Defisit Transaksi Berjalan Diprediksi di Bawah 2%

Selasa, 02 Januari 2018 - 19:02 WIB
Defisit Transaksi Berjalan Diprediksi di Bawah 2%
Defisit Transaksi Berjalan Diprediksi di Bawah 2%
A A A
JAKARTA - Defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada 2018 ini diperkirakan ada di bawah atau di antara 2%-2,5% dari Groos Domestic Product (GDP). Sementara sampai tahun 2022, CAD tidak lebih dari 2% dari GDP.

"Jadi agak sedikit naik di atas 2% di tahun 2018-2019. Setelah itu akan berada di bawah 2% dari GDP. Kita juga melihat untuk ekspor impor itu terus menunjukkan kondisi yang positif, tetapi memang secara net itu ada di kisaran USD20 miliar," kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo di Jakarta, Selasa (2/1/2018).

Dia melanjutkan, secara umum current account di Indonesia bisa membalik arah dari defisit (CAD) menjadi surplus (CAS), asalkan Indonesia terus melanjutkan reformasi struktural.

"Kalau dilihat, kita mengendalikan CAD sekarang di bawah 2% dari GDP, itu kan di dalamnya tentu ada ekspor dari komoditas, dan komoditas itu harganya sedang naik," ungkapnya.

Ke depannya, Indonesia harus bisa mengkombinasikan keunggulan di komoditas dengan ekspor yang terus naik. Selain itu, pemerintah juga harus mengaddres ekspor jasa yang terkait dengan pariwisata.

"Pariwisata yang masuk ke dalam negeri gross-nya sudah USD11 miliar, tapi nett nya baru sekitar USD3 miliar sampai USD4 miliar karena ada orang Indonesia yang keluar negeri. Dari sini kita harus tingkatkan pariwisata lebih banyak lagi," terang Agus.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, secara umum CAD menunjukan perbaikan karena bisa di bawah 2,5% dari GDP. Hal ini sangat jauh berbeda dengan tahun 2013 di mana CAD mencapai 4,2%-4,3% dari GDP.

Dia menyampaikan, salah satu tantangan 2018 adalah masih meningkatnya suku bunga di negara maju terutama di AS. Menurutnya, 2016 dan 2017, BI bisa menurunkan suku bunga sebanyak delapan kali di tengah The Fed menaikkan suku bunga.

"Itu tidak mungkin Indonesia bisa menurunkan bunga tanpa mengendalikan inflasi dan CAD. Jadi ini karena koordinasi yang baik antara pemerintah dan BI," ungkapnya.

Menurutnya, pada 2018 The Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali. Sementara, Eropa juga sudah bersiap-siap untuk pengurangan stimulus moneter.

"Maka, kita mau tidak mau harus tetap bisa mengendalikan inflasi pada angka yang rendah di level sekitar 3-3%,5%. Sedangkan untuk CAD, harus tetap bisa dikendalikan di bawah 2,5% dari GDP," jelas Mirza.

Bukan hanya CAD, sambung dia, aliran modal juga harus dipertahankan masuk banyak sehingga Balance of payment (Bop) bisa surplus agar Indonesia bisa mempertahankan stabilitas ekonomi di Indonesia.

Terpisah, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Rodrigo A Chaves mengatakan, neraca transaksi berjalan tahun ini diproyeksikan mengalami defisit 1,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Bank Dunia juga memproyeksi pergerakan inflasi 2018 akan berada dikisaran 3,5%. Sementara itu, ekonomi Indonesia akan tumbuh di angka 5,3% pada 2018 yang didorong oleh pertumbuhan investasi, pemulihan konsumsi lebih lanjut, dan peningkatan belanja pemerintah.

Proyeksi dari Bank Dunia ini lebih rendah dari target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar 5,4%. "Pertumbuhan konsumsi yang lebih tinggi akan didukung harga komoditas yang kuat, inflasi rendah, nilai rupiah stabil, pasar tenaga kerja kuat dan penurunan biaya pinjaman," imbuh dia.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi 2018 didorong oleh berlanjutnya pertumbuhan investasi yang tinggi dan peningkatan konsumsi yang tidak terlalu besar namun terus berlanjut.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9463 seconds (0.1#10.140)