Menekan Backlog dengan Program Sejuta Rumah

Kamis, 19 Oktober 2017 - 13:04 WIB
Menekan Backlog dengan Program Sejuta Rumah
Menekan Backlog dengan Program Sejuta Rumah
A A A
JAKARTA - Rumah merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat yang harus dipenuhi. Kebutuhan akan kepemilikan rumah saat ini masih sangat besar, backlog-nya pada 2015 mencapai 11,4 juta unit. Untuk menekan angka backlog tersebut, pemerintah Jokowi-JK telah meluncurkan Program Sejuta Rumah.

Hasilnya pun mulai terasa. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadi moeldjono mengakui sebelum adanya Program Sejuta Rumah, untuk memenuhi pembangunan 200.000 unit rumah saja sangat sulit. Padahal, setiap tahunnya kebutuhan akan rumah mencapai 800.000 unit. Namun, setelah digulirkannya Program Sejuta Rumah pada tahun 2015, realisasi pembangunan rumah naik hingga empat kali lipat.

Pada 2015 pembangun perumahan mencapai 699.770 unit, kemudian tahun 2016 naik lagi menjadi 805.169 unit dan pada September 2017 telah mencapai 623.344 unit (sebanyak 518.694 unit untuk MBR dan non-MBR sebanyak 104.650 unit) dari target 900.000 unit hingga akhir tahun ini.

"Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, asosiasi pengembang perumahan dan bank-bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR), saya optimistis capaian Program Satu Juta Rumah dapat memenuhi target dan meningkat terus setiap tahunnya,” ujar Basuki.

(Baca Juga: Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Jika dilihat dari konsep kepemilikan backlog rumah pada 2015 memang mencapai 11,4 juta unit. Namun, berdasarkan konsep penghunian, jumlahnya hanya 7,6 juta unit. Dari jumlah backlog yang masih besar tersebut, menurut Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin, sebesar 60% di antaranya merupakan masyarakat kelas menengah yang perlu mendapatkan bantuan melalui skema subsidi KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sementara, sisanya 20% bersifat komersial sehingga tidak memerlukan subsidi pemerintah dan 20% lagi merupakan masyarakat kalangan bawah yang masih memerlukan bantuan dari pemerintah berupa bantuan sosial.

Besarnya capaian pembangunan dan kepemilikan rumah dalam tiga tahun masa pemerintahan Jokowi-JK tidak terlepas dari kebijakan yang meringankan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan bunga hanya 5% dan uang muka rumah 1%, setiap ada penjualan rumah bersubsidi selalu diminati masyarakat.

Dengan konsep Program Sejuta Rumah yang sangat agresif, diharapkan dapat mengurangi backlog kepemilikan rumah menjadi 6,8 juta unit dan kepenghunian menjadi 5 juta unit, serta penanganan rumah tidak layak huni (RTLH) yang mencapai 3,4 juta unit pada tahun 2014 bisa dikurangi bertahap menjadi 1,9 juta unit pada 2019. Meski sukses mendongkrak pertumbuhan perumahan hingga empat kali lipat, masih ditemui sejumlah kendala dalam implementasi Program Sejuta Rumah.

Di antaranya ketersediaan lahan sehingga harga tanah semakin mahal, perizinan yang rumit dan biaya tinggi, serta terbatasnya anggaran pemerintah untuk sektor perumahan. Langkah dan strategi telah diambil Kementerian PUPR meliputi penyediaan dana perumahan melalui APBN dengan pembangunan rumah susun sewa, rumah khusus, pembangunan baru, peningkatan kualitas rumah tak layak huni, serta bantuan stimulan untuk fasilitas prasarana, sarana dan utilitas perumahan.

Untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, pemerintah juga memberikan insentif melalui skema bantuan pembiayaan rumah berupa KPR bersubsidi (FLPP), subsidi selisih bunga (SSB) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM). Pemerintah juga telah menerbitkan Inpres No3/2015 tentang Penyederhanaan Perizinan, Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) Jilid XIII, PP No64/2016, Permen PUPR No5/2016 tentang IMB, serta Permendagri No55/2017.

Dengan diterbitkannya PKE XIII dan PP No64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR, pemerintah juga akan melakukan penyederhanaan regulasi terkait perizinan pembangunan perumahan MBR. Penyederhanaan tersebut meliputi penyederhanaan prosedur perizinan, percepatan waktu penyelesaian perizinan, serta penggabungan beberapa perizinan, yang semula sebanyak 33 tahapan/persyaratan perizinan menjadi hanya 11 tahapan/persyaratan perizinan dengan waktu penyelesaian relatif singkat, yaitu 44 hari.

Saat ini Kementerian PUPR sedang menyusun Peraturan Menteri PUPR tentang Kemudahan Perizinan dan Pencabutan Izin Pembangunan Perumahan untuk MBR yang ditargetkan selesai akhir tahun 2017.

Meski pemerintah berusaha memangkas perizinan, dunia usaha masih merasakan kendala tersebut. Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan program pembangunan satu juta unit rumah kepada masyarakat harus didukung dengan kemudahan-kemudahan yang memungkinkan sektor properti swasta berperan. Sejumlah hal yang perlu mendapatkan kemudahan, di antaranya permasalahan birokrasi.

“PP 64 itu tidak berjalan maksimal. Belum percepatan perizinan yang dijanjikan dari sebelumnya bisa sampai dua tahun menjadi 40-an hari juga masih jauh dari yang diharapkan,” sebutnya.

Selain itu, pemerintah harus mencari cara untuk mengatasi harga lahan yang melambung sangat tinggi. Salah satu solusi yang diusulkan REI, yakni menyiapkan land banking milik pemerintah daerah untuk dijual sesuai komposisi yang ditawarkan pengembang. Saat ini REI telah memberikan kontribusi untuk pembangunan perumahan MBR sekitar 200.000 unit rumah.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8997 seconds (0.1#10.140)