Perusahaan Pelat Merah Dinilai Menyimpang, UU BUMN Digugat ke MK

Rabu, 07 Februari 2018 - 15:34 WIB
Perusahaan Pelat Merah Dinilai Menyimpang, UU BUMN Digugat ke MK
Perusahaan Pelat Merah Dinilai Menyimpang, UU BUMN Digugat ke MK
A A A
JAKARTA - Perusahaan pelat merah dinilai tidak lagi bertindak sebagai agen pembangunan serta telah menyimpang dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Lantaran itu UU No.19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 khususnya Pasal 33 yang berisi tentang perekonomian nasional.

Gugatan itu diajukan oleh Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN) yang mendampingi para pemohon di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (7/2/2018). Para pemohon adalah Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dan AM Putut Prabantoro yang keduanya bertindak selaku Warga Negara Indonesia serta pemerhati ekonomi kerakyatan khususnya dalam memperjuangkan pemerataan kemakmuran.

Liona N Supriatna perwakilan dari TAKEN menerangkan, alasan diajukannya gugatan terhadap UU BUMN karena peraturan tersebut secara jelas dan gamblang tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 pasal 33. Sementara pasal-pasal UU BUMN yang dianggap tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 serta menjadi dasar gugatan adalah Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b). Selain itu pasal yang menjadi fokus gugatan juga pasal 4 ayat 4.

"Kedua pasal itu menurut pemohon, tidak sesuai dengan pasal 33 UUD NRI 1945. Ketidaksesuaian dengan UUD NRI 1945 itu terjadi ketika dalam praktiknya banyak terjadi penyimpangan yang jauh dari amanat pasal 33 UUD NRI 1945. Akibat dari penyimpangan itu adalah kemakmuran yang menjadi amanat konstitusi tidak terjadi. Banyak BUMN tidak lagi bertindak sebagai agen pembangunan bahkan tidak memenuhi tujuan pendirian BUMN sebagai tersurat dalam UU BUMN itu sendiri,” ujar Liona Supriatna.

Banyaknya BUMN yang merugi, Presiden Bandung Lawyers Club itu mengilustrasikan, menjadi salah satu bukti bahwa berdasarkan fakta yang ada pengelolaan BUMN tidak sesuai dengan tujuan pendirian yakni mengejar keuntungan, apalagi mencapai kemakmuran sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945. UU BUMN juga tidak secara tegas keinginannya melaksanakan amanat konstitusi di mana perekonomian nasional harus dibangun sebagai usaha bersama yang berdasarkan pada asas kekeluargaan.

Dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN khususnya pasal 2 tertulis; Maksud dan tujuan pendirian BUMN yakni memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Selanjutnya mengejar keuntungan.

Pasal 2 UU BUMN ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 pasal 33 yang berbunyi ayat (1) berbunyi Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,

“BUMN itu adalah Badan Usaha yang dimiliki negara artinya Negara memiliki Badan Usaha tersebut. Sementara dalam UUD NRI 1945, Negara berkewajiban melaksanakan amanat pasal 33 terkait dengan perekonomian nasional. Oleh karena itu, sebagai badan usaha milik negara, BUMN harus melaksanakan amanat UUD NRI 1945 tersebut yang termuat dalam pasal 33. Atau dengan kata lain melalui BUMN, negara akan melaksanakan pasal 33 UUD NRI 1945 tersebut,“ ujar Liona yang juga Ketua Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia.

Sementara itu, Hermawi Taslim menambahkan, selain pasal 2 ayat 1 (a) dan (b), para pemohon juga melihat ketidaksesuaian UU BUMN terhadap UUD NRI 1945 yang terdapat pada Pasal 4 ayat 4 UU Np. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal 4 ayat 4 berbunyi, “Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

“Pasal tersebut jelas mengindikasikan bahwa hak konstitusi rakyat yang diberikan kepada DPR untuk mengawasi termasuk di dalamnya keuangan negara dibaikan begitu saja dengan secara tegas menyerahkan kewenangannya kepada Peraturan Pemerintah," ujar Taslim.

"Tidak ada kontrol dan pengawasan DPR terhadap keuangan negara menyebabkan, sebagai contoh, di masa lalu pemerintah Indonesia menjual Telkomsel dan Indosat ke asing. Kalau Telkomsel dan Indosat dianggap sebagai yang menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya Telkomsel dan Indosat dikuasai oleh negara,” sambungnya.

Terang dia, jika dalam konteks ini terjadi di kemudian hari dengan mendasarkan pada Pasal 4 ayat 4, maka UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN tidak sesuai dengan amanat konstitusi pasal 33. Diabaikannya hak konstitusi rakyat oleh DPR dalam mengawasi keuangan negara akan berpotensi terjadinya penyimpangan atas uang rakyat yang didapat dari pajak, sumberdaya alam dan pendapatan lainnya oleh negara.

Lebih lanjut Taslim erharap bahwa gugatan ini dikabulkan oleh MK sehingga amanat konstitusi dapat terlaksana di mana perekonomian nasional dibangun sebagai usaha bersama yang didasarkan pada asas kekeluargaan, cabang produksi dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara serta, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Selain kedua pemohon, hadir di Gedung Mahkamah Konstitusi dari TAKEN yakni DR. Iur. Liona N. Supriatna, S.H (Kordinator)., M.Hum., Hermawi Taslim, S.H., Daniel T. Masiku, S.H., Sandra Nangoy, S.H., M.H., A. Benny Sabdo Nugroho, S.H., M.H, G. Retas Daeng, S.H, AMC Alvin Widanto Pratomo, S.H. dan Bonifasius Falakhi, S.H.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3933 seconds (0.1#10.140)