Urgensi SRBI, Amunisi Baru BI untuk Mencegah Risiko Sistemik Likuiditas Rupiah?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Beberapa ancaman risiko kegagalan likuiditas diantaranya dipicu oleh krisis ekonomi sistemik yang disebabkan oleh adanya gejolak pada pasar keuangan, krisis global, tingkat inflasi negara, dan lain lain. Tingginya inflasi yang terjadi di Amerika Serikat atau AS, disusul dengan melambungnya suku bunga acuan The Fed akhir-akhir ini berdampak pada nilai tukar rupiah yang terus melemah ditekan oleh dolar Amerika Serikat (USD).
Melemahnya nilai rupiah ini menjadi sinyal bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengambil kebijakan moneter untuk menstabilkan mata uang rupiah. Berdasarkan data kurs penutupan Bank Indonesia yang didapat dari reuters, sejak April 2023, nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp14.800 yang kemudian bergerak semakin tertekan hingga mencapai Rp15.810 pada penutupan 20 Oktober 2023.
Hal ini merupakan dampak yang terjadi akibat kencangnya arah kebijakan The Fed yang hawkish. Ketidakstabilan nilai rupiah yang tidak dikendalikan akan menghasilkan efek bola salju bagi perekonomian Indonesia.
Di antaranya yang pertama, nilai Rupiah yang melemah terhadap dolar AS dapat menyebabkan kelebihan likuiditas di pasar uang ketika investor asing cenderung menarik dananya dari Indonesia dengan menjual aset-aset mereka di Indonesia, termasuk surat berharga negara (SBN) yang kemudian mengakibatkan harga aset tersebut turun.
Penurunan harga aset-aset tersebut akan memberikan efek domino bagi investor domestik yang memiliki aset tersebut dan tergerak untuk menjual aset-aset mereka di pasar uang dampak dari penurunan harga aset. Kelebihan likuiditas yang terjadi di investor publik domestik dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa karena uang beredar lebih banyak yang dapat dibelanjakan pada sektor real, hingga akhirnya menyebabkan inflasi.
Kedua, ketidakstabilan/pelemahan nilai Rupiah akan meningkatkan nilai utang negara dalam valuta asing semakin meningkat. Nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat biaya utang negara dalam valuta asing menjadi lebih mahal dan menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar bunga utang negara.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dimiliki pemerintah hingga 31 Agustus 2023 adalah USD191.59 miliar dengan komposisi utang dalam valuta asing sebesar USD136.05 miliar atau 71% dari total ULN.
Ketiga, nilai cadangan devisa negara akan terus tergerus ketika nilai Rupiah terdepresiasi. Hal ini dikarenakan selain untuk pembayaran utang negara dalam mata uang asing, cadangan devisa juga digunakan Bank Indonesia dalam melakukan intervensi pasar valuta asing ketika permintaan dan penawaran dolar AS tidak seimbang.
Dalam upayanya, BI menggunakan cadangan devisa untuk menjual dolar AS agar suplai di pasar valuta asing bisa memenuhi permintaan sehingga menahan pelemahan nilai Rupiah lebih dalam. Menurut database CEIC, besar cadangan devisa yang dimiliki pemerintah hingga September 2023 yaitu sebesar USD121,786 miliar dengan tren menurun sejak bulan Maret 2023.
Bak pisau bermata dua, penurunan nilai cadangan devisa akan menurunkan tingkat kepercayaan investor dalam berinvestasi mata uang rupiah sehingga berpotensi memicu penurunan nilai rupiah ketika cadangan devisa menurun.
Hal-hal ini akan selalu menjadi perhatian utama Bank Indonesia untuk mencegah terjadinya risiko sistemik akibat pengelolaan likuiditas rupiah yang tidak tepat dan membuat Bank Indonesia selalu berinovasi dan berupaya untuk menjaga kestabilan rupiah. Oleh karena itu pada tanggal 15 September 2023, Bank Indonesia memperkenalkan instrumen operasi moneter baru yang disebut Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Tujuannya? Mendalamkan potensi pasar uang, menarik investasi dari dalam dan luar negeri, strategi absorpsi likuiditas, serta mengoptimalkan penggunaan SBN yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Keunggulan dari SRBI diantaranya yaitu dapat diperdagangkan oleh berbagai pelaku pasar, termasuk individu dan perusahaan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam dunia keuangan, fleksibilitas adalah kunci. SRBI memberikan fleksibilitas yang lebih besar daripada instrumen instrumen lainnya, keputusan Bank Indonesia untuk membuka SRBI kepada semua pelaku pasar adalah langkah yang sangat berani.
Bank Indonesia sebagai bank sentral berupaya untuk mengurangi dampak risiko likuiditas sistemik dengan menjaga kestabilan likuiditas serta kestabilan mata uang Rupiah. Penerbitan SRBI merupakan salah satu stimulus dari Bank Indonesia dalam meningkatkan investor asing dan membantu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan penawaran risiko investasi yang lebih rendah.
Kemungkinan tingkat pengembalian dari SRBI ini bisa dikatakan beresiko rendah karena BI menjadikan SBN sebagai underlying. Jadi, SRBI bukan hanya instrumen keuangan biasa tetapi langkah berani Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi, menjaga nilai tukar Rupiah stabil, dan mengundang investasi baru ke Indonesia. Inovasi ini adalah contoh konkret bagaimana bank sentral dapat menjadi agen perubahan dalam ekonomi suatu negara.
Pasar menyambut baik penerbitan SRBI ditunjukan dengan tingginya penawaran dibandingkan dengan target (oversubscribed) dalam dua kali lelang SRBI pada September 2023. Menurut laporan operasi moneter Bank Indonesia pada lelang perdana tanggal 15 September 2023, dengan target awal Rp7 triliun ternyata pasar sangat merespon baik dengan hadirnya SRBI dimana penawaran yang masuk 4,2 kali dari target lelang atau sebesar Rp29,9 triliun.
Selanjutnya pada lelang kedua yaitu tanggal 20 September 2023, terdapat penawaran yang masuk sebesar Rp 15.6 triliun atau 3,12 kali lipat dari target awal yakni Rp 5 triliun.
Bank Indonesia juga melaporkan aliran modal asing, yang masuk ke pasar keuangan domestik sebesar Rp1,67 triliun pada periode 18-21 september 2023, termasuk pembelian SRBI di pasar sekunder sebesar Rp1,32 trilliun, sedangkan untuk periode 25-27 september 2023 menunjukan di pasar keuangan domestik tercatat beli neto sebesar Rp2.16 triliun di SRBI.
Hingga 9 kali lelang, SRBI telah mencapai outstandi Rp113 triliun dengan net beli SRBI oleh investor non residen sebesar Rp 9,81 triliun. Hal ini menunjukan Inovasi SRBI ini memberikan daya tarik tersendiri bagi investor termasuk investor asing karena bersifat traded (dapat diperdagangkan).
Saat ini SRBI menawarkan yield yang lebih menggiurkan dibandingkan dengan Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor yang sama. Pada tanggal 20 Oktober 2023, untuk tenor 6 bulan, SRBI menawarkan yield sebesar 6.363, lebih tinggi 0.78 poin dibandingkan dengan Obligasi Negara yang memiliki tenor yang sama, yang hanya menawarkan yield sebesar 5.847.
Untuk tenor 9 bulan, SRBI menawarkan yield sebesar 6.6443, selisih 0.28 poin dibandingkan dengan obligasi negara yang hanya memberikan yield sebesar 6.355. Bahkan, untuk tenor 12 bulan, SRBI masih unggul dengan yield sebesar 6.7069, lebih tinggi 0.50 poin dibandingkan dengan obligasi negara yang menawarkan yield sebesar 6.198.
Tak heran dengan karakteristik SRBI yang bisa diperdagangkan, tenor yang tidak panjang dan juga tingkat pengembalian yang menggiurkan. Investor sangat antusias dengan hadirnya SRBI. Tujuan BI untuk menjaga likuiditas rupiah akan tercapai dan SRBI akan menjadi amunisi yang ampuh bagi Bank Indonesia untuk semakin menarik dana asing agar tinggal lebih lama di dalam negeri.
Bank Indonesia melakukan penerbitan SRBI dengan tujuan mengendalikan inflasi, menjaga nilai tukar Rupiah stabil, dan mengundang Investor asing masuk ke Indonesia dinilai sangat tepat melihat kondisi rupiah yang tidak stabil.
Penulis juga menyarankan kepada Bank Indonesia untuk terus melakukan sosialisasi kepada agen, bank, maupun investor tentang SRBI, karena dengan masuknya Investor Asing ke Indonesia dengan membeli SRBI, tentu akan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang akan berdampak pada stabilnya inflasi dan semakin menurunya pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah Indonesia yang kebanyakan bermata uang Valuta Asing serta pengelolaan likuiditas rupiah yang semakin baik di pasar uang.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengurangi risiko pelemahan nilai mata uang rupiah yaitu dengan mengurangi sedikit demi sedikit utang negara dalam mata uang asing dengan memanfaatkan investor domestik dalam belanja negara. pergeseran utang negara dari dolar AS ke dalam rupiah akan meminimalisir dampak buruk yang terjadi ketika terjadi ketidakstabilan mata uang Rupiah sehingga dampak dari risiko sistemik akan menurun.
Penulis:
Firly Armanda, Dianita Fitriani Pogram
(Magister Manajemen Universitas Indonesia)
Dewi Hanggraeni
(Magister Manajemen Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis & Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina)
Melemahnya nilai rupiah ini menjadi sinyal bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengambil kebijakan moneter untuk menstabilkan mata uang rupiah. Berdasarkan data kurs penutupan Bank Indonesia yang didapat dari reuters, sejak April 2023, nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp14.800 yang kemudian bergerak semakin tertekan hingga mencapai Rp15.810 pada penutupan 20 Oktober 2023.
Hal ini merupakan dampak yang terjadi akibat kencangnya arah kebijakan The Fed yang hawkish. Ketidakstabilan nilai rupiah yang tidak dikendalikan akan menghasilkan efek bola salju bagi perekonomian Indonesia.
Di antaranya yang pertama, nilai Rupiah yang melemah terhadap dolar AS dapat menyebabkan kelebihan likuiditas di pasar uang ketika investor asing cenderung menarik dananya dari Indonesia dengan menjual aset-aset mereka di Indonesia, termasuk surat berharga negara (SBN) yang kemudian mengakibatkan harga aset tersebut turun.
Penurunan harga aset-aset tersebut akan memberikan efek domino bagi investor domestik yang memiliki aset tersebut dan tergerak untuk menjual aset-aset mereka di pasar uang dampak dari penurunan harga aset. Kelebihan likuiditas yang terjadi di investor publik domestik dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa karena uang beredar lebih banyak yang dapat dibelanjakan pada sektor real, hingga akhirnya menyebabkan inflasi.
Kedua, ketidakstabilan/pelemahan nilai Rupiah akan meningkatkan nilai utang negara dalam valuta asing semakin meningkat. Nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat biaya utang negara dalam valuta asing menjadi lebih mahal dan menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar bunga utang negara.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dimiliki pemerintah hingga 31 Agustus 2023 adalah USD191.59 miliar dengan komposisi utang dalam valuta asing sebesar USD136.05 miliar atau 71% dari total ULN.
Ketiga, nilai cadangan devisa negara akan terus tergerus ketika nilai Rupiah terdepresiasi. Hal ini dikarenakan selain untuk pembayaran utang negara dalam mata uang asing, cadangan devisa juga digunakan Bank Indonesia dalam melakukan intervensi pasar valuta asing ketika permintaan dan penawaran dolar AS tidak seimbang.
Dalam upayanya, BI menggunakan cadangan devisa untuk menjual dolar AS agar suplai di pasar valuta asing bisa memenuhi permintaan sehingga menahan pelemahan nilai Rupiah lebih dalam. Menurut database CEIC, besar cadangan devisa yang dimiliki pemerintah hingga September 2023 yaitu sebesar USD121,786 miliar dengan tren menurun sejak bulan Maret 2023.
Bak pisau bermata dua, penurunan nilai cadangan devisa akan menurunkan tingkat kepercayaan investor dalam berinvestasi mata uang rupiah sehingga berpotensi memicu penurunan nilai rupiah ketika cadangan devisa menurun.
Hal-hal ini akan selalu menjadi perhatian utama Bank Indonesia untuk mencegah terjadinya risiko sistemik akibat pengelolaan likuiditas rupiah yang tidak tepat dan membuat Bank Indonesia selalu berinovasi dan berupaya untuk menjaga kestabilan rupiah. Oleh karena itu pada tanggal 15 September 2023, Bank Indonesia memperkenalkan instrumen operasi moneter baru yang disebut Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Amunisi Bank Indonesia untuk Jaga Likuiditas Rupiah
Jadi, apa sebenarnya SRBI itu?. Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, seperti janji pembayaran dalam bentuk Rupiah, yang didukung oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki oleh Bank Indonesia.Tujuannya? Mendalamkan potensi pasar uang, menarik investasi dari dalam dan luar negeri, strategi absorpsi likuiditas, serta mengoptimalkan penggunaan SBN yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Keunggulan dari SRBI diantaranya yaitu dapat diperdagangkan oleh berbagai pelaku pasar, termasuk individu dan perusahaan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam dunia keuangan, fleksibilitas adalah kunci. SRBI memberikan fleksibilitas yang lebih besar daripada instrumen instrumen lainnya, keputusan Bank Indonesia untuk membuka SRBI kepada semua pelaku pasar adalah langkah yang sangat berani.
Bank Indonesia sebagai bank sentral berupaya untuk mengurangi dampak risiko likuiditas sistemik dengan menjaga kestabilan likuiditas serta kestabilan mata uang Rupiah. Penerbitan SRBI merupakan salah satu stimulus dari Bank Indonesia dalam meningkatkan investor asing dan membantu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dengan penawaran risiko investasi yang lebih rendah.
Kemungkinan tingkat pengembalian dari SRBI ini bisa dikatakan beresiko rendah karena BI menjadikan SBN sebagai underlying. Jadi, SRBI bukan hanya instrumen keuangan biasa tetapi langkah berani Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi, menjaga nilai tukar Rupiah stabil, dan mengundang investasi baru ke Indonesia. Inovasi ini adalah contoh konkret bagaimana bank sentral dapat menjadi agen perubahan dalam ekonomi suatu negara.
Pasar menyambut baik penerbitan SRBI ditunjukan dengan tingginya penawaran dibandingkan dengan target (oversubscribed) dalam dua kali lelang SRBI pada September 2023. Menurut laporan operasi moneter Bank Indonesia pada lelang perdana tanggal 15 September 2023, dengan target awal Rp7 triliun ternyata pasar sangat merespon baik dengan hadirnya SRBI dimana penawaran yang masuk 4,2 kali dari target lelang atau sebesar Rp29,9 triliun.
Selanjutnya pada lelang kedua yaitu tanggal 20 September 2023, terdapat penawaran yang masuk sebesar Rp 15.6 triliun atau 3,12 kali lipat dari target awal yakni Rp 5 triliun.
Bank Indonesia juga melaporkan aliran modal asing, yang masuk ke pasar keuangan domestik sebesar Rp1,67 triliun pada periode 18-21 september 2023, termasuk pembelian SRBI di pasar sekunder sebesar Rp1,32 trilliun, sedangkan untuk periode 25-27 september 2023 menunjukan di pasar keuangan domestik tercatat beli neto sebesar Rp2.16 triliun di SRBI.
Hingga 9 kali lelang, SRBI telah mencapai outstandi Rp113 triliun dengan net beli SRBI oleh investor non residen sebesar Rp 9,81 triliun. Hal ini menunjukan Inovasi SRBI ini memberikan daya tarik tersendiri bagi investor termasuk investor asing karena bersifat traded (dapat diperdagangkan).
Saat ini SRBI menawarkan yield yang lebih menggiurkan dibandingkan dengan Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor yang sama. Pada tanggal 20 Oktober 2023, untuk tenor 6 bulan, SRBI menawarkan yield sebesar 6.363, lebih tinggi 0.78 poin dibandingkan dengan Obligasi Negara yang memiliki tenor yang sama, yang hanya menawarkan yield sebesar 5.847.
Untuk tenor 9 bulan, SRBI menawarkan yield sebesar 6.6443, selisih 0.28 poin dibandingkan dengan obligasi negara yang hanya memberikan yield sebesar 6.355. Bahkan, untuk tenor 12 bulan, SRBI masih unggul dengan yield sebesar 6.7069, lebih tinggi 0.50 poin dibandingkan dengan obligasi negara yang menawarkan yield sebesar 6.198.
Tak heran dengan karakteristik SRBI yang bisa diperdagangkan, tenor yang tidak panjang dan juga tingkat pengembalian yang menggiurkan. Investor sangat antusias dengan hadirnya SRBI. Tujuan BI untuk menjaga likuiditas rupiah akan tercapai dan SRBI akan menjadi amunisi yang ampuh bagi Bank Indonesia untuk semakin menarik dana asing agar tinggal lebih lama di dalam negeri.
Bank Indonesia melakukan penerbitan SRBI dengan tujuan mengendalikan inflasi, menjaga nilai tukar Rupiah stabil, dan mengundang Investor asing masuk ke Indonesia dinilai sangat tepat melihat kondisi rupiah yang tidak stabil.
Penulis juga menyarankan kepada Bank Indonesia untuk terus melakukan sosialisasi kepada agen, bank, maupun investor tentang SRBI, karena dengan masuknya Investor Asing ke Indonesia dengan membeli SRBI, tentu akan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang akan berdampak pada stabilnya inflasi dan semakin menurunya pembayaran Utang Luar Negeri pemerintah Indonesia yang kebanyakan bermata uang Valuta Asing serta pengelolaan likuiditas rupiah yang semakin baik di pasar uang.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengurangi risiko pelemahan nilai mata uang rupiah yaitu dengan mengurangi sedikit demi sedikit utang negara dalam mata uang asing dengan memanfaatkan investor domestik dalam belanja negara. pergeseran utang negara dari dolar AS ke dalam rupiah akan meminimalisir dampak buruk yang terjadi ketika terjadi ketidakstabilan mata uang Rupiah sehingga dampak dari risiko sistemik akan menurun.
Penulis:
Firly Armanda, Dianita Fitriani Pogram
(Magister Manajemen Universitas Indonesia)
Dewi Hanggraeni
(Magister Manajemen Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis & Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina)
(akr)