Social Proof

Minggu, 12 November 2017 - 10:49 WIB
Social Proof
Social Proof
A A A
Saat saya liburan bareng istri dan anak-anak ke luar kota, ada kiat jitu yang kami pakai untuk memilih tempat makan yang tidak kami ketahui apakah sajiannya enak atau enggak. Biasanya kami muter-muter, kami telusuri satu per satu warung atau restoran yang ada di kota itu, lalu kami cari mana dari warung atau restoran itu yang dikerumuni pengunjung.

Kiat jitu itu adalah memilih warung atau restoran mana yang paling ramai. Makin ramai, makin kami pilih. Dari pengalaman kami, memang kiat itu terbukti jitu. Dari kasus-kasus yang kami alami, memang terbukti sebagian besar memang sajiannya enak. Tapi pertanyaannya, apakah warung yang dikunjungi banyak orang itu pasti enak? Tentu tidak!

Fast Thinking

Itulah fenomena yang di kalangan pakar psikososial disebut sebagai social proof. Intinya, kita akan merasa bersikap dan berperilaku benar jika kita bertindak sama dengan kebanyakan orang lain. Itu artinya, semakin banyak tindakan atau ide diikuti orang, maka semakin baik dan benar tindakan atau ide tersebut. Apakah pernyataan terakhir ini benar?

Absolutely not! Itulah bias dan kerancuan yang melekat dalam pikiran kita. Itulah kekeliruan yang secara konsisten kita lakukan sehingga penilaian (judgement ), pilihan (choice), atau keputusan (decision) yang kita ambil menjadi melenceng dari koridor rasionalitas dan objektivitas.

Saya punya contoh lain. Suatu saat Anda jalan ke kantor, asyik sambil bersiul-siul. Lalu Anda mendapati ada sepuluh orang berdiri di pinggir jalan. Kesepuluh orang itu semuanya menengadahkan muka dan melihat ke langit. Melihat hal tersebut, apa yang akan Anda lakukan. Spontan Anda pasti ikutan-ikutan melihat ke langit, tanpa mikir terlebih dahulu kenapa kesepuluh orang itu melihat ke langit.

Contoh lain lagi. Pada saat terjadi krisis pada 1998 kita menyaksikan orang-orang panik menarik dananya dari ATM. Bagaimana awalnya rush itu terjadi? Awalnya ada segelintir orang menarik dananya dari mesin ATM. Lalu aksi segelintir orang itu diikuti beberapa orang lain. Kemudian, makin banyak lagi orang yang ikutan menarik dana. Sampai akhirnya seluruh penduduk kota ikutan-ikutan panik menarik dananya.

Inilah yang disebut Daniel Kahneman, pemenang nobel ekonomi dalam buku legendarisnya Thinking, Fast and Slow, sebagai ”pikiran cepat” (fast thinking )sedang menguasai ”pikiran lambat” (slow thinking ). Ketika kita melihat ke langit mengikuti sepuluh orang di pinggir jalan; atau kita memilih restoran yang paling ramai dikunjungi; atau saat kita panik menarik dana dari ATM; maka sesungguhnya pada saat itu slow thinking kita yang rasional seperti ”ditawan” oleh fast thinking kita yang emosional, gegabah, dan hantam kromo .

Rekayasa

Karena saya menyukai dan menekuni dunia pemasaran, maka saya mencoba mengaitkan kerancuan pikiran manusia itu ke dalam konteks pemasaran, yaitu aspek perilaku konsumen. Dengan kejelian memanfaatkan kelemahan melekat yang ada pada pikiran manusia tersebut, sesungguhnya pemasar bisa memanfaatkannya untuk melakukan rekayasa pemasaran jitu.

Sejak lama para produser acara TV serial komedi rupanya sudah piawai menggunakan trik ini. Untuk apa? Untuk memicu penonton tertawa. Caranya gimana? Coba lihat serial TV Friends atau Mr Bean di YouTube. Dalam adegan-adegan tertentu yang menurut sang sutradara lucu, dia menyelipkan suara orang-orang tertawa. Tujuannya tak lain agar Anda para penonton juga ikutan tertawa.

Kalau Anda adalah pembicara seminar yang sedang mencari popularitas, ikutilah kiat jitu ini. Anda tempatkan dua atau tiga orang Anda di kerumunan peserta. Lalu atur agar dua-tiga orang itu berurutan bertepuk tangan setiap kali Anda memaparkan hal-hal yang menarik. Maka, dua tiga tepukan itu akan memicu seluruh peserta untuk juga ikutan bertepuk tangan, tanpa berpikir kenapa mereka bertepuk tangan.

Dalam dunia penerbitan stempel ”best seller” adalah nyawa pemasaran sebuah buku. Ya, karena saat kita berkunjung ke toko buku, sering kali pertimbangan utama kita adalah membeli buku-buku dengan stempel best seller. Artinya, ketika kebanyakan orang lain telah membaca buku itu, maka itu lebih dari cukup untuk menjadi pembenaran bagi kita untuk membelinya.

Apakah buku-buku best seller itu memang bagus? Dalam kasus buku-buku terbitan Indonesia, sering kali saya temui justru buku-buku best seller itu lemah dalam hal kualitas isi.

Mizone cerdik menggunakan social proof untuk membesut kampanye viral dengan menggunakan medium flash mob di Bunderan HI beberapa waktu lalu. Caranya, sengaja Mizone menempatkan beberapa orang untuk menari flash mob di tengah kerumunan orang saat carfreeday. Mizone juga menempatkan beberapa orang berikutnya untuk menirukan flashmob.

Maka, tanpa dimintaorang-orang yang tumplek blek di Bunderan HI pun serta-merta ikut- ikutan menari flashmob. So, pelajaran apa yang bisa Anda peroleh dari fenomena perilaku konsumen yang menarik ini? Kalau Anda adalah marketer cerdik, maka Anda harus piawai memanfaatkan efek social proof yang saya uraikan di atas untuk menyukseskan label Anda. LetLets try!!!

Yuswohady
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9470 seconds (0.1#10.140)