80% Ekspor ke AS, Satu Bulan Kirim 100-150 Ton

Selasa, 09 Januari 2018 - 16:52 WIB
80% Ekspor ke AS, Satu Bulan Kirim 100-150 Ton
80% Ekspor ke AS, Satu Bulan Kirim 100-150 Ton
A A A
LUWUK - Bagi Eddy Handoko, lautan luas yang dimiliki Indonesia adalah berkah. Lautan luas Indonesia tentu menyimpan kekayaan yang tak akan habis yaitu ikan. Sejak bekerja di Surabaya, Jawa Timur, Eddy sudah sangat mengenal dunia perikanan.

Selama tujuh tahun laki-laki asal Semarang Jawa Tengah ini berkerja di sebuah perusahaan yang mengelola udang. Tentu bukan hanya udang yang dia tekuni, jenis ikan lain dan bagaimana memasarkan ikan Indonesia dia pelajari.

Sehingga, ketika memutuskan untuk berdiri di kaki sendiri yaitu mendirikan perusahaan pembekuan ikan pada 2003, dia telah merasa mantap. Maka, Eddy memutuskan membangun perusahaan pembekuan ikan bernama Indotropic Fishery di Luwuk, Kabupaten Banggai Sulawesi Selatan. "Tapi dua tahun saya sempat frustasi karena buyer tentu pilih-pilih produk," kata Eddy.

Daerah Luwuk, Kabupaten Banggai memang akhirnya dipilih setelah mempertimbangkan daerah yang lain. Kekayaan laut dan pelabuhan untuk pengapalan produknya menjadi pertimbangan.

Selain itu, laut yang masih jauh dari polusi dengan ikan tropis melimpah serta jarak tempuh tangkapan yang singkat membuat ikan-ikan di Kabupaten Banggai masih sangat segar untuk dipasarkan. Dengan one day catch, konsumen akan mendapatkan jenis ikan yang masih segar.
Pada website Indotropic Fishery, Eddy menuliskan tentang kelebihan laut Sulawesi dengan tradisi nelayan-nelayan yang telah berabad-abad.

"Bentuk pulau yang unik dengan garis pantai yang panjang dan melengkung serta banyak jurang dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah sumber Gurita dan Ikan tropis yang melimpah. Laut airnya yang hangat bebas dari polusi," begitu kata pengantar di website Indotropic Fishery

Eddy tampak santai berbincang dengan Koran SINDO. Bahkan ketika sampai di pabrik di desa Biak, Luwuk, Kab Banggai, Eddy langsung meminta tim Koran SINDO mengenakan baju, topi dan sepatu booth untuk meninjau pabriknya. Tak terlalu besar tapi sangat bersih dan rapi.

Untuk masuk ke dalam pabrik, semuanya harus steril. Bahkan beberapa kali sepatu booth harus dicelupkan ke air dengan campuran tertentu dan tangan harus dicuci. "Ini kita menggunakan standard internasional karena produk kita ekspor," kata Eddy.

Bahkan, baju yang dikenakan semua pegawainya tidak boleh dibawa pulang agar pencucian sesuai standard.

Produk Indotropic Fishery terdiri dari octopus vulgaris dan octopus ball type. Sedangkan yang lain adalah ikan fillet jenis ikan karang atau dasar, bukan ikan permukaan. Indotropic juga menyediakan cumi-cumi dan kakap laut.

Cara pengepakannya setelah semua produk dibersihkan maka akan dibungkus dalam plastik. Untuk filet diiris sesuai ukuran kebutuhan pesanan. Setelah itu, semua produk akan dibekukan di ruang bersuhu minus 40 derajat.

Setelah itu, produk beku tersebut dikapalkan melalui container khusus untuk diekspor. "80% kita ekspor ke Amerika Serikat, selebih Eropa dan negara lainnya," ungkap Eddy.

Eddy tidak mau menjelaskan berapa nilai transaksi selama satu bulan. Namun, dia mengatakan setiap bulan Indotropic Fishery bisa mengirim 100-150 ton setiap bulan.

Ketika ditanya apakah nilainya sekitar ratusan miliar, Eddy hanya tersenyum. "Wah saya lupa berapa tiap bulan," kata Eddy sambil tersenyum ketika ditanya omzet setiap bulan.

Untuk mengumpulkan produknya, Eddy merangkul distributor bukan langsung kepada nelayan. Tujuannya distributor akan memilah langsung ikan yang dia butuhkan. Karena, pasar luar negeri dan dalam negeri berbeda.

Sedangkan Indotropic Fishery lebih fokus pada pasar luar negeri. "Semua (produk) dari nelayan lokal pak, pegawai kami juga dari masyarakat sini," kata Eddy.

Dia setiap hari mempekerjakan antar 60-120 orang tergantung pada musim tangkapan. Semua pegawai pun dibuatkan asrama.

Dia bersyukur dengan kebijakan pemerintah saat ini yang tegas terhadap pencurian ikan di laut. Namun, dia meminta pemerintah lebih tegas terhadap ABK negara lain yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Jika kapal ditenggelamkan, Eddy juga mengusulkan para ABK tidak dideportasi tapi ditahan di Indonesia biar menimbulkan efek jera sejhingga tidak kembali mencuri.

"Saya mendukung Pak, sebelumnya itu kapal negara lain tidak hanya mengambil, tapi juga membekukan ikan di laut lalu langsung menjualnya," ungkap dia.

Lonjakan penjualan ketika justru Eropa mengalami krisis beberapa tahun yang lalu. Saat itu ekpor masih dikuasa Eropa. Nah sejak krisis di Eropa, pasar Amerika Serikat justru mendominasi.

Pesaing utama di ASEAN menurut Eddy adalah Vietnam, karena negara tersebut mempunyai teknologi dan budidaya yang sangat bagus. "Kalau duka, pernah ikan saya tenggelam semua. Nilainya sekitar Rp500 juta sampai Rp600 juta, dan saya waktu itu belum mengenal asuransi. Tapi sekarang, pihak kapal dan saya, pakai asuransi," kata Eddy.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6471 seconds (0.1#10.140)