial. Dengan beragam inovasi tersebut barangkali ruang kelas kurang diperlukan lagi. Guru akan berubah peran secara drastis sebagai mentor, motivator, dan model.

Dan yang jelas, akan tersedia begitu banyak learning channel dan sekolah tak lagi bisa memonopoli proses pembelajaran. Sebagai wahana pembelajaran, sekolah tradisional akan tergeser dari posisi core menjadi peripheral. Dalam konteks inilah kebijakan waktu sekolah lima hari dan delapan jam per hari dari mendikbud menjadi ahistoris.

#4. Irrelevant Skills


Dengan pendekatan yang obsolete sekolah-sekolah kita hanya bisa membentuk ”generasi penghafal” dan ”generasi pembebek”. Mereka adalah generasi yang piawai dalam menghafal. Kenapa? Karena di sekolah, sejak TK hingga SMA, mereka digembleng untuk menjadi penghafal-penghafal hebat.

Mereka ditempa untuk piawai menyelesaikan soal-soal multiple choice atau soal-soal hafalan. Mereka hanya menjadi ”objek penderita” dalam proses pembelajaran yang pasif mengonsumsi pengetahuan dari si guru. Sejak kecil pendidikan yang mereka jalani secara sistematis membonsai keliaran imajinasi, kreativitas, dan daya cipta.

Akhirnya sistem ini menciptakan sosok-sosok pembebek yang defisit daya imajinasi, daya kreasi, dan passion untuk mengubah dunia. Untuk sukses pada abad yang sarat disrupsi saat ini, yang dibutuhkan bukanlah sosok penghafal dan pembebek. Tony Wagner (2008) merinci kompetensi yang diperlukan anak-anak kita untuk sukses pada era disrupsi.

Dia menyebutnya ”Seven Survival Skills for 21st Century ” sebagai berikut:

1. Critical thinking and problem solving
2. Collaboration across network
3. Agility and adaptability
4. Initiative and entrepreneurship
5. Accessing and analysing information
6. Effective oral and written communication
7. Curiosity and imagination.

Celakanya, justru di tujuh keterampilan inilah sekolah-sekolah kita paling lemah karena memang tidak mereka kembangkan. Sekolah kita semakin tidak relevan karena keterampilan yang dibangun tidak relevan lagi dengan kebutuhan kekinian. Maka sekali lagi, kalau kompetensi yang dibangun tidak relevan, kita tinggal menunggu waktu datangnya disrupsi.

Institusi pendidikan adalah entitas yang paling sulit berubah. Itu sebabnya sekolah kita 50 tahun lalu tak banyak berbeda dengan sekolah kita hari ini. Sekolah yang ada saat ini dirancang pada era industrial (industrial age) yang tak relevan lagi pada era pengetahuan (knowledge age).

Dengan logika industrial abad 20 sekolah kita distandardisasi (kurikulum, pola pengajaran, dan sistem evaluasinya) agar bisa diperbandingkan dan dikompetisikan (itu sebabnya muncul istilah sekolah favorit). Dari situ kemudian pemodal masuk ke jantung industri pendidikan di mana fokus utama mereka adalah profit, bukan pembelajaran.

Inilah biang dari fenomena instanisasi, dehumanisasi, dan dekadensi sekolah kita. Karena itu, sekolah kita perlu diinovasi (yup, disruptive innovation) agar tidak obsolete dan tetap relevan dengan kondisi kekinian. Disrupsi selalu menelan korban, tapi sekaligus juga membawa kemanfaatan yang besar... kemanfaatan eksponensial.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3627 seconds (0.1#10.140)