Setelah Tere Liye, Dee Lestari Juga Keluhkan Pajak Penulis

Jum'at, 08 September 2017 - 13:00 WIB
Setelah Tere Liye, Dee Lestari Juga Keluhkan Pajak Penulis
Setelah Tere Liye, Dee Lestari Juga Keluhkan Pajak Penulis
A A A
JAKARTA - Penulis kenamaan Dewi Lestari juga memiliki keluhan terkait pajak royalti yang ditanggung seseorang yang berprofesi sebagai penulis. Hal ini dicurahkan di akun Facebook pribadi miliknya, setelah sebelumnya penulis novel Tere Liye juga mengeluhkan hal yang sama.

(Baca Juga: Pajak Ketinggian, Penulis Novel Tere Liye Putus Kontrak Penerbit)

Penulis yang memiliki nama pena Dee Lestari ini menyatakan bahwa penghasilan menjadi seorang penulis tidak besar. Penulis hanya memperoleh royalti dari penjualan buku, dan itu pun tidak besar, hanya sekitar 10% hingga 15% dari penjualan buku.

"Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5%-15% kalau punya bargaining power ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal," katanya seperti dikutip SINDOnews dalam laman Facebook pribadinya di Jakarta, Jumat (8/9/2017).

Menurutnya, penulis tidak akan pernah merasakan 100% penerimaan royalti. Hal ini lantaran pemotongan pajak dilakukan secara langsung.

"Lalu sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak, dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang," imbuh dia.

Dee menilai, Tere Liye tak sendiri mengeluhkan soal pajak royalti tersebut. Karena dirinya pun telah berulangkali menyuarakan ikhwal tersebut kepada instansi terkait. Bahkan, pernah mengeluhkan hal tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat acara Temu Kreatif Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) di ICE BSD beberapa waktu lalu.

Penulis novel Supernova ini pun pernah mendiskusikan hal ini dengan petugas pajak. Menurut Dee, pajak royalti sangat menggasak penulis hingga dua kali.

"Sudah pendapatan royalti dikenai 15%, sisanya yang masuk ke penghasilan tahunan dihitung utuh sebagai pendapatan kena pajak. Saya lalu membandingkan dengan suami saya, seorang praktisi kesehatan, yang karena profesinya dapat menggunakan rumus norma sebesar 30%," tuturnya.

Penulis novel Filosofi Kopi ini menyebutkan, suaminya tersebut hanya memasukkan 30% untuk pajak. Sementara sisanya, dianggap modal usaha sebagai praktisi kesehatan.

"Dalam diskusi itu saya bertanya, mengapa tidak ada norma untuk profesi penulis. Mengapa pendapatan kami 100% dikenai pajak? Lalu, pejabat pajak itu menjawab, norma itu hanya rumus untuk memudahkan. Jika saya mau membuat pembukuan, bisa saja saya masukkan biaya-biaya yang dianggap modal menulis, entah itu sewa kantor, riset, dan lainnya," terang Dee.

Sejatinya, penulis secara administrasi pajak disebut sebagai pekerja bebas, sehingga boleh menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Jadi, penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp4,8 miliar boleh NPPN, dan penghasilan nettonya diakui (deemed) sebesar 50%, baru dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku.

Namun, yang jadi persoalan adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas royalti penulis buku yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Tarif tersebut menurutnya cukup berat, karena umumnya jatah royalti penulis hanya 10% dari penjualan.

Apalagi, lanjut Dee, pemakaian norma tersebut kerap kali mendapatkan penolakan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Beberapa koleganya pun pernah merasakan hal demikian, ditolak petugas pajak dengan alasan norma tersebut hanya bisa digunakan untuk pendapatan non-royalti.

"Saya pikir tadinya ini hanya sekadar masalah sosialisasi. Mungkin belum semua KPP paham dan ngeh mengenai peraturan baru tersebut. Dan, ternyata saya masih menemukan akar permasalahan yang sama. Ketika penulis dianggap memperoleh penghasilan pasif, maka dia tidak dianggap layak untuk mendapatkan rumus norma, penulis dianggap tidak keluar modal. Biaya percetakan, kertas dan distribusi adalah modal penerbit. Artinya, ketika pajak menggenggam sebuah buku, dia hanya melihat modal yang keluar dari 90% aspek fisik buku saja, bukan dari kontennya," jelas dia.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4634 seconds (0.1#10.140)