Jelang Ajal: Umar Melarang Hafsah Menangisinya, Minta Ditidurkan di Tanah

Rabu, 20 Desember 2023 - 14:59 WIB
loading...
Jelang Ajal: Umar Melarang Hafsah Menangisinya, Minta Ditidurkan di Tanah
Sesudah ia dibaringkan di tanah oleh anaknya, ia menyilangkan kedua kakinya. Ilustrasi: Ist
A A A
Saat Khalifah Umar bin Khattab mengimami salat subuh , Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Mugirah menikamnya. Tikaman itu mengenai bawah pusarnya memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung. Peristiwa itu terjadi pada hari Rabu tanggal 4 Zulhijah tahun ke-23 Hijri.

Pada saat menjelang ajal , ia melihat kepada putrinya Hafsah Ummulmukminin , yang ketika masuk menjenguknya sambil menangis dan meratap ia berkata: "Oh, sahabat Rasulullah , mertua Rasulullah, Amirulmukminin!"

Tetapi Umar berkata: "Dengan hak yang ada pada saya atas engkau saya ingin melarangmu meratapi saya lagi, sesudah sekali ini. Tetapi matamu bukanlah milik saya. Tidak baik meratapi mayat yang hanya akan membawa kebencian para malaikat ."

"Umar memang melarang keluarganya menangisinya," tulis Muhammad Husain Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).



Larangan Umar terhadap orang yang menangis dan meratap sangat keras. Tatkala melihat susu yang keluar dari bekas lukanya pernah Suhaib berkata: "Oh Umar! Oh saudaraku! Siapa yang akan bersama kami sesudah Anda!?"

Oleh Umar ia ditegur: "Sudah, sudahlah, saudaraku! Tidakkah Anda merasakan bahwa orang yang ditangisi itu akan diazab?"

Juga Umar khawatir sesudah ia meninggal akan dikafani dan dikuburkan secara berlebihan oleh keluarganya. Maka ia berpesan jangan dimandikan dengan muskus atau membawa muskus ke dekatnya, seperti yang biasa dilakukan oleh orang Arab yang berkedudukan.

Kepada anaknya ia berkata: "Sederhanakanlah kafanku, sebab jika menurut pandangan Allah ada perbuatanku yang baik, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, meskipun tidak semestinya aku akan begitu. Lepaskanlah pakaianku dan percepat, sederhanakan liang lahadku, dan jangan ada perempuan yang ikut mengantarkan. Janganlah memuji-mujiku yang bukan mestinya, sebab Allah sudah lebih tahu tentang aku. Kalau membawaku, percepatlah langkah kalian. Kalau ada perbuatanku yang baik dalam pandangan Allah kalianlah yang telah mengantarkan saya pada yang lebih baik itu buat saya, meskipun tidak semestinya saya akan begitu. Dan kalau sebaliknya yang ada padaku, kalian telah membuang segala bencana yang kalian pikul di bahu kalian itu."



Abdullah bin Umar mendengarkan wasiat itu. Ia duduk di lapik ayahnya dan kepala ayahnya diletakkan di pangkuannya. Setelah merasakan pasti akan menemui Tuhannya, ia berkata kepada anaknya: "Baringkan aku di tanah."

Abdullah menjawab: "Ayah, paha saya sama dengan tanah!"

Umar berkata lagi: "Baringkanlah aku di tanah!"

Sesudah ia dibaringkan di tanah oleh anaknya, ia menyilangkan kedua kakinya seraya berkata: "Celakalah aku! Celaka ibuku kalau Allah tidak mengampuniku!" Kata-kata itu diulang-ulangnya sampai roh lepas dari jasad.

Harapannya yang utama ia ingin kembali ke hadapan Tuhan dengan melepaskan dunia ini dalam keadaannya yang sekadar cukup hidup, tidak berutang dan tidak berpiutang.

Haekal berkisah, ketika itu orang sedang berada di Masjid mempercakapkan terjadinya pembunuhan itu. Di antara yang mereka khawatirkan, setelah itu apa yang akan terjadi terhadap mereka dan terhadap negara yang baru tumbuh ini.



Mereka beralasan sekali jika sampai timbul kekhawatiran demikian. Sesudah dia, siapa orang yang akan mampu mengemban beban tanggung jawab yang begitu besar seperti yang telah dipikul oleh Umar!

Siapa yang bersedia melupakan dirinya dan keluarganya, dan semata-mata mengabdi kepada Allah dan mencurahkan tenaga dan perhatiannya demi kepentingan umat Muslimin serta demi keadilan!

Ia memulai pemerintahannya hanya Semenanjung yang ada di tangannya, tetapi dia meninggal Kedaulatan Islam sudah meliputi Persia, Irak, Syam dan Mesir.

Kendati begitu, dia sendiri tidak berubah: Hidup serba kekurangan, sangat sederhana dan disiplin yang begitu keras terhadap dirinya. Kekuasaan yang ada di tangannya tidak membuat ia berubah dari kebiasaan hidupnya, dan sudah diketahui semua orang, ia menyamakan dirinya dengan kaum Muslimin yang lain. Itu sebabnya, orang merasa terpukul dan begitu sedih atas kematiannya itu.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1784 seconds (0.1#10.140)