Fadli Zon: Ada Empat Keanehan Rencana Impor Beras Pemerintah

Minggu, 14 Januari 2018 - 19:01 WIB
Fadli Zon: Ada Empat Keanehan Rencana Impor Beras Pemerintah
Fadli Zon: Ada Empat Keanehan Rencana Impor Beras Pemerintah
A A A
JAKARTA - Rencana pemerintah untuk mengimpor beras 500.000 ton pada akhir Januari 2018 terus menuai kritik. Rencana tersebut dinilai hanya membuktikan kacaunya tata kelola pangan pemerintah, sekaligus menunjukkan rendahnya mutu data pangan yang selama ini dimiliki.

"Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Paling tidak ada empat keanehan yang saya catat, misalnya. Pertama, Kementerian Pertanian hingga saat ini masih klaim Januari 2018 ini kita mengalami surplus beras sebesar 329.000 ton. Dengan mengacu data BPS, Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi kita sekitar 2,5 juta ton. Jika angka-angka ini benar, kita seharusnya memang surplus beras. Namun anehnya harga beras di pasar justru terus naik," ujar Plt Ketua DPR Fadli Zon melalui keterangan pers, Minggu (14/1/2018).

Keanehan kedua, lanjut dia, pemerintah menyebut bahwa kelangkaan beras terjadi pada golongan beras medium, yang selama ini dikonsumsi oleh kalangan menengah, namun izin impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan malah untuk beras premium. "Ini kan tidak nyambung. Yang dianggap masalah adanya di mana, tapi penyelesaiannya entah ke mana," cetusnya.

Keanehan selanjutnya, kata Fadli, pemerintah berdalih impor beras bulan ini untuk menstabilkan harga beras, artinya untuk keperluan umum. Sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk Permendag No 1/2018, yang disusun untuk melegitimasi impor beras ini, izin impor untuk keperluan umum hanya dapat dilakukan oleh Bulog. "Silakan baca Pasal 16 Permendag No 1/2018. Nah, ini menteri perdagangan malah memberikan izinnya ke perusahaan lain," tuturnya.

Kemudian, sambung dia, izin impor ini dikeluarkan pemerintah persis pada saat petani sedang menghadapi musim panen. "Bagi saya, empat keanehan itu sudah lebih dari cukup membuktikan pemerintah selama ini memang tidak transparan dalam mengelola kebijakan pangan," tandasnya.

Dia juga menilai bahwa yang membesar-besarkan kenaikan harga beras belakangan ini sebenarnya adalah pemerintah sendiri. Itu dipicu oleh aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tak masuk akal. Saat keseimbangan harga di pasar beras berada di atas Rp9.000, pemerintah malah menetapkan HET beras medium, misalnya, di angka Rp9.450, kebijakan tersebut menurutnya benar-benar sulit dinalar. Bahkan, kata Fadli, muncul kesan kebijakan HET itu seakan-akan merupakan prakondisi untuk melegitimasi impor beras awal tahun ini.

"Kalau harga beras naik, sementara di sisi lain pemerintah mengklaim produksi beras sebenarnya sedang surplus, maka yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan operasi pasar, dan bukannya impor. Impor beras di saat menjelang panen hanya akan menekan harga gabah petani. Harga gabah petani pasti anjlok. Jadi, kebijakan tersebut sebenarnya hanya menyakiti petani saja. Lagi pula, angka impor 500.000 ton itu apa dasar perhitungannya?" kata dia.

Fadli berharap agar setiap rencana impor, berapa jumlah yang perlu diimpor, dan kapan sebaiknya impor dilakukan, dikaji secara matang dan transparan dulu. Hal penting lainnya, tegas dia, jika impor dengan kajian jumlah dan waktu yang sudah dikalkulasi matang, impor itu harus dilakukan oleh Bulog.

"Jangan cari untung dengan dalih stabilkan harga. Bulog juga tidak boleh ambil untung dari impor beras. Itu sebabnya proses impor oleh Bulog juga harus transparan dan diawasi ketat. Kita tak ingin petani dihancurkan oleh impor beras. Kita juga harus mencegah impor beras ini semacam jalan perburuan rente," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8472 seconds (0.1#10.140)