Meneropong Ekonomi Zimbabwe Setelah Lengsernya Mugabe

Kamis, 23 November 2017 - 19:42 WIB
Meneropong Ekonomi Zimbabwe Setelah Lengsernya Mugabe
Meneropong Ekonomi Zimbabwe Setelah Lengsernya Mugabe
A A A
HARARE - Robert Gabriel Mugabe akhirnya mengundurkan diri setelah aksi kudeta militer selama sepekan. Kabar ini langsung menjadi buah berita di media massa internasional pada Selasa (21/11/2017). Usia yang sudah uzur, 93 tahun, membuat Mugabe tidak berdaya lagi mempertahankan lama-lama jabatan penguasa Zimbabwe yang sudah digenggam selama 37 tahun.

Sang Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa lantas didaulat menjadi presiden sementara sampai pemilihan yang dijadwalkan pada 2018 mendatang. Pengunduran Mugabe ini menyisakan satu pertanyaan besar, bagaimana nasib ekonomi Zimbabwe setelah Mugabe?

Nama Zimbabwe kerap diidentifikasi sebagai negara ekonomi terbelakang. Krisis ekonomi pada 2008 membuat mata uang mereka ambruk setahun kemudian. Hiperinflasi membuat USD1 setara dengan 35.000 triliun dolar Zimbabwe.

Sejatinya, negara di selatan Afrika ini merupakan kawasan yang kaya akan mineral. Penghasil berlian, batubara, tembaga, dan bijih besi. Kedatangan pedagang sekaligus politikus Inggris, Cecil Rhodes di tahun 1888, menutup segala kejayaan Kerajaan Zimbabwe yang tersohor dengan benteng besar dengan batu dan menara bersimbol kepala elang. Simbol yang digunakan sebagai bendera Zimbabwe sekarang.

Mengutip situs Wikipedia, penjajahan Inggris membuat nama besar Zimbabwe rubuh ditelan penambangan besar-besaran. Pihak kolonial lantas mengganti nama negara itu sebagai Rhodesia, untuk menghormati sang pedagang.

Penjajahan tersebut akhirnya berakhir di era 1980-an, dimana Mugabe yang awalnya seorang guru aktif di Partai Front Patriot ZANU, menggelorakan kemerdekaan negaranya. Setelah merdeka, mereka membuang nama Rhodesia dengan mengembalikan nama Zimbabwe sebagai identitas.

Mugabe terpilih sebagai perdana menteri pertama dari negara yang baru merdeka, setelah bertahun-tahun dipenjara karena aktivitas politiknya menentang penjajahan. Dia dipuja oleh banyak orang sebagai sosok bergaya Nelson Mandela.

"Dia selalu memiliki sikap populis, dia selalu ingin bekerja demi kepentingan terbaiknya tapi tidak semuanya soal ekonomi," ujar Funmi Akinluyi, manajer portofolio yang berinvestasi di pasar Afrika, seperti dikutip CNN Money, Kamis (23/11/2017).

Mugabe lantas memperoleh pengakuan internasional atas inisiatif pendidikan dan kesehatan--karena latar belakangnya seorang guru--yang menjadikan masyarakat Zimbabwe sebagai masyarakat melek huruf di sub-sahara Afrika. Juga meningkatkan ekspor produk manufaktur dan pertanian, dengan produksi tembakaunya yang terkenal.

Atas dasar itu, pada 1987, Mugabe pun terpilih sebagai presiden kedua. Meski seorang pejuang, namun kekuasaan cenderung korup. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Praktik suap dan kebrutalan demi melanggengkan kekuasaannya membuat manajemen pemerintahan menjadi kacau balau.

Kesalahan manajemen Mugabe terhadap sektor pertanian di negara itu menjadi titik balik yang berkontribusi pada bencana ekonomi. Tujuan reformasi pertanahan dengan mengambil kepemilikan pertanian dari tuan tanah kulit putih cenderung bersifat politis. Pada 1992, Mugabe mengeluarkan Undang-undang Pembebasan Lahan, dimana tuan tanah kulit putih harus menyerahkan propertinya dan mendistribusikan kembali ke warga kulit hitam.

Selama delapan tahun, beleid ini membuat 4.000 tuan tanah kulit putih menyerahkan tanah mereka. Namun tidak adanya pengelolaan pertanian yang baik, hasil pertanian Zimbabwe justru merosot tajam. "Tahun 2000 terjadi kekurangan makanan. Orang-orang kelaparan," ingat Akinluyi.

Langkah tersebut diikuti oleh dua tahun panen yang buruk dan kekeringan yang terus berlanjut, menyebabkan kelaparan terburuk di negara tersebut dalam 60 tahun. Di tengah kekurangan barang-barang kebutuhan dasar, bank sentral menggenjot mesin cetak uangnya untuk membiayai impor. Hasilnya adalah inflasi yang merajalela. Pada puncak krisis, harga naik dua kali lipat setiap 24 jam. Ekonom Cato Institute memperkirakan inflasi bulanan mencapai 7,9 miliar persen pada tahun 2008.

Pengangguran melonjak, layanan publik ambruk dan ekonomi menyusut 18% di tahun 2008. Zimbabwe meninggalkan mata uangnya pada tahun 2009, sehingga transaksi dilakukan dalam dolar AS, rand Afrika Selatan dan tujuh mata uang lainnya.

Pemerintahan Mugabe lantas mengalihkan fokusnya dari pertanian dan peternakan ke pertambangan, dengan mengakuisisi semua penambangan berlian. Sayangnya, penambangan itu hanya untuk Mugabe dan kroni-kroninya. Hal yang semakin menambah beban perekonomian negara dan masyarakatnya. Cerita Mugabe selama hampir empat dekade pun berubah laksana from hero to zero.

Militer yang selama ini menjadi penopang kekuasaannya berbalik mendukung rakyat, dengan melancarkan tank-tank yang ditempatkan di ibu kota Harare dan memaksanya mengundurkan diri. Pengunduran diri yang langsung disambut gegap gempita rakyat Zimbabwe.

Mnangagwa yang menjadi penerus mendapat beban besar, yaitu mengatasi tantangan ekonomi hebat yang harus dihadapi Zimbabwe. Pria yang dijuluki "Crocodile" itu harus menstabilkan ekonominya sebelum menarik investasi internasional. Yang berarti harus mengatasi kegagalan mata uangnya.

Pemimpin baru Zimbabwe juga perlu memahami defisit anggaran negara dan mulai memikirkan untuk berurusan dengan utangnya. Itu bisa berarti keputusan sulit yang, dalam jangka pendek, akan menimbulkan rasa sakit yang lebih ekonomi pada orang-orang yang telah sangat menderita.

Akinluyi mengatakan situasi saat ini sangat mengecewakan karena Zimbabwe memiliki begitu banyak potensi. "Negara kami memiliki berlian, batubara, tembaga, bijih besi, kami punya sumber daya. Yang kami butuhkan saat ini adalah orang yang tepat untuk membalikkan keadaan," ujarnya.

Di tengah kesulitan ekonomi Zimbabwe, bisa jadi IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Afrika akan menawarkan bantuan yang tentu bukan gratis. Selain itu, kekuatan regional dari tetangganyam Afrika Selatan harus memainkan peran mereka dalam menciptakan kepercayaan diri bagi investor.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5197 seconds (0.1#10.140)