Penerimaan Pajak Capai Rekor Tertinggi

Rabu, 03 Januari 2018 - 18:30 WIB
Penerimaan Pajak Capai Rekor Tertinggi
Penerimaan Pajak Capai Rekor Tertinggi
A A A
JAKARTA - Pendapatan negara dari sektor perpajakan 2017 mencatat rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan, penerimaan perpajakan 2017 mencapai Rp1.339,8 triliun atau 91% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017, tumbuh 4,3% dari 2016.

Jika tidak memperhitungkan hasil program amnesti pajak, penerimaan perpajakan tahun 2017 bahkan tercatat hingga tumbuh 12,6%. Capaian ini menunjukkan peningkatan yang sangat baik dibanding tahun sebelumnya. Pada 2015 pertumbuhan perpajakan hanya 8,2% dan capaian sebesar 83,3%. Pada 2016, dengan adanya program amnesti pajak, pencapaian pajak adalah 83,3% atau tumbuh 3,6%. "Apabila tax amnesty dihilangkan pada 2016, growth-nya negatif 4,8%," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers Realisasi APBN-P Tahun Anggaran 2017 di Jakarta, Selasa (2/1/2018).

Penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) mencapai 100,6%, tumbuh 16% dari sebelumnya 86,9%. Hal ini menunjukkan pengelolaan APBN yang semakin sehat, kredibel, dan sustainable. Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai tahun 2017 mencapai Rp192,3 triliun atau 101,7% dari target APBNP 2017. Secara rinci, penerimaan bea dan cukai ini terdiri atas penerimaan cukai Rp153,3 triliun, bea masuk Rp35 triliun, dan bea keluar Rp4 triliun.

Ini pertama kali dalam tiga tahun terakhir melebihi target APBN-P. Tahun 2015 hanya 92,1% dan 2016 hanya 97,3%. Menurut Sri Mulyani, capaian tersebut dipengaruhi peningkatan kinerja konsumsi domestik yang menunjukkan masih cukup tingginya daya beli masyarakat, adanya kenaikan tarif cukai, dan mulai menguatnya kinerja ekspor impor. "Selain itu, meningkatnya harga komoditas internasional, penertiban importir berisiko tinggi (PIBT), dan program penertiban cukai berisiko tinggi (PCBT)," katanya.

Selanjutnya, realisasi PNBP se besar Rp308,4 triliun (118,5% dari APBN-P), atau tumbuh 17,7% dibanding realisasi tahun 2016. Secara rinci meliputi realisasi penerimaan PNBP sumber daya alam Rp111,0 triliun (116% dari APBN-P), atau tumbuh 71%; realisasi penerimaan dividen BUMN sebesar Rp43,9 triliun (107,1% dari APBN-P), tumbuh 18,2%; dan PNBP lain sebesar Rp108,8 triliun (127,9% dari APBN-P), tumbuh negatif 7,8%.

"Ini didukung meningkatnya permintaan dan harga komoditas (ICP dan batubara), perbaikan laba BUMN, serta perbaikan layanan PNBP Kementerian/Lembaga," ungkap Sri. Kemenkeu juga mencatat defisit anggaran sepanjang tahun 2017 dalam batas aman sebesar 2,57% PDB, jauh lebih rendah dari APBN-P 2017 yang sebesar 2,92% PDB.

Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit anggaran 2017 sebesar 2,57% di bawah perkiraan selama ini, antara 2,6-2,92%. "Angka ini hanya 87,2% dari estimasi APBN-P. Keseimbangan primer mengecil menjadi negatif Rp129,3 triliun, jauh lebih kecil dari APBN-P 2017 yang sebesar Rp178 triliun. Dengan demikian, APBN kita tetap memiliki daya dorong dan rasio utang kita masih di bawah 30%," ujar Sri.

Realisasi pendapatan negara mencapai sebesar Rp1.655,8 triliun (95,4% dari APBN-P), atau tumbuh 6,4% dari realisasi 2016. Jumlah itu terdiri atas realisasi penerimaan perpajakan Rp1.339,8 triliun (91% dari APBN-P) atau tumbuh 4,3% dan PNBP sebesar Rp308,4 triliun (118,5% dari APBN-P) atau tumbuh 17,7%. Adapun realisasi belanja negara sebesar Rp2.001,6 triliun atau 93,8% dari APBN-P 2017 dengan pertumbuhan 7,4%. Rinciannya meliputi belanja pemerintah pusat Rp1.259,6 triliun (92,1% dari APBN-P), dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp742 triliun (96,8% dari APBN-P), tumbuh 4,5%.

"Yang positif dari belanja ini adalah belanja modal mencapai 92,8% dibanding tahun 2016 yang hanya bisa terealisasi 82% dan tahun 2015 hanya 85,2%," tutur Sri.

Pengamat ekonomi dari Institute for Develompent of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan, pemerintah harus berhati-hati lagi menjaga defisit anggaran dari sisi belanja, mengingat penerimaan pajak pada 2018 cukup berat. "Kalau dilihat dari daya beli yang lebih rendah, kemudian di tahun 2018 sudah tidak ada lagi amnesti pajak. Jadi pertanyaan besarnya, harus bagaimana untuk bisa menutup defisit?"

Menurut Bhima, pemerintah harus melakukan beberapa langkah untuk menggenjot penerimaan pajak. Salah satunya meningkatkan reformasi birokrasi dalam internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP). "Termasuk prosedurnya mudah melaporkan pajak. Kemudian restitusi pembayaran pajak dan menambah petugas pajak," ungkapnya. Selain itu, pemerintah bisa memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AeoI) untuk menggali penerimaan pajak. "Terakhir, PPN masih bisa dicari peluangnya untuk dimaksimalkan," kata Bhima.

Anggota Komisi XI DPR Johnny G Plate mengatakan, defisit anggaran sebesar 2,57% masih dalam rentang yang dapat ditoleransi karena masih di bawah 3%. "Itu masih di bawah 2,92% dalam APBN-P 2017. Jadi masih dalam batas yang memadai," ujarnya.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2596 seconds (0.1#10.140)